Cerpen, Media Indonesia, WS Djambak

Korban Karbon

Korban Karbon - Cerpen WS Djambak

Korban Karbon ilustrasi Budi Setyo Widodo (Tiyok)/Media Indonesia

5
(1)

Cerpen WS Djambak (Media Indonesia, 17 Desember 2023)

BABON mulai menggila dan berteriak-teriak serupa siamang di rimba. Suaranya mengguntur membahana meski desir angin dan debur ombak begitu dominan. Tak berlebihan memang pria yang bernama asli Ismail itu digelari babon, monyet besar dari Afrika sebab suara dan wataknya yang memang keras.

Langit yang mendung bahkan tak mampu meredakan suasana gerah akibat amarah Babon menghalau kerumunan yang semakin membuncah. Dia mengacungkan parang seakan siap menebas leher sesiapa saja yang mendekat, meski polisi sekalipun. Istrinya—yang kebetulan di sana sehabis mengantar makan siang—terpekik memohon-mohon agar suaminya mau menurunkan parang, namun Babon bergeming. Kawan-kawan kelompoknya pun tak kuasa menahan badan Babon yang—meski kecil, tapi liat dan gesit.

Para aparat sudah mulai mengeluarkan pentungan. Untung mereka tidak membawa senjata laras panjang, sebab kedatangan ke sana hanya bersifat pendampingan, bukan penertiban. Sambil melotot, Babon memainkan parang tersebut dan menyayatkan ke tangan, leher, perut, dan ajaib, tubuhnya tidak terluka sedikitpun. Ia mulai melangkah maju sambil memainkan parang, mengintimidasi.

Untung saja Kepala Desa yang juga masih pamannya datang. Dia yang seharusnya ikut bersama rombongan terpaksa datang terlambat karena harus menjumpai camat. Sebagai pendamping rombongan, ditugaskannya Sekretaris Desa menggantikan dirinya. Belum selesai urusannya dengan Pak Camat, sekretarisnya menelepon dan mengabarkan berita buruk itu.

Kepala Desa bergegas pamit dan memacu motornya sekencang mungkin. Sesampai di lokasi, ia langsung berjalan ke arah Babon. Barulah Babon mulai tenang. Betapa tidak, segala ilmu kebal yang dipertontonkannya itu dipelajarinya dari pamannya juga.

“Dinginkan kepalamu!”

Babon menancapkan parangnya dan duduk di tanah. Para aparat ikut menurunkan pentungan, mengendurkan kewaspadaan mereka, sedang pengusaha yang tadi mau membeli tanah di sana, terlihat berbisik-bisik dengan sesama mereka. Setelah beberapa saat berunding, salah satu di antara mereka angkat bicara.

“Pak Kades, mohon maaf, sepertinya kami tidak jadi membeli lahan ini. kami berubah pikiran.”

Kawan kelompok Babon bersorak riuh. Kepala desa hanya diam. Terbayang olehnya uang sekian ratus juta yang akan mengalir ke kas desa dan lapangan pekerjaan untuk pemuda di desanya hilang hanya karena ulah keponakan tololnya yang bersikeras mempertahankan tanah kosong terabrasi itu dan menolak pembangunan tambak udang di sana. Dengan senyum yang terpaksa, ia mengangguk dan berjalan ke arah mereka, mengantar kepergian rombongan itu sembari mengucap permohonan maaf yang tidak terhitung lagi kesekian kali.

Baca juga  Rumah Arwah

***

Babon asyik memasukkan propagul bakau yang dikumpulkannya dari hutan ke dalam plastik polybag yang diisi lumpur. Bibit itu kemudian disemai di tempat terlindung matahari. Jika sudah tumbuh tiga daun, ditanamnya ke daerah yang terabrasi.  Ia tampak begitu asyik tanpa memedulikan anggotanya yang juga asyik bercengkrama satu sama lain. Bahkan, ketika Kepala Desa datang, Babon juga tidak sadar hingga bahunya ditepuk pamannya itu.

“Sudah makan kau?”

“Sudah, Pakcik,” jawabnya sambil membetulkan posisi duduk menghadap kepala desa dengan takzim.

“Berhentilah main lumpur begini. Sudah waktunya kau bekerja. Atau pergi melaut menangkap terubuk.”

