Cerpen Hasan Al Banna (Kompas, 03 November 2024)
BERES! Bakiak-bakiak sudah tersusun rapi di rak. Jika kebetulan dapat giliran tugas sore-malam, menyusun puluhan pasang alas kaki kayu adalah akhir dari rutinitas Maksum sebelum pulang. Namanya kerja tentu bikin penat badan, tetapi batin Maksum bisa dikatakan lapang senantiasa. Apalagi hari ini tanggal merah, pengunjung melimpah. Makin ramai pengunjung, makin riuh lalu-lalang bakiak. Aneka suara bakiak yang disetir beragam jenis langkah kaki bersipantul dan menderetkan gema—yang bagi Maksum adalah kemerduan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Ah, Maksum berlebihan?
“Los situ,” celetuk Maksum.
Sekali waktu datanglah ke tempat kerja Maksum: lantai lima sebuah mal. Di lantai ini terdapat fasilitas mushala, sekalipun Maksum teguh pendirian menyebutnya masjid. Buktinya, selain memang lumayan luas, digelar juga shalat Jumat.
“Cuma shalat Subuh yang dilarang di masjid ini,” begitu seloroh Maksum. Seloroh Maksum itu semacam pengumuman selingan bahwa hanya ada empat waktu shalat di mushala mal, di luar subuh. Ya terang saja, mal beroperasi cuma 12 jam—sejak 10 pagi sampai 10 malam. Waktu buka-tutup mal tentu menjadi rujukan waktu buka-tutup mushala.
Sebenarnya lantai tertinggi mal berfungsi sebagai lahan parkir yang menampung hampir seribuan mobil. Tidak heran jika suasananya demikian riuh, di mata dan telinga. Langit-langit gedung lantai lima dipenuhi galaksi instalasi macam-macam: kabel, selang, dan pipa. Bunyi deram-desis beragam mesin menjulur entah dari arah mana saja.
Namun, bagi Maksum, keriuhan itu lenyap setiap waktu shalat tiba. Para pengunjung, baik yang tergesa-gesa maupun berleha-leha, hilir mudik antara mushala dan kamar wudu yang dipisahkan jarak sekira 10-12 baris kendaraan roda empat. Bunyi benturan bakiak ke lantai beton akan menelan suara lain apa pun di sekitarnya. Ketak-ketuk kayu-beton seperti pingpong percakapan panjang dengan tinggi-rendah, lantang-lirih, dan cepat-lambat suara yang meliputinya. Tentu longgar-sempit ukuran bakiak turut menciptakan kerumunan tangga nada. Area mushala tak akan pernah dilanda sepi bunyi bakiak, terlebih jarak di antara empat waktu shalat, kecuali subuh, relatif pendek. Pun jarak antarwaktu shalat dileburkan oleh jemaah yang tepat waktu dengan kebanyakan jemaah yang tergopoh di ceceran waktu.
Antara malu hati dan tanggung jawab kerja, Maksum mengaku termasuk golongan yang terlempar dari saf jemaah tepat waktu. Selain kerja bersih-bersih, mengelap-mengepel, dan merapikan bakiak-bakiak di tangga mushala, Maksum juga bertugas menjaga alas kaki jemaah. Sepatu-sandal diberi kupon bernomor, dideretkan, dan dijaga sampai si empunya kembali. Eh, termasuk pelayanan mushala?
Bisa iya, bisa tidak. Mau gratis atau bayar, suka hati. Bayar pakai receh atau tidak, seturut keikhlasan jemaah. Soalnya, sesuai aturan pengurus mushala, Maksum tak diperkenankan menerima upah telanjang tangan. Keikhlasan jemaah memberi upah sudah ditampung kotak amal khusus penitipan alas kaki. Upah tersebut dibagi tiga: sepertiga masuk kas mushala, dua pertiga ke saku petugas penjaga, termasuk Maksum. Kerja tambahan menjaga alas kaki jemaah inilah yang bikin Maksum hampir tak pernah berdiri di saf shalat berjemaah, kecuali shalat Jumat, sekalipun tanpa zikir dan doa karena harus buru-buru ke pos penitipan sandal-sepatu.
“Setidaknya shalatku tak tinggal,” senyum Maksum ke dirinya sendiri. Dia sadar, cara beribadah yang demikian belum mengantar dia pada arti namanya. Dia tahu, maksum berarti bebas dari segala dosa! “Ah, mendekati arti namaku saja pun belumlah,” geleng Maksum sembari mengulum-ngulum senyum.
