Cerpen, Hash Mimi, Koran Tempo

Jhoola

Jhoola - Cerpen Hash Mimi

Jhoola ilustrasi Alvin Siregar/Koran Tempo

5
(3)

Cerpen Hash Mimi (Koran Tempo, 03 November 2024)

SUARA takbir masih menggema, menyemarakkan pagi di hari raya yang penuh berkah di musim panas tahun 2015. Gaungnya memenuhi tiap jengkal penjuru kota Mianwali, kota kecil di barat laut Provinsi Punjab, Pakistan, itu. Hati Rasyid turut tertabuh, dan semakin menggemuruh selepas salat id. Bukan karena takbir, melainkan beban yang mengimpit dadanya. Wajahnya suram, sekusam kondisi rumahnya yang sederhana, tanpa perabotan berharga. Di ruangan ini hanya ada tiga charpai, yang dapat berfungsi sebagai tempat duduk dan tempat tidur, satu meja, dan satu lemari kayu yang sudah mulai lapuk.

Saat ini Rasyid duduk bersila di atas charpai sambil menyeruput teh chay, lalu menyumpal mulutnya dengan roti paratha yang telah dicocol dengan manisan halwa. Hari ini hari istimewa, kombinasi paratha-halwa yang biasa disajikan di pagi hari pun terasa istimewa. Setidaknya, sang istri sudah berusaha membuatnya terasa lebih enak. Namun, kali ini pikirannya tidak selaras dengan lidah. Pikirannya masih sibuk melanglang buana dengan permasalahan yang akan datang pagi itu.

“Hayata, kamu sudah mengabarkan ke anak-anak untuk datang ke rumah kita besok saja, kan?” ujar Rasyid setelah menghentikan lamunannya.

“Iya, aku sudah minta mereka ke rumah mertua mereka dulu di hari pertama.”

Sang istri, Hayata, menatap suaminya yang masih tampak gelisah. “Oh ya, kemarin para Madam memberikan uang untuk eidi. Ini uangnya,” Hayata mengangsurkan beberapa lembar uang warna merah hasil dia bekerja sebagai pembantu di beberapa rumah. “Kuharap ini dapat membantu mengurangi jumlah utang. Mungkin lusa kita sudah bisa membayar separuh utang ke Haji Jamil.”

“Alhamdulillah.” Mata Rasyid berbinar penuh syukur.

“Tetapi Rasyid, uang kita masih belum cukup untuk lebaran, tidak ada uang eidi, tidak ada baju baru,” Hayata berhenti sejenak, menatap pakaiannya yang sudah usang, “Tetangga sebelah bilang orang mati saja butuh kain kafan baru.”

“Hayata….”

“Aku tahu Rasyid, aku tahu! Jangan dengarkan omongan pedas tetangga seperti dia. Tapi tetap saja itu menyakitkan.”

Pasangan usia senja itu terdiam beberapa saat. Hayata menghela napas. “Setidaknya, jika kita tidak bisa memberikan uang eidi, cucu-cucu kita masih bisa menikmati bualan kisahmu.”

Rasyid tersenyum samar. Dia memang menikmati momen itu, mendongengkan kisah-kisah, melihat binar mata mereka saat masuk ke dalam dunia dongeng. Akan tetapi, momen lebaran biasanya lekat dengan amplop eidi.

Itu baru masalah pertama. Masalah lain yang lebih menghimpit dada adalah masalah putri kedua mereka. “Kamu tahu masalah Amna. Sepertinya kedatangan dia kali ini untuk menetap. Untuk itu, kita harus bekerja lebih giat untuk menafkahi dia.”

