Cerpen Muna Masyari (Kompas, 27 Oktober 2024)
SUBUH telah menyusut, menggulung pergelaran pesta demokrasi di lapangan dekat balai, yang digelar sejak kemarin pagi. Puncak penghitungan suara di menit-menit pertengahan malam menyisakan sesak di dadamu seperti gerobak bertumpuk sampah yang biasa tergeletak di dekat pasar.
Perdagangan telah usai.
Tenda yang menudungi lapangan, panggung yang teronggok diam, lincak-lincak milik penjual minuman dan makanan ringan yang memagar, kibaran umbul-umbul dan bentangan spanduk, kertas dan botol plastik yang berserakan, hanyalah saksi bisu yang perlahan kau tinggalkan. Kakimu terhenti di titik pertigaan yang mengarah ke Langgar, ke pasar, dan tempat dari mana kau datang, setelah sekian langkah berjalan seolah menghitung jarak antara masa lalu dan masa depan.
Kau mematung. Kepalamu sedikit terangkat. Di depan sana, dengan sepat campur pedas, matamu masih mampu menangkap awan kelabu di atas Langgar, serupa lukisan simpuh perempuan, ditemani setitik bintang pucat yang redup tersapu kabut. Sedikit menukik, tatapanmu menyapu halaman yang suram. Daun-daun kersen bertaburan, kuning layu dan kering kecoklatan.
“Tanah itu harus mereka kosongkan segera!” seru ayah Dahlan tadi malam, di antara orang-orangnya yang tengah berpesta kemenangan.
“Betul! Beraninya melawan kita!” sambut Mat Tanjar, kaki-tangannya, seraya membanting bungkus rokok setelah meloloskan satu batang isinya.
“Selama ini mereka sudah dibiarkan menumpang di tanah percaton kalebun, tapi sekarang malah melonjak!” sambung ayah Dahlan, geram.
“Patompes sakale!” seru yang lain.
Bungkus-bungkus rokok dan korek api berserakan di atas karpet merah-usang yang penuh peta-peta hitam bekas tumpahan kopi dan teh. Asap memenuhi udara dengan bau menyengat. Puntung-puntung dan abu menumpuk di lapik cangkir. Stok gorengan di piring-piring semakin menipis. Cangkir-cangkir tidak dibiarkan kosong. Mereka tidak terusik pada sorak-sorai pemuda di sudut halaman.
Selain petaruh yang ikut merayakan kemenangannya, kau yakin, sebagian orang berwajah asing di bawah tenda itu adalah bajing yang sengaja disewa untuk mengawasi jalannya pemilihan kepala desa. Atau, mungkin juga sebagai pelaku tindak kecurangan.
Petasan dan kembang api yang membubung ke udara dan mengoyak sunyi malam baru saja reda menyisakan gulung-gulung asap yang mengaburkan mata. Dua sapi digiring ke sudut tanah lapang, tidak jauh dari halaman, diikuti orang-orang. Hewan ternak itu diikat, lalu dirobohkan. Mata pisau yang mengiris urat lehernya disambut sorak kemenangan, menenggelamkan serak-parau jeritan sapi.
Keunggulan 13 suara bagi kemenangan Dahlan sebenarnya terlalu tipis untuk dibanggakan. Apalagi tabur uang yang dilakukan ayahnya demi mendulang kemenangan bagai menurunkan lumbung di depan gerombolan ayam lapar.
“Katanya, kalau Dahlan terpilih, Langgar dan rumah Ke Ta’lab akan dirobohkan. Betulkah?” kau tanyakan kebenaran rumor itu kepada ayahmu suatu senja, kurang dari 48 jam setelah kau injakkan kaki kembali di kampung halaman.
Pemilihan kalebun tinggal menghitung jari dan rumor itu sempat kau kuping di kedai kopi dan di gardu pinggir jalan tempat ibu-ibu menghentikan pedagang sayuran.
“Katanya begitu,” ayahmu menjawab datar. Tanpa riak kekhawatiran. Memperhatikan mulut sapi yang sedang menikmati rumput segar di depannya. Liur meleleh dari sela bibir hewan berbulu merah kecoklatan itu.
“Apa Langgar dan dhalem Ke Ta’lab memang pemberian kalebun towa?”
Sapi melenguh sebentar seolah sedang sendawa.