Babon tersenyum tanpa tersinggung sama sekali. Sudah ratusan orang yang mengatakan kegiatannya menanami mangrove tersebut merupakan kegiatan sia-sia dan main-main. Bahkan mertuanya sendiri menyindirnya dengan pedas sebagai lelaki tak bertanggung jawab terhadap perekonomian keluarga.

Ia menghentikan kegiatannya. Pandangannya dialihkan ke arah pohon api-api yang berdiri tunggal di ujung kuala. Akarnya seperti menggantung di tebing, menunggu rubuh akibat digerus gelombang Selat Malaka.

“Pakcik tentu ingat kalau dulu di depan sana adalah kampung tua,” tunjuknya ke arah kuala, “sekarang kampung itu sudah hilang, berikut ketam, buah tanah dan sepetang [1] yang semakin susah dicari. Masyarakat sudah mengungsi jauh ke darat.”

Kepala Desa diam menghela napas panjang, sepanjang lamunannya terhadap masa kanak-kanak yang selalu membayang di pelupuk matanya. Teringat olehnya dulu pernah ada tim peneliti dari Pekanbaru yang datang bersama orang Jepang ke desanya melakukan penelitian. Menurut si orang Jepang, abrasi di Bengkalis berkisar sampai empat puluh meter per tahun. Bahkan, beberapa tahun ke depan, Bengkalis diramalkan akan tenggelam.

“Lalu, kau rasa dengan menanam bakau ini abrasi akan berhenti? Sedang peneliti saja yang bersekolah tinggi tidak mampu mendapat solusi pasti menghentikan abrasi.”

“Setidaknya saya sudah mencoba, Pakcik.”

“Terserah miko [2] lah. Buatlah semaumu,” ujarnya pasrah.

***

Bengkalis (2019), Kebakaran lahan seluas 627 ha yang terjadi sepanjang tahun 2019 di Bengkalis, setidaknya sudah menelan ratusan korban. Dilaporkan oleh Kepala Dinas Kesehatan, sekitar 247 orang menderita penyakit ISPA, disusul oleh asma 15, pneumonia 4, iritasi mata 24 dan iritasi kulit 13 orang….”

Babon mengalihkan pandangan dari koran yang terletak di atas meja polisi yang tengah mengetik di hadapannya. Diputarnya pandangan ke sudut atas pintu masuk, tempat televisi tergantung di atas breket. Tayangannya masih sama, perihal kabut asap yang melanda Riau.

Baca juga  Sepucuk Surat

Sudah beberapa bulan ini langit Bengkalis berwarna kuning. Untuk bernapas saja susah, apalagi ketika teringat utang dan segala kepahitan hidup, semakin membuat napas sesak. Baju-baju berbau jerubu, hingga parfum mahal sekalipun tidak ada gunanya. Kemarau berkepanjangan membuat lahan gambut—yang harusnya basah, turut mengering akibat kanalisasi di perkebunan sawit—gampang tersulut api.

Di udara, helikopter berlalu lalang membawa waterbomber. Di darat, mobil damkar dan BPBD lalu lalang dengan bunyi sirine yang membuat suasana semakin mencekam. Tak lupa dari aparat militer dan kepolisian turut bahu-membahu berupaya memadamkan titik api yang tersebar di berbagai wilayah Riau.

Para pembakar lahan pun demikian, semakin giat aparat memadamkan api, semakin rajin pula mereka membakar lahan. Hal ini membuat warga muak, hingga beberapa dari mereka berdemonstrasi di kantor bupati, termasuk Babon yang menjadi koordinator aksi.

Siang itu, Babon tengah membuat permohonan izin berdemonstrasi di kantor polisi. Selepas pulang dari kantor polisi, ia mampir dulu membeli kelapa muda untuk diminum dan juga dibawa pulang. Kabut pekat membuat tenggorokannya tercekat. HP-nya mati seharian dan belum sempat dicas.

Babon menarik gas motornya pelan. Jarak pandang yang pendek menghalanginya melaju kencang. Sesampai di rumah istrinya berlari menyonsong keluar, seperti orang kesurupan. Ia meracau sambil menggendong anak mereka yang paling kecil dan baru berusia dua bulan. Si anak terlihat kesulitan bernapas dan sesegukan. Babon panik. Sepeda motornya yang belum sempat dimatikan, diputar keluar pekarangan menuju ke rumah sakit.

Sepanjang jalan, istrinya berteriak minta maaf kepada anak mereka seakan-akan kondisi si anak merupakan kelalaiannya.

