Cerpen Artie Ahmad (Koran Tempo, 20 Oktober 2024)
DI bawah temaram cahaya rembulan yang pucat, ia mengamati seekor lembu yang sedari tadi berdiri di hadapannya. Lembu berukuran setidaknya dua kali lipat dari ukuran lembu pada umumnya. Lenguhan lembu itu membahana, beriringan dengan siutan angin malam yang mengundang gigil. Mata perempuan itu menatap lembu di depannya dengan tatapan hampa, daya hidupnya telah menghilang tiga hari lalu. Sungguh, ternyata di alam fana ini kecantikan paras bisa mengundang celaka. Nestapa yang terlahir dari eloknya rupa.
Lembu itu masih melenguh, ekornya bergoyang-goyang. Perempuan itu hanya duduk di bawah pokok randu, menatap binatang berukuran besar itu dengan mata menyelidik. Di manakah malaikat yang seharusnya menjemputnya? Mengapa malahan seekor lembu yang datang?
“Mengapa kau yang datang?” ujar perempuan itu dengan nada heran. “Seharusnya malaikat yang datang menjemputku, mengantarku ke nirwana setelah selesai duniaku di alam fana.”
Lembu itu tak menjawab. Dia hanya melenguh, ekornya bergerak-gerak. Lembu itu berwarna putih, dengan semburat hitam di tengah kepalanya. Laksmi, perempuan itu tak bisa mengerti mengapa dirinya dijemput seekor lembu. Konon telah lama dia mendengar, ketika kelampusan datang, maka malaikat yang akan tiba, membawa dirinya ke alam kekal. Tapi malam ini dia terheran-heran, malahan seekor lembu yang hendak membawanya pergi.
Laksmi terus bertanya, si lembu hanya menatapnya. Tak ada jawaban, tak ada suara balasan selain lenguhan. Lembu itu masih berdiri dengan ekor bergoyang-goyang. Hanya saja kedua kaki depannya mulai mengentak-entak. Lenguhannya bertambah nyaring. Laksmi habis sabar, perempuan itu berdiri kemudian berjalan ke arah si lembu.
“Apa maumu?” tanya Laksmi selepas berhadapan dengan si lembu.
Kali ini lembu itu melenguh perlahan, lantas dia duduk di tanah. Kepalanya mendongak ke arah Laksmi, tampak betul dia berharap agar perempuan itu duduk di atas punggungnya.
“Kau akan membawa aku pergi?” kembali Laksmi bertanya.
Lembu itu menggerak-gerakkan kepalanya. Laksmi memandangi punggung lembu itu, lantas mendekat meski ragu-ragu. Kecantikan wajahnya yang paripurna, tersorot cahaya rembulan. Meski ragu, saat menyadari bahwa tak ada malaikat yang kunjung datang menjemputnya, Laksmi insyaf. Dengan hati-hati perempuan berkebaya putih berjarik kawung itu duduk di atas punggung lembu. Sesaat setelah memastikan bahwa Laksmi telah nyaman duduk di punggungnya, lembu itu berjalan perlahan kemudian mulai mengambang, lalu terbang setelah beberapa kali berputar di udara. Lesap, hilang di balik mega-mega.
***
KECANTIKAN tak ubahnya kutukan bagi sebagian perempuan, termasuk Laksmi. Ia tak pernah tahu mengapa parasnya demikian elok, mengapa wajahnya seakan tak ingin menua. Kulit di wajah senantiasa kencang, tampak selalu ledang. Laksmi tak pernah mengerti juga, mengapa para lelaki begitu keranjingan kepadanya, padahal sama sekali dirinya tak pernah menarik perhatian mereka. Tubuhnya yang sintal memang begitu adanya, tak pernah dirinya dengan sengaja menampilkan lekuk tubuhnya untuk menarik syahwat para pria. Semesta telah bermurah hati kepadanya. Tanpa daya upaya, elok rupa dan muda penampilan telah dimilikinya.
Namun, anugerah nyatanya bisa berubah menjadi sebuah kutukan. Tiga hari sebelum dirinya dijemput oleh lembu putih itu, orang-orang desa merajamnya tanpa ampun. Dia tak mengerti, mengapa nyaris semua orang di desa ingin dia mati.
