Cerpen T Agus Khaidir (Kompas, 06 Oktober 2024)
TOK JALAL tak lagi riang. Biasanya, selepas Isya dia akan duduk berbincang bergurau-gurau di beranda masjid. Kadangkala sampai mendekati tengah malam, dan baru bergerak setelah Munawar Tawakal, atas perintah Nek Tok, datang menjemput. Tiga pekan belakangan lain sekali. Sejurus imam mengucap salam Tok Jalal segera bangkit dan bergegas pulang.
Tak kalah nyata perubahan di kedai kopi. Sesekali dia masih datang lantaran barangkali lidahnya sudah kelewat rindu mencecap pahit manis kopi racikan Tok Awang, karib sepermainannya sejak belia. Namun, datangnya memang sekadar belaka. Di kedai itu Tok Jalal duduk menyudut, sendirian berdiam-diam, tergesa menyeruput kopi lalu beranjak pergi. Tak ada tegur sapa. Tak ada cerita. Tak ada tawa.
Padahal sebutlah semua yang mungkin berkait dengan kegembiraan, dengan kebahagiaan, maka tiap-tiap percakapan itu, tiap ingatan itu, akan selalu sampai padanya. Iya, lah, siapa pula bisa melengos dari celoteh-celoteh Tok Jalal? Meski telah diriwayatkan berulang kali, tersebab pembawaan badannya, karena mimik wajahnya, juga caranya merangkai kata menyusun kalimat serta kepiawaian menunggu momentum kapan harus meninggikan atau menurunkan tempo dan nada bicara, membuat apa pun yang meluncur dari Tok Jalal seolah selalu baru. Tetap terasa mengejutkan dan lucu seperti waktu pertama didengar.
Paling mengundang gelak adalah celotehnya perihal teori kepunahan dinosaurus dan teka-teki perbedaan cara makan buaya di air dan buaya di darat.
Entah berpijak pada referensi mana, Tok Jalal menyebut dinosaurus punah bukan lantaran tumbukan asteroid raksasa ke bumi yang menyebabkan perubahan iklim ekstrem, tapi akibat terinjak-injak Nabi Adam yang berlari ke sana kemari mencari Hawa setelah keduanya diusir Tuhan dari surga. Mengenai perbedaan cara makan buaya, yang dijawab dengan gerakan mirip bertepuk tangan [menempelkan bagian ujung-ujung jari dan pangkal telapak dan menggerakkannya bersamaan secara bergantian] pernah membuat Mak Len, penjual lontong dan mi balap di ujung lorong, menjerit histeris sembari menutup wajahnya yang memerah.
“Kasar kali kelakar Atok. Tak sopan!” Seru Mak Len bersungut-sungut tapi tak ayal akhirnya tertawa juga.
Begitulah kehadiran Tok Jalal, di mana pun dan kapan pun, tak pernah tidak melejitkan rasa gembira dan bahagia, hingga segenap keriangannya lesap dan Munawar tahu apa yang jadi penyebab.
Sebulan lalu, Minggu siang sebelum Asar, Tok Awang, Wak Haji Sahabuddin, Abdul Majid, dan Anwar Sadat datang bertamu. Orang-orang tua dan yang dituakan di kampung ini. Nama terakhir Kepala Lingkungan, terpilih dalam musyawarah mufakat menggantikan Tok Jalal yang mengundurkan diri setelah menjabat lima periode.
Ada juga Marjili Samsuri. Usianya sekira enam-tujuh tahun di atas Munawar. Orang baru stok lama. Marjili belum sebulan kembali dari perantauan panjang: dia pernah di Kalimantan, Sulawesi, lama di Jawa, kemudian menyeberang ke Malaysia, Thailand, dan setahun terakhir, konon, mondar-mandir Pakistan-Bangladesh. Menurut orang-orang yang pernah mengenalnya lebih baik, ada perbedaan besar antara Marjili sebelum dan sesudah merantau. Bukan hanya pakaian dan penampilan fisik. Lebih jauh juga sikap dan cara pandang. Bicaranya pelan tapi menusuk. Tatap matanya tajam.
Munawar tentu saja tak ikut duduk satu ruangan. Ia hanya sebentar singgah mengantarkan teh dan kudapan. Namun percakapan sengit bernada tinggi menembus dinding kamarnya.
“Berapa lama lagi kita harus menunggu?”
“Ini soal yang harus dibicarakan hati-hati, harus dimusyawarahkan dengan cermat dan teliti. Tak bisa kita putuskan sendiri.”
“Tapi kita harus bergerak lebih cepat, Tok. Ini sudah sangat mendesak. Situasinya makin gawat. Makin banyak yang merasa terganggu.”
