Budi Darma, Cerpen, Kompas

Dua Penyanyi

5
(4)

Di sebuah kota yang tidak perlu disebut namanya, ada dua rumah sakit besar dan terkenal, yaitu Rumah Sakit Kandang Kerbau di kota bagian barat, dan Rumah Sakit Kandang Lembu di kota bagian timur. Kendati tidak khusus mengurusi kelahiran, dua rumah sakit itu menjadi terkenal karena banyak bayi yang dilahirkan di sana akhirnya menjadi orang-orang terkenal.

MENURUT catatan, dua Menteri Luar Negeri India, tiga Duta Besar Filipina untuk PBB, dan seorang Perdana Menteri Australia lahir di Rumah Sakit Kandang Kerbau, dan seorang Perdana Menteri Thailand, seorang Menteri Luar Negeri Malaysia, seorang Duta Besar Indonesia untuk Amerika, dan seorang konglomerat paling kaya di Indonesia lahir di Rumah Sakit Kandang Lembu.

Jangan heran, manakala begitu banyak calon ibu di banyak negara bermimpi-mimpi untuk melahirkan bayi mereka di salah satu rumah sakit itu. Tentu saja, di samping orang-orang besar itu, banyak pula bayi kelahiran dua rumah sakit itu yang akhirnya tidak menjadi apa-apa, tidak punya nama, dan sama sekali tidak perlu dibanggakan.

Terceritalah, di kota bagian barat ada seorang laki-laki bernama Latiff Ariffin, dan di kota bagian timur ada seorang laki-laki bernama Latif Arifin. Dengan mengendarai sepeda motor besar, setiap hari kerja Latiff Ariffin mengantarkan istrinya, Latifa, ke kantornya di kota bagian timur, dan setiap hari kerja pula, dengan mengendarai sepeda motor besar, Latif Arifin mengantarkan istrinya, Latifah, ke kantornya di kota bagian barat.

Dua pasangan ini, Latiff Ariffin dan Latifa, tidak saling mengenal dengan Latif Arifin dan Latifah, tapi dalam catatan pernikahan di Kantor Agama, dua pasangan ini menikah pada hari, tanggal, dan jam yang sama di dua tempat berbeda. Kalau ditelusur lebih lanjut akan ketahuan bahwa Latiff Ariffin dan Latif Arifin lahir pada hari, tanggal, dan jam yang sama pula, di dua rumah sakit berbeda. Latiff Ariffin lahir di Kandang Kerbau, dan Latif Arifin lahir di Kandang Lembu.

Kalau ditelusur, ternyata istri mereka, Latifa dan Latifah, juga lahir pada hari, tanggal, dan jam yang sama, di dua rumah sakit berbeda. Latifa lahir di Kandang Lembu, dan Latifah lahir di Kandang Kerbau.

Latiff Ariffin benar-benar mirip Latif Arifin, dan Latifa betul-betul mirip Latifah. Seandainya mereka berjumpa bersama-sama, mereka tidak akan tahu mana yang mana.

Baca juga  Kasus Ketiga J Van: Matinya Seorang Anak Sapi

Sudah lama mereka menginginkan anak, tapi anak yang mereka tunggu tidak pernah datang. Akhirnya, setelah menunggu sepuluh tahun dan tidak ada ujungnya, masing-masing mereka setiap malam berzikir, memohon kepada Tuhan Seru Sekalian Alam, agar mereka segera memperoleh keturunan. Akhirnya Tuhan Seru Sekalian Alam mengabulkan permohonan mereka.

Setelah mengandung, Latifa sering bergaduh dengan suaminya, demikian pula Latifah dengan suaminya. Latifa ingin melahirkan di rumah sakit Antonio Barabak, dan Latifah ingin melahirkan di rumah sakit Antonio Barabak pula. Suami Latifa ngotot ingin Latifa melahirkan di Kandang Kerbau atau Kandang Lembu, demikian pula suami Latifah.