“Dia telah memakai guna-guna!” teriak seorang lelaki dengan parang di tangannya. “Karena dia, aku sering cekcok dengan istriku!”
“Dia menggoda suamiku!” teriak seorang perempuan, wajahnya terlihat berang.
Laksmi hanya menggelengkan kepala. Dia tak pernah memakai rajah, tak pernah pula bersua dengan orang pintar. Tak ada satu pun lelaki yang dirayunya, apalagi lelaki beristri. Lantas mengapa semua orang menuduhnya? Kecantikannya dianggap wujud dari bala, mengakibatkan warga desa menderita. Orang-orang segera memburunya, mengatakan bahwa dia adalah sebab dari semua hal yang terjadi di desa. Para perjaka menolak menikah apabila tidak dengannya, para gadis desa patah hati, para suami turut tergila-gila melihat paras Laksmi, sedangkan para istri terlibat rasa cemburu tak berkesudahan setiap hari.
Maka untuk mengakhiri semua penderitaan warga desa, si momok berwajah jelita itu harus dibinasakan. Laksmi diburu. Setelah tertangkap, dirinya diseret beramai-ramai. Mereka semua harus mengadili perempuan itu. Meski Laksmi meminta ampun dan bersedia meninggalkan desa, semua warga tak percaya dengan apa yang ia sampaikan. Menurut mereka, nasib malang warga desa bisa saja terjadi di desa lain ketika Laksmi menetap di sana. Tidak bisa, satu-satunya jalan adalah dirinya harus dimusnahkan. Laksmi harus dirajam, dia biang dari segala keributan.
Perempuan malang yang tak pernah mengerti mengapa dirinya harus mendapat hukuman itu hanya memasrahkan diri, lemparan batu dan sabetan cemeti diterimanya secara bertubi-tubi. Tubuh yang elok itu, tak perlu waktu lama menjadi bulan-bulanan, tak ada lagi paras jelita, tubuhnya terlihat payah. Lalu setelahnya nyawanya turut terlepas dari raga. Di bawah pohon randu siang itu, Laksmi harus mengalah di tangan orang-orang yang menuduhnya sebagai pendosa lantaran memiliki bakat sebagai penggoda, meski sungguh ia tak mengerti apa-apa.
Jasadnya yang telah membiru dibiarkan saja terduduk di bawah pohon randu. Bagai sebuah monumen akan dosa manusia, orang-orang yang lewat hanya mengamati tanpa rasa ingin menguburkan atau mengkremasi. Di atas dunia fana, itulah yang pantas disandang bagi seorang pendosa.
Siang berganti malam, kemudian hari berganti. Tubuh larat tak berisi roh itu akhirnya menghilang selepas sekawanan burung balam datang. Bagai magis tak bisa dimengerti akal manusia, tubuhnya telah lesap, lindap entah di mana, menyisakan roh miliknya yang senantiasa abadi.
Namun, beberapa waktu setelah jasadnya dibawa pergi, Laksmi heran mengapa tak ada malaikat yang datang menjemputnya, membawanya pergi entah ke mana, ke nirwana atau neraka guna melebur dosa.
***
DI atas punggung lembu itu Laksmi tak kunjung mendapatkan jawaban ke manakah dirinya akan dibawa pergi. Ia hanya menduga-duga, akankah dirinya dibawa ke nirwana atau ke neraka. Bukankah sesungguhnya dirinya tak pernah melakukan dosa yang disangkakan semua warga desa, jadi bukankah lebih pantas dirinya dimasukkan ke nirwana? Konon sejak dirinya kanak dulu, hukum manusia memanglah begitu, siapa yang melakukan serangkaian kebaikan dan menjauhi dosa, maka akan diganjar nirwana. Tapi bagaimana kalau ternyata Laksmi sempat melakukan serangkaian dosa tanpa disadari dan Tuhan enggan mengampuni? Maka tersebutlah seperti di serat-serat kebajikan yang dulu sempat ia baca, Laksmi akan dimasukkan ke neraka, tempat penebusan dosa bagi manusia.