“Aku juga tidak tahu dengan pasti. Tapi katanya, dulu Mbah Ke Ta’lab memang butuh tempat tinggal, dan kampung ini butuh guru ‘ngaji!” jelas ayahmu kemudian sambil menumpuk rumput ke depan sapi.
“Kalau begitu memang sama-sama membutuhkan.”
“Iya. Saudaranya banyak, beliau tidak punya rumah dan anaknya masih kecil, jadi diminta pindah ke kampung ini. Rumah dan Langgar itu dibangun oleh masyarakat.” Ayahmu mengangkat seember air bekas cucian beras yang berada di bawah dan meletakkannya di tempat pakan sapi. Si Sapi segera menyambut.
“Bukan pemberian kalebun towa?” kejarmu, mengingat cerita Dahlan dulu.
“Bukan seluruhnya. Banyak sumbangan masyarakat, mulai dari kayu, paku, genteng.”
“Pengerjaannya juga gotong royong?”
“Katanya begitu. Tapi kalebun towa yang menanggung makanannya. Bahkan sumur itu hampir sebulan penggaliannya.” Air keruh dalam ember diaduk hingga endapan di dasarnya kembali bercampur.
“Tanahnya?”
Tak lepas menatap Sapi yang sedang minum, ayahmu menjelaskan bahwa Langgar dan rumah itu berdiri di atas tanah percaton khusus kalebun. Semula tanah itu ditanami warga dan cukup produktif untuk ukuran tanah tandus, sebab dikelola dengan sungguh-sungguh.
Memang belum pernah ada yang menggugat keputusan kalebun towa, sebab jabatan kalebun bagai warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Dan sekarang, Langgar berlantai dan berdinding papan kayu itu tampak masih sekokoh dulu. Tidak banyak berubah. Pohon kersen yang rindang tetap menaungi halaman. Rumah adat di utara halaman juga tidak mengalami perubahan berarti, sekadar catnya yang berganti warna. Serambi beratap rendah seperti topi yang sengaja ditundukkan untuk menyembunyikan wajah pemakai. Hanya sumur di selatan langgar yang sudah dinaungi atap asbes, menyatu dengan kamar mandi. Sudah tanpa kerekan besi.
Bayang-bayang masa kecil ketika belajar mengenali huruf-huruf hijaiyah bersama teman-teman berkelebat cepat di kepalamu. Rasanya baru kemarin kecipak bunyi sandalmu berkejaran menjelang azan maghrib berkumandang demi menyelamatkan betis dari sabetan sapu lidi yang bisa meninggalkan memar.
Di Langgar itu juga kau pernah mengompol ketika pertama kali menginap dan esoknya tak henti diolok-olok teman-teman. Bermain petak umpet sehabis salat isya’di bawah cahaya bulan jadi malam yang paling dinantikan meskipun hal itu membuat kalian lupa menghafal ayat-ayat pendek sebelum tidur, untuk kemudian diharuskan mengisi bak mandi sebagai ganjaran. Canda tawa yang berbaur dengan bunyi kerek besi dan guyuran air ke bak mandi mengalahkan cericit burung dan kokok ayam.
“Siapa yang menggantikanku, besok kubawakan jagung sangrai!” lantang Dahlan, ketika tiba gilirannya mengerek tambang timba.
Hampir semua mengacung, berebut menggantikan posisi Dahlan, kecuali Samsul yang ditugas mengawasi yang lain. Ingatan Samsul memang kuat sehingga hafalannya selalu lancar, tidak mengecewakan. Dia juga yang rajin bersih-bersih di Langgar ketika yang lain bergayut di dahan-dahan pohon kersen memburu buahnya yang ranum.
Matahari mulai mengecup pucuk-pucuk kersen saat kalian pulang dengan sarung basah yang digulung hingga lutut dan saling memamerkan buah kersen sesama teman. Tentu saja daun-daun di halaman sudah disapu meskipun tidak sebersih sapuan ibu.
Si raja kecil Dahlan selalu mendapat sumbangan buah dari yang lain, sebab dia juga sering membawa gorengan atau jajanan kering ke Langgar untuk dibagi-bagikan.
“Apa kalian tahu, kata Eppa’, Langgar ini dan dhalem Keae itu, dulu dikasih Mbah Juju’?” tanya Dahlan suatu malam, ketika kalian sama-sama jongkok dengan posisi melingkar mengelilingi seplastik butir-butir jagung sangrai yang mengembang mirip melati mekar. Perkataannya lebih bernada pemberitahuan daripada pertanyaan.
“Sumur dan dapur itu juga?” tanya yang lain.