Teringat akan hal itu, mata Hayata mulai basah. Disapunya ujung mata dengan kain kerudung dupatta yang lusuh. Status janda yang akan segera disandang putri pertamanya itu menambah beban mereka. Putrinya akan dipulangkan tanpa alasan yang jelas. Mereka harus menyiapkan mental untuk mendengarkan gosip tetangga yang akan membuat kuping panas. Ditambah lagi, Amna akan sulit untuk menikah lagi dengan status janda. Jika Rasyid meninggal, siapa yang akan menafkahi Amna dan anak-anaknya yang masih kecil itu?”

Baca juga  Saudara Jauh

Melihat raut wajah sang istri, Rasyid paham. Dia mencoba mengendalikan emosinya sendiri, lalu berkata, “Hayata, bukankah Allah yang menjamin rezeki kita semua? Kita hanya perlu menjemputnya. Karena itu, sekarang bantu aku menyiapkan jhoola-ku.”

Hayata terkejut mendengar permintaan suami. “Tetapi Rasyid, kamu baru sembuh dari sakit saat Ramadan kemarin. Tabib sudah menyarankan untuk beristirahat, kan?”

“Apa kita punya pilihan? Berleha-leha itu hanya milik orang kaya.” Dia tersenyum tipis, lalu bergegas membersihkan jhoola yang parkir di halaman depan rumah mereka. Orang-orang dulu menyebutnya Panghorra, dari bahasa Saraiki, bahasa daerah Mianwali. Namun, anak-anak jaman sekarang lebih mengenalnya sebagai jhoola.

Jhoola-nya ini sekilas bekerja seperti bianglala. Bedanya, jhoola tradisional ini tidak menggunakan roda. Rasyid menggerakkan pengungkit secara manual, memutar tuas di sisi dengan tangan, hingga pengungkit bergerak membawa dua gerobak secara bergantian ke atas dan ke bawah. Satu gerobak terdiri dari dua bangku yang berhadapan, yang dapat diisi maksimal empat anak. Kondisi jhoola itu sudah cukup tua, besinya sudah mulai berkarat, tetapi masih terawat baik.

Setelah siap, dia mendorong jhoola-nya menyusuri jalan-jalan di kota kecil Mianwali. Di dinding-dinding rumah dan toko masih tampak poster Imran Khan, putera terbaik asal daerah mereka. Jutaan warga, terutama warga kota ini, yang notabene kerabat dan tetangga keluarganya, menaruh harapan yang besar akan adanya perbaikan kondisi negeri sejak partai mantan atlet kriket dunia itu memperoleh kursi secara signifikan untuk pertama kalinya pada pemilu dua tahun lalu. Penduduk Mianwali masih bangga dan membiarkan posternya memenuhi kota mereka.

Kaki Rasyid menapaki jalanan kecil berdebu itu. Lengang. Hampir seluruh toko tutup, kecuali toko bakeri. Orang-orang butuh kudapan manis untuk dihidangkan kepada para tamu. Sebelum memasuki area pasar di Rabia Plaza, tepatnya di depan gang kecil, dia berhenti dan menyiapkan jhoola-nya. Pada pukul sembilan pagi, dia mulai menunggu dengan sabar para konsumen cilik berdatangan.

Dua anak dengan pakaian serba baru mulai bermunculan. Wajah mereka ceria dengan senyum sumringah karena bahagia telah mendapatkan uang eidi.

Chacha, aku mau naik. Berapa bayarnya?” tanya gadis cilik berambut panjang yang mengenakan salwar gamiz dengan warna cemerlang. Usianya sekitar sembilan tahun.

“Sepuluh rupees saja.”

Bocah yang satunya lagi, anak lelaki dalam balutan sarwani, mengangguk tanda setuju.

Rasyid segera membantu mereka duduk di salah satu bangku.

Chacha, tunggu! Aku mau naik juga.” Seorang anak lelaki bertubuh agak gemuk setengah berlari datang ke arahnya.

Dia mulai menggerakkan tuas sehingga kedua bangku itu mulai berputar bergantian, ke atas dan ke bawah. Sepuluh rupees untuk delapan putaran. Anak-anak tersenyum senang, terutama ketika posisi bangku mereka di atas. Rasyid bahagia melihat mereka, teringat akan cucunya, dan tentu saja dia juga bahagia saat menerima uangnya.

