Cerpen, Kompas, Risen Dhawuh Abdullah

Tohjaya

Tohjaya - Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Tohjaya ilustrasi Aricadia/Kompas

4.3
(4)

Cerpen Risen Dhawuh Abdullah (Kompas, 20 Oktober 2024)

SETELAH kau renungkan, kau membenarkan yang dikatakan oleh Pranaraja, abdi kesayanganmu itu. Kau memang harus melenyapkan keturunan Anusapati. Sesegera mungkin. Jika perlu sampai ke akar-akarnya. Sudah pasti, jika kau membiarkannya, kau hanya sekadar mengamankan harimau yang kau bunuh induknya. Harimau itu kau letakkan di dalam kandang. Harimau itu sewaktu-waktu bisa lepas ketika kau teledor dan akan menerkammu untuk membalaskan dendam atas kematian induknya. Maka sudah semestinya kau juga membunuhnya!

“Ada satu lagi, menurut hamba, harimau yang perlu dilenyapkan,” ujar Pranaraja. Kau berdiri membelakanginya, di sebuah ruangan, kau hanya berdua dengannya.

“Siapa lagi, Pranaraja?”

“Harimau yang satu ini sangat berbahaya meskipun Gusti Prabu tidak pernah mempunyai urusan dengannya. Namun, dia bisa sewaktu-waktu menerkam siapa saja yang berada di dalam istana,” terang Pranaraja dengan penuh kehati-hatian.

“Katakan, Pranaraja. Siapa harimau itu?”

Kau membalikkan badanmu. Menatap Pranaraja. Tatapanmu mengisyaratkan ketidaksabaran. Kau merasakan ada yang mendesak-desak ingin keluar dari dadamu, tapi kau berusaha keras menekannya. Pranaraja segera mengatakan siapa harimau yang dimaksud dirinya, selain keturunan-keturunan Anusapati.

Narasinghamurti? Mendengar nama itu keluar dari mulut Pranaraja, kau kemudian mencekik leher Pranaraja dan kau berkata kepadanya bahwa sebaiknya jangan main-main dalam berkata. Kau juga katakan kepadanya, apakah dirinya sengaja mengadu domba dirimu dengan Narasinghamurti? Pranaraja memohon ampun atas ucapannya.

“Saya pun tidak dapat memungkiri bahwa apa yang Gusti Prabu sampaikan itu benar. Gusti Prabu memang tidak pernah mempunyai urusan dengan Narasinghamurti.”

“Lantas kenapa aku harus melenyapkannya?”

“Menurut hamba, yang harus Gusti Prabu pahami, Narasinghamurti keturunan Gusti Prabu Ken Arok langsung. Ini sangat berbahaya. Apalagi, akhir-akhir ini, hamba juga mendengar kasak-kusuk dari orang-orang yang tunduk pada Seminingrat, bahwa Gusti Prabu dianggap tidak layak memimpin Singhasari.”

“Tidak layak?” Nada bicaramu meninggi. Kau tidak menyangka dengan apa yang Pranaraja ujarkan. Sebagai seorang raja, kau merasa kebangetan, kasak-kusuk yang begitu penting itu tidak sampai ke telingamu jika Pranaraja tidak menyampaikannya.

“Begitulah, Gusti Prabu. Orang-orang yang tunduk pada Seminingrat, mereka juga berada di pihak Narasinghamurti. Dengan kata lain, mereka pasti akan merestui apa yang menjadi keinginan Seminingrat.”

Keterangan Pranaraja yang terakhir benar-benar membuatmu tidak menyangka. Kau menjadi merasa, sebagai seorang raja, kau tidak bisa membaca keadaan. Keinginanmu berkuasa yang hanya dilandasi perasaan dendam justru membawamu pada jurang yang membahayakan. Dalam hati kecilmu, kau mengakui bahwa kau tidak pantas menjadi seorang raja.

Saran Pranaraja untuk melenyapkan keturunan Anusapati—Seminingrat dan anak-turunannya—sepenuhnya tidak perlu kau ragukan, sebab sudah pasti mereka akan membalaskan dendam atas kematian Anusapati yang kau lenyapkan nyawanya. Namun, Narasinghamurti? Apakah memang ia harus dilenyapkan sekalipun ia berada di pihak Seminingrat? Selama ini, kau merasa hubunganmu dengannya berjalan baik-baik saja.

Kau menjadi mempertanyakan apa yang diucapkan oleh Pranaraja. Kau tidak boleh gegabah. Maka tidak menunggu waktu lama, kau segera mengutus beberapa orang kepercayaanmu untuk mengusut kebenaran yang disampaikan Pranaraja. Tidak memakan waktu lama pula, informasi yang kau kehendaki sampai padamu. Dan ternyata memang benar, Narasinghamurti berada di pihak Seminingrat.