“Tentu saja!”
“Wah, Mbah Juju’-mu berarti kaya!” serumu setelah menelan kunyahan yang membuatmu hampir tersedak.
“Mbah Juju’ kan jadi kalebun, uangnya pasti banyak!” balas Dahlan bangga.
Sejak itu, kalian semakin mengagumi keluarga Dahlan sebagai orang hebat dan berjasa besar! Apalagi setiap ada acara, ayah-ibu Dahlan selalu diundang dan menduduki kursi baris depan. Entah itu pernikahan, pengajian, maupun selamatan Bhuju’ yang digelar setiap awal Muharram.
Rumahnya juga bagus, dan ketika diajak main ke sana, kau dan teman-temanmu selalu pulang dengan perut kenyang.
Baru menjelang pemilihan kalebun kemarin perkataan Dahlan di Langgar waktu itu menyengat ingatanmu. Sebuah kepulangan yang disambut rumor mengejutkan, setelah sekian tahun kau menganggap kampungmu baik-baik saja.
Sejak dulu, ternyata keluarga Ke Ta’lab sudah dijadikan mata celurit untuk membabat lawan, sebab masyarakat memercayakan suaranya pada dukungan kiai. Jika kali ini ayah Dahlan menjadikan kediaman Ke Ta’lab bagai taruhan, justru karena kiai itu terang-terangan mendukung Samsul untuk menjadi lawan kuat Dahlan di pemilihan, demi memutus rantai dinasti kekuasaan dan menghentikan pengaburan dana desa yang tak pernah jelas dialokasikan ke mana.
Akan tetapi, ayah Dahlan tak segan mengeluarkan dana ratusan juta untuk menghimpun suara. Bantuan pangan digelontorkan demi menarik simpati masyarakat dan melumpuhkan lawan.
Pesta kemenangan pun dirayakan setelah penghitungan suara usai.
Duduk berhadapan di sudut tenda setelah sekian tahun tidak berjumpa dengan Dahlan, mengingatkanmu pada si raja kecil yang ringkih, kesulitan menimba air, tidak mahir memanjat, tetapi memiliki jagung sangrai yang mengembang seperti kelopak melati mekar.
“Apa Langgar kita tetap akan dirobohkan?” tanyamu hati-hati, menjentik abu rokok ke lapik cangkir.
“Aku tidak tahu apakah Eppa’ akan benar-benar melakukan itu.” Dahlan menjawab datar, seperti patung tanah liat.
Kau baru meninggalkan pesta kemenangan itu menjelang subuh, ketika aroma sate menguar ke udara dan asap menyungkupi halaman. Lama kakimu tertahan di bibir lapangan, dekat balai, melihat sisa-sisa pesta demokrasi yang tak menyisakan apa pun kecuali saksi bisu dan sampah-sampah berserakan.
***
Cahaya matahari mulai mengecup pucuk-pucuk daun kersen saat kau melihat sosok Ke Ta’lab perlahan turun dari Langgar. Punggungnya semakin melengkung ketika beliau membungkuk mencari sebelah terompahnya yang hilang. ***
.
.
Madura, September, 2024
.
Catatan:
Percaton kalebun: aset desa yang pengelolaannya diberikan pada kepala desa.
Patompes sakale: bunuh sekalian.
Bajing: sebutan untuk orang sejenis bandit yang berada antara dunia hitam-putih.
Dhalem: rumah
Kalebun towa: kepala desa lama
Mbah Juju’: kakek buyut
.
.
Muna Masyari. Buku-bukunya pernah mendapatkan penghargaan Sutasoma dari Balai Bahasa Jatim dan Kemendikbudristek sebagai buku cerpen terbaik. Juga masuk 5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2021 untuk novelnya, Damar Kambang. Buku yang baru terbit, Kembang Selir, diterbitkan oleh Divapress.
I Wayan Sujana Suklu. Lahir di Klungkung, Februari 1967. Tinggal di Banjarangkan, Klungkung, Bali. Setidaknya lima pameran tunggal dan puluhan kali pameran bersama telah ia gelar. Beberapa kali mendapat penghargaan, antara lain The Best 10 Indonesian Competition of Philip Morris Asian Art Award 2003, CP Open Biennale 2003, serta The Winner of LIBAF Senggigi Lombok 2013.
.
Mata Celurit. Mata Celurit. Mata Celurit. Mata Celurit. Mata Celurit.
Leave a Reply