Baca juga  Usman, Hotman, dan Jengkol

Kemudian, para konsumen cilik yang sudah kenyang makan manisan dan membawa kantong yang dipenuhi uang lebaran, berturut-turut berdatangan. Rasyid semakin bersemangat, tanpa dihiraukan dadanya yang mulai sesekali menjerit kesakitan, seperti bunyi derit besi jhoola-nya yang mulai berkarat.

Dia tahu kebahagiaan itu, saat berada di atas. Dulu, sekitar menjelang tahun lima puluhan, Rasyid kecil ikut ayahnya tinggal di Lahore, mengabdi kepada keluarga perwira Inggris. Tiap sore dia menemani anak majikannya bermain di Taman Minto. Di sana ada bianglala yang besar. Ketika berada di atas, dia merasa berada di puncak dunia. Dia menikmati langit biru dan awan-awan yang tampak dekat dari jangkauan dan panorama kota dari atas ketinggian bianglala. Dia merasa bahagia dan bebas. Taman yang dibangun sejak zaman kolonial itu memang sudah tidak ada lagi, tetapi kenangannya masih lekat dalam memori.

Sekarang, di usianya yang senja, dia menyadari bahwa hidup itu seperti bianglala. Satu waktu kamu berada di atas, dan di waktu yang lain kamu berada di bawah. Kamu akan melewati semua fase itu, tetapi nantinya akan berakhir di titik yang sama di penghujung kisah hidupmu. Dan itu kisah yang hampir sama pada kebanyakan orang miskin. Mereka akan tetap miskin dan hidup menderita tanpa akhir. Namun, setidaknya, sebelum kamu turun, kamu akan mendapat kesempatan melihat sesuatu yang indah. Itulah yang Rasyid yakini hingga kini.

Menjelang tengah hari, dia berhenti menjalankan jhoola, lalu duduk di emperan toko, beristirahat sejenak sambil menghitung uangnya. “Alhamdulillah, sepertinya cukup untuk hari ini.” Kebahagian memang tidak selalu dapat diukur dengan uang. Namun, untuk momen seperti lebaran ini, uang dapat membuat keluarganya tersenyum bahagia.

Ketika dia bersiap untuk pulang, beberapa anak masih saja berdatangan dan memohon untuk naik jhoola. Sebenarnya Rasyid sudah cukup lelah. Namun, melihat wajah memelas mereka, dia tak sampai hati menolak. “Bagaimana, kalau aku mendongeng saja untuk kalian, cerita yang pasti seru,” tawarnya.

Bocah-bocah itu mengangguk setuju. Mereka duduk mengelilingi Rasyid, tanpa peduli baju baru mereka kotor karena duduk di tanah berdebu. Rasyid membawakan kisah seekor laba-laba dan lalat yang diadaptasi dari puisi klasik pujangga asal Pakistan, Sir Iqbal, untuk anak-anak, “Aik Makra Aur Makhi (Seekor Laba-laba dan Lalat).*”

Di sebuah hutan rimba, hiduplah seekor laba-laba yang pintar nan licik. Dia hidup nyaman di rumahnya; sarang yang terpintal rapi dan kuat. Pada suatu hari lewatlah seekor lalat yang gemuk. ‘Lalat ini sangat cocok untuk jadi santapan siang,’ pikir si laba-laba yang sedang lapar itu.

“Wahai lalat yang cantik, setiap hari engkau melewati daerahku. Tetapi tidak pernah sekali pun aku mendapat kehormatan dengan kunjunganmu ke dalam pondokku ini.”

Rasyid berdiri dan berakting sebagai laba-laba, memeragakan wajah, suara, dan tubuhnya. Saat bercerita, sesekali dia juga membacakan beberapa bait puisi itu.

