Cerpen Hamsad Rangkuti (Kompas, 15 Februari 1998)
SEORANG wanita muda dalam sikap mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia sambil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak dengannya, sehingga tegur sapa di antara kami bisa terdengar.
“Tolong ceritakan sebab apa kau ingin bunuh diri?” kataku memancing perhatiannya.
Dia tak beralih dari menatap ke jauhan laut. Di sana ada sebuah pulau. Mungkin impiannya yang telah retak menjadi pecah dan sudah tidak bisa lagi untuk direkat.
“Tolong ceritakan penyebab segalanya. Biar ada bahan untuk kutulis.”
Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermainkan ujung lengan bajunya. Dan tampak kalau dia telah berketetapan hati untuk mengambil sebuah keputusan yang nekat. Tiba-tiba dia melepas sepatunya, menjulurkannya ke laut.
“Ini dari dia,” katanya dan melepas sepatu itu. Sepatu itu jatuh mendekati ombak, kuabadikan dalam kamera.
Kemudian dia meraba jari tangan kirinya. Di sana ada sebentuk cincin. Sinar matahari memantul mengantar kilaunya. Mata berliannya membiaskan sinar tajam. Dikeluarkan cincin itu dari jari manisnya. Diulurkannya melampaui terali. Ombak yang liar menampar dinding kapal. Tangan yang menjulurkan cincin itu sangat mencemaskan.
“Ini dari dia,” katanya, dan melepas cincin itu.
“Semua yang ada padaku, yang berasal darinya, akan kubuang ke laut. Sengaja hari ini kupakai semua yang pernah dia berikan kepadaku untuk kubuka dan kubuang satu persatu ke laut. Tak satu pun benda-benda itu yang kuizinkan melekat di tubuhku saat aku telah menjadi mayat di dasar laut. Biarkan aku tanpa bekas sedikit pun darinya. Inilah saat yang tepat membuang segalanya ke laut, dari atas kapal yang pernah membuat sejarah pertemuan kami.”
Wanita muda itu mulai melepas kancing-kancing bajunya, melepas pakaiannya, dan membuang satu per satu ke laut. Upacara pelepasan benda yang melekat di tubuhnya dia akhiri dengan melepas penutup bagian akhir tubuhnya. Membuangnya ke laut.
“Apa pun yang berasal darinya, tidak boleh ada yang melekat pada jasadku, saat aku sudah menjadi mayat, di dasar laut. Biarkan laut membungkus jasadku seperti kain pembungkus mayat. Biarkan asin airnya menggarami tubuhku tanpa sehelai benang penyekat.”
Wanita yang telanjang itu mengangkat sebelah kakinya melampaui terali, bersiap-siap membuang dirinya ke laut. Kamera kubidikan ke arahnya. Di dalam lensa terhampar pemandangan yang fantastis! Wanita muda, dalam ketelanjangannya, berdiri di tepi geladak dengan latar ombak dan burung camar. Sebuah pulau berbentuk bercak hitam di kejauhan samudera terlukis di sampingnya dalam bingkai lensa. Sebelum melompat, dia menoleh ke arahku. Seperti ada sesuatu yang tebersit di benaknya yang hendak dia sampaikan kepadaku, sebelum dia melompat mengakhiri ombak.
“Ternyata tidak segampang itu membuang segalanya,” katanya. “Ada sesuatu yang tak bisa dibuang begitu saja,” dia diam sejenak, memandang bercak hitam di kejauhan samudra. Dipandangnya lekung langit agak lama, lalu bergumam: “Bekas bibirnya. Bekas bibirnya tak bisa kubuang begitu saja,” dia berpaling kearahku. Tatapannya lembut menyejukkan. Lama, dan agak lama mata itu memandang dalam tatapan yang mengambang. “Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?” katanya dalam nada ragu.
Aku tersentak mendengar permintaan itu. Sangat mengejutkan, dan rasanya tak masuk akal diucapkan olehnya. Permintaan itu terasa datang dari orang yang sedang putus asa. Kucermati wajahnya dalam lensa kamera yang mendekat. Pemulas bibir berwarna merah tembaga dengan sentuhan warna emas, memoles bibirnya, menyiratkan gaya aksi untuk kecantikan seulas bibir.