Setiba di rumah sakit, mereka langsung ke IGD. Di ruang tunggu saja, sudah berkumpul ratusan orang mengenakan masker oksigen. Ada yang di ranjang, bahkan ada pula yang di lantai. Kamar rumah sakit penuh hingga pasien terpaksa dirawat di ruang tunggu. Sayangnya, pasien pun tidak bisa dirujuk ke Pekanbaru karena antrian kapal ro-ro membludak akibat banyaknya orang yang ingin kabur dari Bengkalis.

Anak Babon sudah dipasangi selang oksigen. Matanya terbuka separuh, yang terlihat hanya putihnya saja. Tak lama, dokter menggeleng lemah. Istri Babon terpekik. Babon syok, ia berlari keluar kemudian berjalan tanpa arah, meninggalkan sepeda motornya, istrinya, dan jasad anaknya yang masih segar. Matanya sembab dan merah saga. Air matanya tidak bisa keluar, namun gemuruh di dada menggelora. Ia harus membuat perhitungan dengan perusahaan yang membakar lahan.

Baca juga  Sepotong Senja untuk Pacarku

***

Bengkalis, suatu hari tahun 2045

“Kuingat, setidaknya itu terakhir kali kurasakan sesak napas. Bukan karena jerubu saja, melainkan segala duka. Sejak saat itu, aku mendendam. Kutanam segala yang bisa kutanam. Bakau, trembesi, menanam kebaikan. Untungnya, pemerintah kita cukup cerdik menjual kemampuan hutan dan mangrove kita dalam menyerap emisi karbon. Kau bisa lihat, sekarang udara bersih, aku kaya, semua negara maju membayar untuk setiap emisi karbon yang dikeluarkan. Aku yang dengan tunak menanam mangrove, mulai menuai apa yang kutanam dulu, tapi tetap saja penyesalan itu tidak hilang.”

Si lawan bicara tidak menjawab. Tangannya menggenggam jemari Babon yang sekarang sudah tidak lagi dipanggil Babon, melainkan Tuk Ismail.

“Lucu, ya. Dulu anak bungsuku mati karena emisi karbon di udara, sekarang aku menjadi pedagang karbon, meski aku sendiri tidak menyukai julukan itu. Ah, anakku. Kalau dia masih hidup, barangkali rupa kalian sama. Wajah kalian ketika bayi sedemikian mirip. Begitu cantik. Ah, sayangku,” ujarnya lemah sambil membelai pipi si wanita muda di hadapannya.

Sorot mata Babon lemah.

“Aku mengantuk.”

“Tidurlah, Tuk.”

Ia tidak menjawab, mata mengedip lemah, lalu terpejam. Pada sudut matanya menetes air mata yang tidak tahu karena apa. Bersamaan, bunyi elektrokardiograf yang sedari tadi mengeluarkan irama sesuai ritme, berubah datar panjang.

Cucunya menangis. Dengan bibir gemetar, gadis manis itu berujar, “Nikmatilah, Tuk, perjumpaan dengan istri dan putrimu. Cukuplah bagi kami udara bersih hasil perjuanganmu. Tak ada lagi kabut asap seperti ceritamu dulu. Bengkalis sudah makmur, sebagaimana namanya di buku sejarah, Bandar Bengkalis. Tak ada lagi ancaman abrasi. Terima kasih untuk hadiah ini, Tuk.”

Babon masih diam, tentu saja, sebab saat ini ia sudah terbang melayang menjadi udara, menjadi angin, menjadi rerimbun pepohonan, menjadi hangat mentari, menjadi debur ombak, menjadi bakau yang menahan segala risau. ***

.

Catatan:

[1] sepetang: buah tanah, dan sepetang merupakan penyebutan lokal masyarakat Riau terhadap sejenis kerang-kerangan (bivalva) yang hidup di kawasan mangrove

[2] miko: kamu, kau, engkau, dikau (Melayu Pesisir Riau)

.

.

WS Djambak. Pemenang III Sayembara Cerpen Media Indonesia 2023.

.
Korban Karbon. Korban Karbon. Korban Karbon. Korban Karbon. Korban Karbon. Korban Karbon.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Cerita ini mengajarkan bahwa jangan la berbuang jahat dan kontrol la emosimu

Leave a Reply

error: Content is protected !!