“So Kaam Khushamad Se Nikalte Hain Jahan Mein

Dekho Jise Duniya Mein Khushamad Ka Hai Banda.”

(Dalam dunia ini, banyak ambisi terpenuhi dengan pujian/ Lihatlah, semua di dunia terbelenggu dengan pujian).

Baca juga  Keringat

Kisah ini bukanlah kisah baru bagi anak-anak, karena ada dalam kurikulum sekolah mereka. Namun, anak-anak tetap terpesona melihat gaya bercerita Rasyid. Semakin lama, semakin banyak anak-anak kembali berkerumun mendengarkan dongeng fabel klasik ini. Hingga tiba waktu zuhur, dongeng pun berakhir, anak-anak meninggalkan kerumunan.

Saat Rasyid bersiap pergi, seorang wanita berusia paruh baya datang mendekatinya. Rasyid mengenali wanita itu sebagai salah satu tokoh berpengaruh di kotanya. Dia memiliki hubungan kekerabatan dengan politikus ternama di negeri ini, dan memiliki jaringan sekolah yang tersebar di penjuru negeri.

Chacha, saya sangat kagum dengan keahlianmu bercerita. Sehari-hari Chacha kerja apa?”

“Kerja jadi dobi, dan sesekali supir bajaj. Tetapi sudah sebulan lebih saya tidak bekerja karena sakit.”

Wajah wanita itu ikut sedih. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. “Chacha, pekan depan yayasan sekolah kami akan mengadakan pentas seni. Maukah Chacha mendongeng di sana? Jika cocok, Chacha juga akan mendongeng ke cabang sekolah-sekolah kami yang lain? Bagaimana? Ini kartu nama saya.”

Dengan tangan bergetar, diterimanya kartu itu. Setelah wanita itu pergi, Rasyid tetap bergeming. Tiba-tiba tangan kirinya memegang dadanya. Rasa sakit kembali menyerang. Keringat dingin mulai bercucuran. Kali ini, hanya ada dua kemungkinan, bianglala kehidupannya akan kembali berputar naik atau berhenti. Kehidupan dunia yang indah ini ada akhirnya. ***

.

.

Keterangan:

[1] Chacha: secara bahasa artinya paman, panggilan untuk pria yang lebih tua. Dalam perkembangannya, chacha menjadi menurun maknanya, menjadi panggilan untuk pria kelas pekerja.

[2] Charpai: tempat tidur anyaman tradisional yang digunakan di wilayah Asia Selatan.

[3] Dobi: orang yang pekerjaannya mencuci dan menyetrika pakaian. Dalam bahasa Urdu disebut Dhobi.

[4] Jhoola: setiap wahana permainan di Pakistan disebut Jhoola. Untuk cerita ini, jhoola ini seperti miniatur bianglala, dengan dua bagian. Satu bagian terdiri atas dua bangku yang berhadapan, dapat diisi maksimal delapan orang. Setiap bagian berputar bergantian ke atas dan ke bawah, mengendalikan gagang pengungkit dengan tangan.

[5] Eik Makra aur Makhi: “Seekor Laba-laba dan Lalat” adalah salah satu puisi untuk anak-anak dalam kumpulan puisi Bang-e-Dara (Bunyi Lonceng Karavan) yang ditulis oleh pujangga Pakistan, Sir Allama Iqbal (1877-1938). Salah satu pesan utama dalam puisi ini adalah bahayanya pujian dan kata-kata manis. Puisi ini diadaptasi dari puisi The Spider and The Fly (1829) karya Mary Howitt, pujangga Inggris.

[6] Info tambahan, nilai kurs mata uang pada 2015 berkisar 1 Pak Rupee = Rp 130

.

.

Hash Mimi, seorang ibu rumah tangga, penulis, dan penerjemah yang ingin menjelajahi dunia melalui buku yang dia baca serta kisah yang dia tulis.

.
.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!