Setelah hening agak lama Munawar mendengar suara Tok Jalal. Berat dan sedikit bergetar. Munawar berdebar. Ia hafal gelagat ini.
“Ah! Mendesak? Apa yang mendesak? Apa yang gawat? Kuburan-kuburan itu sudah ada di sana sejak lama. Sudah ada jauh sebelum kau lahir, Marjili. Jauh sebelum ayahmu meninggal dan dikubur di sana. Setahuku tidak pernah ada yang merasa terdesak. Tidak pernah ada yang merasa gawat dan terganggu. Kau pun dulu sering main bola di lapangan dekat kuburan-kuburan itu, kan? Kenapa sekarang kau merasa terdesak? Kenapa merasa gawat? Merasa terganggu?”
“Bukan saya saja, Tok.”
“Siapa lagi?”
“Warga.”
“Warga mana?”
“Warga sini. Sebagian besar. Hampir semua.”
“Jadi sekarang kau bicara mengatasnamakan warga?”
“Bukan saya saja. Kami yang datang ini bicara atas nama warga.”
“O, begitu? Setelah sekian lama? Kenapa dari dulu tidak ada yang bicara?”
“Barangkali dulu warga tidak tahu. Tidak paham. Sekarang mereka tahu dan paham, dan oleh sebab itu sadar bahwa ini tak elok. Sebenarnya terlambat, tapi saya kira, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.”
Ini memang percakapan tentang kuburan. Persisnya tiga kuburan yang terletak di kompleks pekuburan yang tanahnya merupakan wakaf keluarga Tok Jalal. Ayah Tok Jalal, buyut Munawar, sebelum meninggal di tahun 1932, lewat surat berstempel Pemerintah Kerajaan Belanda menyerahkan dua petak tanahnya untuk kemaslahatan umat. Tanah yang sepetak dijadikan alun-alun, yang di kemudian hari, selain dipasangkan tiang gawang di kedua sisinya, juga dimanfaatkan sebagai tempat penyelenggaraan berbagai aktivitas seperti upacara bendera, pameran pembangunan, pasar malam, layar tancap, pertunjukan wayang, ronggeng, kuda kepang, kampanye-kampanye partai politik, konser musik, tabligh akbar dan lain sebagainya. Rhoma Irama dan Kyai Haji Zainuddin MZ pernah tampil di sini.
Petak yang satu lagi, yang berukuran hampir dua kali lebih luas dan letaknya persis bersisian, jadi pekuburan. Warga kampung yang meninggal dikebumikan di sini. Termasuk Ompung Saut, Ompung Luat, dan Ama Lien.
Dibanding kuburan-kuburan lain, kuburan ketiganya memang kelihatan berbeda. Bentuk maupun ukuran. Terutama kuburan Ama Lien. Namun perbedaan ini tak pernah jadi soal. Warga kampung paham betul tanah ini diwakafkan untuk pekuburan umum. Sampai Marjili pulang. Riak muncul dan dengan cepat membesar. Disebut-sebut atas dorongan Marjili, Kepala Lingkungan dan orang-orang tua dan yang dituakan menyambangi bupati. Mereka meminta bupati memerintahkan pembongkaran kuburan. Bupati menolak dan menganjurkan penyelesaian secara kekeluargaan.
Riwayat kampung ini belum panjang, tapi tak banyak lagi orang lama yang tersisa. Generasi pertama dan kedua sepenuhnya habis. Generasi ketiga bisa dihitung jari sebelah tangan. Di samping Tok Jalal dan Tok Awang, tinggal Haji Sayuti dan Nek Fatmah. Pun keduanya sudah kerap terbaring sakit. Makin jarang keluar rumah.
Ompung Luat dan Ompung Saut bagian dari generasi kedua. Boleh dibilang lichting akhir. Mereka meninggal di awal 1960-an. Dari sejumlah cerita yang didengar Munawar, usia Ompung Luat kala itu 83. Ompung Saut beberapa bulan saja lebih muda. Sekitar sepuluh tahun lalu, anak-anak keturunannya, generasi keempat dan kelima, memilih pindah ke kampung lain. Karena masih di kota yang sama [berjarak kurang lebih 10 kilometer ke arah Utara] keberadaannya tak sulit dilacak. Saban tahun menjelang Paskah mereka juga selalu datang berziarah.
“Aku sudah bicara pada keluarga Ompung Luat dan Ompung Saut. Mereka bilang, pemindahan kuburan bukan perkara sederhana. Ada tahapan-tahapan adat yang mesti dilakukan. Butuh persiapan matang dan sudah barang tentu biaya besar.”
“Jadi mereka menolak?” tanya Marjili.