“Tidak akan aku biarkan bekas itu terbawa ke dasar laut. Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu? Tolonglah. Tolonglah aku melenyapkan segalanya.”
Orang-orang yang terpaku di pintu lantai geladak berteriak kepadaku.
“Lakukan! Lakukan!”
Seorang muncul di pintu geladak membawa selimut terurai, siap menutup tubuh wanita yang telanjang itu.
“Tolonglah. Tolonglah aku menghapus segalanya. Jangan biarkan bekas itu tetap melekat di bibirku dalam kematianku di dasar laut. Tolonglah.”
“Lakukanlah! Lakukanlah!” teriak orang-orang yang menyaksikan dari pintu lantai geladak.
Aku hampiri wanita itu. Orang yang membawa selimut itu berlari ke arah kami, menyelimuti kami dengan kain yang terurai itu. Di dalam selimut kucari telinga wanita itu.
“Masih adakah bekas darinya di bagian lain tubuhmu yang harus kuhapus dengan bibirku?” bisikku.
***
“SAYA Chechen, Pak,” kata wanita itu memperkenalkan dirinya begitu aku selesai menyampaikan cerpen lisan itu dan berada kembali di antara penonton. “Saya menggemari cerpen-cerpen Bapak. Saya mahasiswi fakultas sastra semester tujuh. Saya senang sekali bisa bertemu dengan Bapak, pengarang dari cerpen-cerpen yang telah banyak saya baca.”
“Terima kasih. Namamu Chechen? Tidak nama seorang Minang.”
“Bagaimana kelanjutan cerpen lisan itu?”
“Kau yang harus melanjutkannya. Kalian. Para pendengarnya.”
Sejak itu kami akrab. Aku seperti muda kembali. Berdua ke mana-mana di dalam kampus Kayutanam maupun ke Danau Singkarak, Desa Belimbing, Batusangkar, Bukittinggi, Lembah Harau, Tabek Patah, Kota Gadang, Danau Maninjau, Ngalau Indah, Lubang Jepang, Ngarai Sianok, Lembah Anai dan Istana Pagaruyung.
Besok adalah hari terakhir aku di Kayutanam. Aku harus kembali ke kehidupan rutin di Jakarta. Perpisahan itu kami habiskan di kawasan wisata di luar kota Padangpanjang. Sebuah kawasan semacam taman, berisi rumah gadang dari berbagai daerah di Minangkabau. Kawasan itu bersebelahan dengan lokasi Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau. Tempat itu sejuk diliputi kabut, terkenal sebagai kota hujan. Sebentar-sebentar kabut tebal melintas menutup kawasan itu. Kami mencari tempat kosong di salah satu bangunan berbentuk payung dengan meja bulat dan kursi sandar melingkar, yang disediakan untuk para pengunjung duduk-duduk memandang sungai kecil berbatu yang terhampar di bawah dan memandang puncak Gunung Merapi. Kami berkeliling mencari tempat kosong, tetapi semua bangunan-bangunan kecil itu telah dihuni pasangan-pasangan remaja. Mereka duduk memandang lembah dan lereng gunung yang terus menerus diselimuti kabut yang datang seperti asap hutan terbakar.
Kami akhirnya duduk di hamparan rumput berbukit, di antara rumah gadang pajangan dalam ukuran yang sebenarnya.
Selama lima hari, siang dan malam kita tak pernah berpisah. Malam kita duduk berdekatan di warung-warung membiarkan kopi dingin sambil kita berpandangan. Aku mendengar proses kreatifmu sedang kau mendengarkan riwayat dan asal-usul tempat-tempat yang akan kita kunjungi besok pagi. Kita tidak menghiraukan mata-mata yang memandang kita. Kita biarkan percakapan-percakapan mereka tentang kita. Tanganku kau pegang dan aku merebahkan kepala ke bahumu dalam udara dingin Kayutanam. Semua itu akan menjadi kenangan. Besok kau akan pulang dan aku akan kembali ke kampus.