“Wahai, Latiff Ariffin, kamu lahir di Kandang Kerbau karena orangtuamu ingin kamu menjadi orang besar,” seru Latifa. “Ternyata kamu bukan apa-apa. Saya lahir di Kandang Lembu karena orangtua saya ingin saya menjadi orang besar. Ternyata saya juga bukan apa-apa.”

Dalam bergaduh dengan suaminya, seruan Latifah sama dengan seruan Latifa kepada suaminya.

Pada suatu hari, dalam bergaduh, Latifah berseru: “Wahai, Latif Arifin, janganlah kau bergantung pada nama orang-orang besar. Bergantunglah pada dermawan-dermawan besar. Yang banyak jasanya. Yang tidak ingin dikenal. Bergantunglah pada Antonio Barabak. Dia datang ke negeri kita dengan tujuan mulia. Menyembuhkan orang-orang sakit. Tanpa pamrih. Dia meninggal di negeri kita. Tertular lepra ketika wabah lepra menyerbu negeri ini.”

Tepat pada saat yang sama, Latifa juga menyeru kepada suaminya dengan nada sama.

Kata orang-orang bijak, manusia bisa merencanakan, takdir menentukan, demikian pulalah yang terjadi pada Latifa dan Latifah. Pada saat yang sama, Latifa dan Latifah merasa nyeri pada selangkangan, perut sakit, serta mulas. Latifa merasa akan segera melahirkan, demikian pula Latifah. Sementara itu, sebagaimana yang terjadi selama beberapa hari sebelumnya, langit mengamuk, kilat demi kilat saling bersambaran, hujan deras pun yang sudah berlangsung tujuh jam menolak untuk berhenti.

Latifa segera memberi aba-aba kepada suaminya agar segera memanggil taksi untuk membawanya ke Rumah Sakit Antonio Barabak, demikian pula Latifah. Begitu mendekati Rumah Sakit Antonio Barabak, mereka melihat pemandangan mengerikan: sebuah tiang listrik roboh menimpa atap rumah sakit, memercikkan lidah-lidah api, lalu cepat menyebar ke sudut-sudut lain.

Baca juga  Kain Perca Ibu

Latiff Ariffin segera melarikan istrinya ke Kandang Kerbau, dan Latif Arifin segera melarikan istrinya ke Kandang Lembu.

Dua bayi, satu anak Latiff Ariffin dan yang lain anak Latif Arifin, tepat pada detik yang sama lahir. Anak Latiff Ariffin diberi nama Sulaiman bin Ariffin, dan anak Latif Arifin diberi nama Sulaiman bin Arifin. Dua bayi ini menimbulkan rasa heran: tangis mereka bagaikan nyanyian-nyanyian syahdu yang menyayat hati, jauh berbeda dengan tangisan bayi-bayi lain ketika mereka baru lahir.

Meskipun wajah Latifa sangat pucat, demikian pula wajah Latifah, dokter di dua rumah sakit berbeda itu menjamin, berdasarkan pemeriksaan-pemeriksaan yang sangat teliti, ibu-ibu muda ini benar-benar sehat.

Keesokan harinya ketika Latiff Ariffin naik sepeda motor besar menuju ke kantornya, demikian pula Latif Arifin, hujan makin deras, langit makin gelap, angin makin menderu-deru, dan halilintar demi halilintar saling bertabrakan. Tepat pada waktu bersamaan, malaikat Izrail mencabut nyawa Latiff Ariffin di Labuh Raya 15 A, dan nyawa Latif Arifin di Labuh Raya 15 B. Sepeda motor dua laki-laki ini tergelincir, helm mereka melesat, mereka jatuh, lalu kepala mereka terlindas truk.

Dalam kisah mengenai raja-raja, tertulislah sebuah kalimat: “Raja wafat, dan karena sedih, permaisuri pun menyusul wafat,” dan inilah yang terjadi pada Latifa dan Latifah. Dalam keadaan lemah sehabis melahirkan mereka menerima berita yang tidak pernah mereka duga, dan tanpa sempat mengurusi bayi mereka, mereka meregang nyawa menyusul suami mereka.