“Tidak, cuma minta waktu kumpulkan uang. Mereka bukan orang senang.”
“Ama Lien bagaimana, Lal?” giliran Tok Awang melempar tanya.
Tok Jalal tidak segera menjawab. Ama Lien termasuk generasi ketiga. Lahir tahun 1906 meninggal 1973. Dua dekade berselang, persisnya 1998 pertengahan, situasi politik yang menyulut gejolak sosial memaksa keluarga Ama Lien angkat kaki. Lebih karena kecewa, sebenarnya. Berpuluh tahun hidup berdampingan seolah tak berbekas jejak pada hari-hari kelam itu. Para tetangga entah ke mana. Tak seorang pun datang menolong, atau paling tidak mencegah, menghalang-halangi, saat puluhan orang tak dikenal menyatroni rumah mereka dan dengan beringas memecahkan kaca-kaca jendela, mendobrak pintu, menjarah barang-barang. Hampir tidak ada yang tersisa. Termasuk kehormatan. Anak Ama Lien yang coba melawan dihajar sampai babak belur. Dua cucu perempuannya dilecehkan. Tak sampai diperkosa, tapi siapa yang tak sakit diperlakukan demikian? Siapa yang tak terluka? Siapa tak trauma?
“Ama Lien? Aku tidak tahu. Masih kucari.”
Munawar tahu Tok Jalal berbohong. Padanya, Tok Jalal berulangkali mengatakan betapa setelah peristiwa itu, sampai bertahun-tahun kemudian, ia dihantui rasa bersalah. Bilangnya, sebagai Kepala Lingkungan, seharusnya ia bisa lebih bertanggung jawab melindungi warga tanpa kecuali. Seharusnya ia lebih berani. Tok Jalal berupaya mencari mereka untuk meminta maaf.
Pencariannya baru berakhir kurang lebih setahun lepas. Keluarga Ama Lien telah hidup berpisah-pisah. Sebagian di Jakarta, ada yang di Kuala Lumpur, juga di Taipei. Dua cucu perempuan yang mengalami pelecehan itu sekarang sudah menikah, tinggal di di Boston dan Chicago, Amerika Serikat, sembari melanjutkan kuliah, dan masih rutin mengunjungi psikiater untuk menjaga agar liang luka mereka tak sampai terkuak lagi.
“Kalau tidak ada kabar langsung kita bongkar saja.”
Hening lagi. Satu menit atau mungkin dua menit, mungkin lebih. Lalu, suara Tok Jalal terdengar. Masih berat dan bergetar, tapi kali ini sedikit menggelegar.
“Orang-orang ini pernah hidup berdampingan dengan orang-orang tua kita. Mereka baik-baik saja sampai masing-masing dijemput ajal. Sekarang, di pekuburan itu, mereka juga berdampingan, dan rasa-rasanya tetap baik-baik saja. Lantas apa hak kita memisahkan mereka? Jadi begini saja, lah, Marjili. Kalau kau memang merasa terdesak, merasa terganggu, merasa tak elok, silakan bongkar kuburan ayahmu. Silakan dipindahkan. Juga yang lain-lain. Aku tidak akan membongkar ketiga kuburan itu.” **
.
.
Medan, Mei 2024
T Agus Khaidir, lahir di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), 4 Februari 1977. Menulis beberapa puluh cerpen yang sebagian besar telah tersebar dan dimuat di berbagai media cetak, daring, maupun sejumlah buku antologi bersama. Cerpen ‘Rahasia Bubur Pedas’ termasuk dalam ‘Keluarga Kudus’, antologi Cerpen Pilihan Kompas 2021. Sedangkan cerpen ‘Ihwal Nama Majid Pucuk’ muncul sebagai cerpen terbaik Kompas 2022. Tinggal di Medan dan hingga saat ini masih bekerja sebagai wartawan. Masih memotret, sesekali melukis, mengerjakan desain grafis, membuat sketsa dan ilustrasi. Juga masih bermusik, dan tentu saja bermain sepak bola.
Bambang Pramudiyanto, lahir di Klaten, 1965. Mulai masuk STSRI “ASRI” tahun 1984. Mengikuti Perfomance Art “Distructive Image” di Malioboro Yogyakarta, dan sejumlah pameran, antara lain pameran “Citra Realistik” di Galeri Nasional Jakarta, pameran Biennale “Jogja Janmming”, pameran Biennale X Jakarta, dan pameran ARTJOG I di Taman Budaya Yogyakarta.
.
Tiga Kuburan Lain. Tiga Kuburan Lain. Tiga Kuburan Lain. Tiga Kuburan Lain. Tiga Kuburan Lain.
Leave a Reply