“Maksum tercipta dari sebuah senyum,” olok-olok teman Maksum tersebut semacam kode keras bahwa Maksum gemar tersenyum.
“Senyum adalah salah satu cara bersyukur,” balas Maklum sok berfilosofi. Namun, dia memang sebenar-benar mensyukuri pekerjaannya.
Mengapa tidak? Maksum sesungguhnya hanya anak bawang di sebuah perusahaan jasa penyedia kebersihan. Anak bawang, istilah Maksum untuk menyebut kasta terendah dari struktur sebuah perusahaan. Namun, lumayanlah ketimbang kerja mocok-mocok, kata orang Medan. Ya, kerja serabutan sudah hampir tiga tahun setamat sekolah, tetapi hasilnya ditelan begu. Namanya mocok-mocok, ya begitulah. Maksum sadar bahwa itu hukum alam bagi orang yang cuma tamatan sekolah menengah.
Nah, lantaran itu pula dia senang sudah mendapatkan kerja di perusahaan, sekalipun cuma anak bawang. Mau ditempatkan di mana pun dia tetap saja petugas kebersihan, tetap anak bawang. Kantor atau mal, menurut Maksum, sama saja. Namun, mesin syukur Maksum seolah ditegur Tuhan. Bagaimana tidak, dia kebagian kerja bersih-bersih di mushala sebuah mal. Maksum merasa derajatnya terangkat.
“Lumayan. Anak bawang naik pangkat jadi anak rohis,” kekeh Maksum tanpa maksud membusung diri. Maklum, Maksum dulu anggota aktif rohis—ekskul keagamaan sekolah. Bekerja dengan status petugas kebersihan mushala adalah kebahagiaan yang lebih dari cukup bagi Maksum. Namun, adakalanya kebahagiaan abadi tak dapat diraih, kerisauan panjang tak dapat dihalau. Kelak Maksum akan didera kerisauan yang panjang.
Kelak? Apa gerangan di balik kelak?
Kelak Tuhan menggariskan bahwa manajemen mal berencana mengubah fungsi mushala menjadi kelab malam, sebulan setelah Maksum meneken pembaruan kontrak kerja. Sebatas rencana? Rencana itu dengan mudah terwujud setelah proses singkat urusan perizinan. Selanjutnya? Tentu tidak butuh lama merenovasi bangunan mushala menjadi sebuah kelab malam. Tak sampai dua bulan sejak Maksum dialihkan kerja bersih-bersih sementara ke lantai bawah, beroperasilah kelab malam secara resmi di bekas bangunan mushala.
Pendek cakap, kelab malam beroperasi 12 jam—sejak pukul empat sore sampai pukul empat pagi. Lantas, sia-sia Maksum berontak. Percuma juga dia bersimpuh agar tidak dikembalikan sebagai petugas kebersihan di bekas mushala yang sudah menjadi kelab malam. Tentu Maksum tak ubahnya meratap kepada tembok yang bisa berbicara: sana kembali kerja atau mengundurkan diri, tetapi bayar denda karena melanggar kontrak! Apa? Biaya denda hampir mendekati gaji setahun?
Alamak, Maksum seolah-olah berdiri tersundul langit, duduk terseruduk lutut. Maksum siap-siap saja menganggur usai mundur, tetapi tak punya duit menanggung denda. Pikir punya pikir, Maksum hanya sampai pada batas mencari lowongan ke sana kemari sambil tetap bekerja. Maksum tak ada upaya lain? Eh, dia pernah mencoba melanggar aturan kedisiplinan—merujuk anjuran bisik-bisik temannya: sering telat, bahkan sesekali absen kerja. Tujuannya? Ya, dia berharap akan menerima teguran lisan, disusul teguran tulis, dan lantas dipecat. Ujung-ujungnya biar terhindar letusan pistol denda.
Namun, sepandai-pandai Maksum bersiasat, pihak perusahaan lebih mahir memainkan muslihat. Segala bentuk teguran tak sampai menerbitkan surat pemberhentian kerja. Teguran lisan atau tulisan malah berwujud gergaji pemotongan gaji. Maksud hati segera dipecat, apa daya gaji yang dikerat. Asli, gaji Maksum tak berbekas. Pun tabungan senyum Maksum ikut kandas.