“Dari yang hamba dengar, Gusti Prabu, karena mereka sama-sama senasib, berasal dari keturunan Ken Dedes. Ampun beribu ampun Gusti Prabu, sementara Gusti Prabu tidak senasib dengan mereka. Maka, di sini bisa dipahami, kenapa Narasinghamurti mendukung Seminingrat menjadi raja Singhasari,” kata salah seorang kepercayaanmu.

Dari keterangan orang tersebut, kau tidak dapat sepenuhnya menerima. Keterangan itu masih menyisakan pertanyaan, apakah keberpihakan Narasinghamurti karena senasib keturunan Ken Dedes? Kau curiga, Narasinghamurti sudah dicekoki dengan narasi-narasi yang tidak benar mengenai dirimu sehingga kemudian ia berada di lingkaran Seminingrat. Prasangka itu muncul karena Narasinghamurti masih keturunan langsung dari Ken Arok, ayahandamu. Selama ini kau merasa hubungan yang kau jalin dengannya baik-baik saja.

Namun, pada akhirnya, pikiran-pikiran yang keluar dari kepalamu sendiri ternyata semakin memperkeruh keadaan. Hatimu semakin ditutupi oleh kabut hitam. Yang kau pikirkan kemudian, sesegera mungkin untuk melenyapkan Seminingrat beserta Narasinghamurti, sesuai dengan yang disarankan oleh Pranaraja. Bagaimanapun kau sudah mencari bukti-bukti lewat orang-orang kepercayaanmu, dan bukti-bukti lebih terang daripada pikiranmu sendiri.

Kau sudah bulat dalam mengambil keputusan. Langkahmu sudah mantap. Maka, kau panggil Lembu Ampal, seorang kesatria Singhasari yang kau banggakan.

“Tentu kau masih ingat, apa yang sudah pernah kulakukan terhadapmu sehingga kau bisa berada di sini,” katamu kepada Lembu Ampal. Memang begitu, kau sengaja mengungkit jasamu terhadapnya di masa lalu, supaya kehendakmu tidak membentur rintangan-rintangan.

“Hamba tentu masih ingat. Tanpa Gusti Prabu, hamba tidak mungkin selamat dari kejaran Anusapati karena dituduh sebagai mata-mata Gusti Prabu.”

“Sudah saatnya aku meminta balasan atas yang kulakukan padamu,” ucapmu.

“Hamba siap melakukan apa saja untuk Gusti Prabu.”

Kau pun tersenyum penuh kemenangan. Kau berbisik kepada Lembu Ampal apa yang kau inginkan, yaitu mengenyahkan nyawa Seminingrat dan Narasinghamurti. Bagaimana caranya, kau tidak peduli. Kau ingin segera mendengar kabar kematian kedua orang itu. Lembu Ampal pun menyanggupi. Kau yakin, Lembu Ampal akan dengan mudah membunuh dua orang itu. Di matamu, Lembu Ampal adalah orang yang sakti mandraguna.

Pikirmu, Lembu Ampal tidak akan memakan waktu hingga berhari-hari lamanya untuk menyelesaikan tugasnya. Bagi orang sesakti Lembu Ampal, tidaklah menjadi hal sulit menuntaskan tugas seperti yang kau berikan. Kau mempunyai keyakinan itu, tapi hingga berhari-hari, kabar yang kau harapkan tak kunjung datang. Kau pun dengan penuh murka memanggil Lembu Ampal ke istana. Lembu Ampal mengaku sudah mencari ke sana-sini, ia tidak juga menemukan keberadaan dua orang itu.

“Aku merasa ada sesuatu yang kau sembunyikan, apakah kau akan berkhianat? Sampai saat ini, kau tidak dapat menemukannya!”

“Ampun, Gusti Prabu. Hamba tidak berani bertindak seperti yang Gusti Prabu katakan. Memang benar, keduanya tidak hamba temukan.” Lembu Ampal terbata-bata dalam berucap.

Maka, setelah menghadap kepadamu, berangkatlah kembali Lembu Ampal mencari Seminingrat dan Narasinghamurti. Kau tebar ancaman padanya, kau tidak segan-segan akan menghilangkan nyawanya jika tidak kunjung dapat menemukan keberadaan kedua orang itu. Kau menganggap, jika ia tidak dapat segera menemukan, berarti ia telah berupaya berkhianat. Atas nama ketidaksabaran, kau ucapkan hal itu kepada Lembu Ampal.