Lembu itu membawanya terbang ke balik mega-mega, kemudian terbang rendah seakan kembali ke bumi. Dataran bagai padang luas terbentang di depan mata Laksmi, seperti savanah tanpa pangkal ujung. Lembu itu terus terbang rendah, sampai mereka melesat di antara jejeran pohon-pohon cemara, hamparan hijau masih membentang meski kali ini mulai bermunculan warna-warna lain. Bunga-bunga bermekaran, menyebarkan aroma wangi ke mana-mana. Baru kali ini Laksmi melihat bunga-bunga seranum itu, mekar kelopaknya serta harumnya begitu memikat.
Lembu-lembu lain bermunculan, terbang rendah seperti tunggangannya kini, para perempuan duduk di punggung mereka. Seekor lembu berwarna hitam membawa seorang perempuan muda berwajah muram, lembu lainnya membawa seorang perempuan berwajah putih serupa pualam. Laksmi menghitung, begitu banyak lembu-lembu itu. Lalu tiba-tiba muncul seekor lembu membawa perempuan muda, berkebaya biru beludru, dengan giwang permata berwarna senada, sedang jariknya sekar jagad.
“Kau akhirnya datang, Laksmi!” seru perempuan itu ramah.
“Kau mengenalku?” Laksmi keheranan.
“Tentu, aku mengenal semua perempuan malang di atas dunia yang fana.”
“Siapa kau?”
“Aku?” perempuan itu tertawa lunak. “Aku Sekar Jagad, pamong para perempuan di sini.”
Laksmi menghela napas, ia ternyata tak masuk ke nirwana, bukan pula dijerumuskan ke neraka, melainkan dibawa ke sebuah alam lain. Di tempat ini begitu banyak lembu, juga begitu banyak perempuan.
“Semua nasib perempuan di sini sepertiku?” Laksmi kembali membuka suara.
“Ya, mereka senasib sepertimu, hanya lain-lain saja bentuknya. Kau lihat perempuan berwajah seputih pualam. Perempuan itu dulu dijual bapaknya kepada seorang lelaki, lalu mengalami serangkaian pengembaraan hampir seumur hidupnya. Kini ia berada di sini, bersedia membantu menjemput para perempuan tak beruntung seperti dirinya.”
“Aku bisa membantu perempuan-perempuan di jagad sana juga? Perempuan yang bernasib malang sepertiku, dinilai sebagai pendosa meski tak melakukan apa-apa. Kecantikan tak ubahnya kutukan, aku larat karenanya….” suara Laksmi terdengar pilu. Sungguh, ia tak pantas mati dengan cara seperti itu.
“Ya, lembu ini akan mengantarmu ke mana saja kau mau. Berkeliling mencari dan menjemput perempuan-perempuan bernasib sepertimu.”
Lembu-lembu beterbangan, di atasnya bertengger para perempuan, sebagian dari mereka masih berwajah muram seperti Laksmi, sebagian yang lain berwajah cerah cemerlang tak ubahnya sinar rembulan tatkala purnama. Lembu-lembu beterbangan seraya melenguh dengan ekor bergerak-gerak bagai pendulum.
Perempuan-perempuan di punggung lembu itu bernasib seperti Laksmi, larat hidup di dunia fana, tersiksa jiwa raga secara tak terperi. Lembu-lembu beterbangan, menjemput para perempuan, ke tempat yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Tempat nan damai, tak ada kesakitan, tak ada penghinaan, tak ada penghakiman dari sesama manusia yang saban waktu bergumul dengan dosa. ***
.
.
Salatiga, Oktober 2024
.
Catatan:
Cerpen ini bisa dibilang sekuel dari cerpen “Perempuan Pengembara yang Menunggangi Seekor Lembu” yang dimuat di Koran Tempo, 29 September 2018.
.
.
Artie Ahmad lahir di Salatiga, Jawa Tengah. Dia menulis cerita pendek dan naskah novel.
.
Perempuan-perempuan di punggung lembu.
Leave a Reply