Alhasil, Maksum tetap kerja rutin di kelab malam; membersihkan toilet dan termasuk membereskan noda makanan-minuman, tak urus mau halal-haram. Tak ada lagi kemerduan ketak-ketuk bakiak. Tak ada lagi kesibukan mengurus alas kaki jemaah. Di kelab malam, pengunjung bebas memakai dan membawa masuk alas kaki apa saja, bebas pula mengenakan pakaian macam gaya—tertutup atau terbuka.
Di kelab malam, Maksum tak berdaya menepis kegenitan kelap-kelip lampu. Macam pecah gendang telinganya menahankan degup house music. Belum lagi Maksum kerap kali harus berhadapan dengan pengunjung teler, sampai-sampai harus membopong-memapah. Memang, tak sekali dua kali dia dapat tip dari pengunjung.
O Tuhan, Maksum terjangkit rabun iman menentukan halal-haram uang tip. Dia tetap terima, lalu ditabung, dan diniatkan untuk modal pembayar denda. Namun, manalah setiap detik Maksum ketiban tip. Bagi hasil upah menjaga sepatu-sandal jemaah mushala tempo waktu jauh lebih banyak. Sudahlah gaji Maksum makin teri, simpanan hasil tip malah terpakai untuk kebutuhan sehari-hari. Maksum tak punya pilihan lain: lanjut kerja sambil menanggungkan tabuhan dosa. O tidak. Manalah berani Maksum membatin, “Tuhan pasti maklum.”
Namun pastinya, Maksum harus menghadapi cibiran sejumlah mantan jemaah mushala—pemilik atau karyawan gerai-toko yang tersebar di sejumlah lantai mal.
“Masih banyak pekerjaan halal, Maksum. Lebih baik mati lapar ketimbang bekerja di tempat setan,” kata yang satu.
“Maksum, jadi orang harus punya pendirian. Lurus, ya, lurus. Bengkok, ya, bengkok.” Seseorang yang lain turut berkata.
Namun, ada saja jemaah lain yang membela Maksum. Lantas apa boleh buat, cekcok mulut di antara mantan jemaah mushala tak terelakkan. Adu mulut antara toke gerai aksesori dan mantan pengurus mushala sekaligus pemilik toko tekstil, misalnya.
“Mending abang kasih Maksum pekerjaan ketimbang nyinyir. Beres urusan!”
“Ana punya kewajiban mengingatkan Maksum sebagai saudara seiman.”
“Niat abang memang mengingatkan, tapi tak kasih jalan keluar.”
“Kalau begitu antum saja yang kasih pekerjaan ke Maksum?”
“Aku sudah berusaha, tapi belum berhasil.”
“Apa yang antum usahakan?”
“Mencarikan kerja untuk Maksum.”
“Mengapa tak kerja di toko antum saja?”
“Tokoku modal kecil, Bang. Aku tak pakai karyawan.”
“Heleh.”
“Toko Abang, kan, partai besar, punya banyak karyawan.”
“…!”
“…?”
“Cukup!” Batin Maksum. Entahlah, lupa sudah dia rukun-rukun senyum. Tubuhnya makin layu, selain karena disengat terik pikirannya sendiri, juga karena disedot angin malam. Maksum merasa hari-harinya hanya terbuat dari mimpi buruk. Dia rindu mushala, rindu bunyi bakiak! Ya, bahkan sekalipun dalam mimpi, Maksum tak pernah mendengar suara bakiak. Mimpi Maksum hanya lorong panjang keluh resah dan komat-kamit yang tak jelas.
“Di mana pun kalian berada, kalian adalah bakiak-bakiak maksum, bakiak-bakiak yang sudah bebas dari dosa. Sementara aku, Maksum yang masih terkurung dosa,” teriak hati Maksum bertubi-tubi, kelak.
Kelak! ***
.
.
Medan, 2024
Hasan Al Banna, bekerja sebagai penelaah teknis kebijakan di Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara. Ia menulis buku prosa berjudul Sampan Zulaiha (Koekoesan, 2011) dan Malim Pesong (Obelia, 2022). Ia juga menulis buku cerita anak, salah satunya ditetapkan sebagai Naskah Terpilih Bacaan Literasi GLN (Kemendikbudristek, 2024).
Sugijo Dwiarso, lahir di Magelang, Mei 1968. Lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Jurusan Seni Murni. Beberapa kali pameran tunggal dan pameran bersama.
.
Bakiak-bakiak maksum.
Leave a Reply