“Bagaimana jika Lembu Ampal merasa terancam dan ia malah berkhianat?”

Pertanyaan itu tiba-tiba muncul di benakmu. Muncul andaian rangkaian peristiwa, jika memang Lembu Ampal menjadi merasa terancam atas ucapanmu. Ia tidak kembali ke istana.

Di titik ini, kau menyesal, kau harus kembali mengakui bahwa dirimu tidak pantas duduk di singgasana. Kau terlalu terburu-buru untuk memutuskan mengeluarkan ancaman kepada Lembu Ampal. Andai saja kau bisa lebih sedikit untuk bersabar, tentu pikiran-pikiran yang mengotori kepalamu saat ini tidak akan pernah ada.

“Tidak. Keputusanku sudah benar.” Kau menepis sendiri penyesalanmu.

Kau kembali teringat dengan ucapan-ucapan Pranaraja. Bagaimanapun, Seminingrat dan Narasinghamurti tetaplah dua harimau yang harus dilenyapkan. Terkhusus, Narasinghamurti, meskipun kau tidak pernah mempunyai konflik dengannya, siapa yang bisa menjamin hari esok akan baik-baik saja? Ini menyangkut kekuasaan. Bisa saja, ia sebenarnya merasa berhak atas takhta yang kau singgahi sekarang—berhak karena merasa keturunan permaisuri Ken Arok.

Ternyata apa yang kau khawatirkan tidak terbukti. Tiga hari dari kau mengancamnya, Lembu Ampal kembali menginjakkan kaki di istana. Keberaniannya membuatmu mengambil kesimpulan, bahwa ia sudah berhasil membunuh Seminingrat dan Narasinghamurti. Hal itu juga dikuatkan dengan wajah Lembu Ampal yang penuh kepuasaan.

“Kedatangan hamba tentunya hendak memberitahukan kabar gembira, kabar yang selama ini dinanti-nanti oleh Gusti Prabu. Hamba telah berhasil melaksanakan perintah, Gusti Prabu,” ucap Lembu Ampal.

“Benar apa yang kau katakan itu?” Meski tidak bisa ditutupi, bahwa kau tampak begitu senang, kau tetap menginginkan sebuah bukti sehingga sepenuhnya kau bisa percaya.

“Hamba akan segera tunjukkan bahwa ucapan hamba benar adanya.”

Tidak ada kesempatan bagimu untuk mengelak, sebuah gerak yang begitu cepat kau lihat. Gerak itu berakhir di hadapanmu. Wajah Lembu Ampal sudah berada di samping wajahmu. Nyeri yang luar biasa kau rasakan pada bagian perutmu. Kau tidak menyangka. Rasa nyeri itu semakin menjadi setelah sesuatu yang kau rasakan menancap di perutmu, tenggelam semakin dalam.

“Hamba memang tidak suka dengan Anusapati, tapi tidak berarti hamba juga berada di pihak Gusti Prabu. Bagi hamba, Gusti Prabu Narasinghamurti lebih pantas duduk di singgasana Singhasari, sebab ia tidak ternodai dendam masa lalu, seperti Gusti Prabu, juga anak turun Anusapati. Wangsa Rajasa akan berjaya di masa depan!” ujar Lembu Ampal.

Di telingamu, kata-kata Lembu Ampal laksana guntur. Ingin kau mendorong Lembu Ampal menjauh, tapi sakit yang kau rasakan membuatmu tidak dapat melakukan itu. Kau semakin tidak berdaya saat benda yang bersemayam di perutmu ditekan kembali oleh Lembu Ampal.

Sebuah wajah yang kau kenal sudah berada di hadapanmu. Bukan Seminingrat. Bukan Narasinghamurti. Wajah Pranaraja. Orang yang tanpa kau sadari telah menjerumuskanmu ke dalam jurang kematian. Kau ingin memenggal kepalanya, tapi sudah terlambat. Matamu perlahan terpejam, beriringan dengan meredupnya keinginan itu. ***

.

.

Bantul, Juli 2024

Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Magister Sastra Fakultas Ilmu Budaya UGM angkatan 2023. Alumnus Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji. Bermukim di Bantul, Yogyakarta.

Aricadia, lahir di Semarang, Jawa Tengah, 4 November 1965. Mulai melukis secara otodidak sejak menginjak Bali tahun 1989. Dia setidaknya sudah lima kali pameran tunggal dan 16 kali pameran bersama. Saat ini bermukim di Siangan, Gianyar, Bali.

.
Tohjaya. Tohjaya. Tohjaya. Tohjaya. Tohjaya. Tohjaya. Tohjaya. Tohjaya. 

Loading

Average rating 4.3 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!