Kita pergi ke Lubang Jepang. Masuk ke dalam kegelapan gua. Berdua kita di dalam tanpa seorang pengunjung pun mengawasi kita. Aku berbisik, seolah kita masuk ke dalam kamar pengantin dan kau meminta lampu dipadamkan. Kita duduk di puncak pendakian di Lembah Harau. Kita duduk berdua memandang ke bawah mengikuti arah air terjun. Lembah kita lihat dari ketinggian dan tempat itu sangat sunyi. Kita biarkan kera-kera mendekat dan kita tidak merasa terganggu. Kita biarkan pedagang kelapa muda itu meletakkan sebutir kelapa dengan dua penyedot di lubang tempurungnya. Kita tidak hiraukan dia turun meninggalkan kita dan membiarkan kita berdua menikmati kelapa muda yang kau pesan. Kita benar-benar berdua di tempat sunyi itu. Kita menyedot air kelapa muda itu dengan dua alat sedotan dari lubang tempurung yang sama. Aku satu dan kau satu. Terkadang hening kita bersentuhan pada saat menyedot air kelapa muda itu. Kita pun lupa, mana milikku dan mana milikmu pada saat kita mengulang menyedot air kelapa muda itu. Kita sudah tidak menghiraukannya. Sesekali kedua penghisap air kelapa itu kita gunakan keduanya sekaligus, bergantian, sambil kau menatap tepat ke mataku dan aku menatap tepat ke matamu. Aku yakin, hal itu kita lakukan semacam isyarat yang tak berani kita ucapkan.
“Kelapa itu kita belah. Kau sebelah dan aku sebelah. Alangkah indahnya semua itu.”
“Kenangan itu akan kubawa pulang.”
“Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?”
Aku mendekat kepadanya. Kabut tebal datang kepada kami. Begitu tebal kabut itu, seolah kami terbungkus di dalam selimut yang basah. Tak tampak sesuatu pun dalam jarak dua meter. Kelambu kabut itu menutup kami dari pandangan dunia. Kami berguling-guling di atas rumput dalam kepompong kabut.
“Masih adakah bekas yang lain di bagian tubuhmu yang harus kuhapus dengan bagian tubuhku?” bisikku.
Dia menggeliat di dalam kabut. Dicarinya telingaku.
“Tak ada bekas yang lain, yang perlu dihapus, Sayang,” bisiknya.
Serpihan kabut menyapu wajah kami bagaikan serbuk embun dipercikkan.
“Apakah kita akan keluar dari kepompong kabut ini sebagai sepasang kupu-kupu?”
“Bekas ini akan kubawa pulang dan akan ada yang menghapusnya. Bagaimana denganmu?”
“Akan kutunggu bekas yang baru di bekas yang lama, darimu.”
“Apakah itu mungkin?”
“Mungkin.”
“Aku lima empat dan kau dua-dua. Itu tidak mungkin.”
“Mungkin.”
“Aku Datuk Maringgih dan kau Siti Nurbaya, dalam usia. Apa yang memaksamu?”
“Entahlah. Aku pun tak tahu.”
Kami turun dari puncak bukit itu berpegangan tangan. Dia memegang erat jari-jariku. Dan aku memegang erat jari-jarinya. Seolah ada lem perekat di antara jari-jari kami. ***
.
.
Kayutanam 1997
Hamsad Rangkuti lahir di Medan, 7 Mei 1943, dengan nama asli Hasyim Rangkuti. Hamsad termasuk salah satu sastrawan penandatangan Manifes Kebudayaan tahun 1964, pernyataan para sastrawan yang menolak politik sebagai panglima. Bergabung dengan majalah sastra Horison tahun 1969 dan menjadi pemimpin redaksi pada tahun 1984. Karya-karyanya mayoritas berupa cerpen, dihimpun dalam kumpulan cerpen antara lain Lukisan Perkawinan (1982), Sampah Bulan Desember (2000), Bibir dalam Pispot (2003), dan Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? (2016). Ada juga novelnya berjudul Ketika Lampu Berwarna Merah (1981). Pernah meraih beberapa penghargaan, antara lain Penghargaan Khusus Kompas atas kesetiaan dalam penulisan cerpen (2001), Khatulistiwa Literary Award untuk Bibir dalam Pispot (2003), dan Sea Write Award (2008). Hamsad Rangkuti meninggal dunia pada hari Ahad, 26 Agustus 2018 karena sakit.
Leave a Reply