Apa yang kemudian terjadi pada dua bayi itu tidak diketahui, tapi, setelah mereka berumur 20 tahun, takdir mereka menjadi jelas. Mereka sama-sama pandai menyanyi dan memainkan berbagai alat tabuh-tabuhan. Yang satu, entah yang mana, buta, dan lainnya, entah itu Sulaiman bin Ariffin atau Sulaiman bin Arifin, matanya tidak buta.

Mereka menjadi penyanyi, dan dua-duanya mencari nafkah di stasiun bawah tanah yang sama. Kendati stasiun ini paling ramai, jalan keluar-masuknya hanya dua, satu di barat, satu di timur. Penyanyi buta mengamen di pintu barat, penyanyi yang tidak buta mengamen di pintu timur.

Dua penyanyi ini tidak saling mengenal, tapi saling mendengar. Dari tahun ke tahun keadaannya sama: setiap hari penyanyi buta selalu mendapat uang banyak, dan setiap hari penyanyi yang tidak buta tidak pernah mendapat uang banyak.

Baca juga  Kaki Sewarna Tanah

Pada suatu malam, tepat pada waktu sama, dua penyanyi ini tertimpa oleh mimpi. Dalam mimpi, dua penyanyi ini mendengar suara bisik-bisik: “Dua orang yang berbeda bisa menjadi saudara bukan karena darah, tapi karena takdir. Kau penyanyi, dan saudaramu juga penyanyi.”

Bisik-bisik ini berlanjut terus, sampai akhirnya, penyanyi yang tidak buta mendengar bisik-bisik: “Takdirmu buruk, karena kamu tidak buta. Takdir saudaramu bagus, karena dia buta.” Tanpa sadar, dalam keadaan masih bermimpi, penyanyi yang tidak buta mengambil pisau, lalu menusuk-nusuk matanya.

Maka, di stasiun bawah tanah itu sekarang ada dua penyanyi, sama-sama buta. Dua penyanyi tetap tidak saling mengenal, tapi tetap saling mengetahui.

Pada suatu malam, tepat pada waktu bersamaan, dua penyanyi ini di rumahnya masing-masing bersembahyang memohon ampunan kepada Tuhan Seru Sekalian Alam. Begitu selesai bersembahyang, tubuh dua penyanyi ini bergetar-getar hebat, dan mereka segera teringat pada bisik-bisik lain dalam mimpi mereka beberapa hari lalu: “Apabila tubuhmu bergetar-getar hebat, kamu akan segera bergabung dengan ayah bundamu.”

Malam makin gelap, angin bertiup tenang, dan hampir semua rumah di kota yang tidak perlu disebutkan namanya ini sudah padam lampunya. Lampu-lampu jalan yang dianggap tidak begitu penting juga sudah dimatikan.

Dalam waktu bersamaan dua penyanyi keluar dari rumah masing-masing, melangkahkan kaki dengan dibantu oleh tongkat mereka, tanpa tahu harus ke mana. Hanya kaki merekalah, dengan dibantu tongkat, yang menuntun mereka.

Suara bisik-bisik terdengar: “Takdir telah membuat kamu lahir tepat pada saat yang sama dengan saudaramu, dan akhir hidup kalian akan datang bersama-sama pula.” ***

Budi Darma. Sehari-harinya bekerja sebagai Guru Besar Unesa (Universitas Negeri Surabaya). Budi Darma pernah menerbitkan beberapa kumpulan esai, cerpen, dan novel, dan pernah mendapatkan penghargaan antara lain dari Balai Pustaka, Kompas, SEA-Write Award (Bangkok), Anugerah Seni Pemerintah RI, Satya Lencana dari Presiden Republik Indonesia, dan Anugerah MASTERA (Brunei).

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!