Cerpen, Gde Aryantha Soethama, Kompas

Menonton Wayang

Menonton Wayang - Cerpen Gde Aryantha Soethama

Menonton Wayang ilustrasi Fatih Jagad Raya Aslami/Kompas

3.5
(4)

Cerpen Gde Aryantha Soethama (Kompas, 10 November 2024)

SEORANG lelaki punya pengalaman sangat berkesan ketika menonton pergelaran wayang kulit. Waktu itu, awal 1960-an, ia masih di sekolah dasar.

Dari tempat tinggalnya di kota K, ia acap pulang kampung, sebuah dusun di kota G. Kendati jarak G dan K cuma 25 kilometer, pulang kampung kala itu sungguh istimewa, perjalanan yang ditunggu-tunggu, naik bus antarkota yang hanya dilayani enam bus sepanjang hari pergi-pulang. Rangka, dinding, tempat duduk, dan atap bus terbuat dari kayu.

Kakek di dusun selalu menghubungi anak lelaki itu dengan menitip pesan lewat sopir bus, agar si cucu pulang kampung kalau ada pertunjukan wayang kulit dengan dalang terbaik. Cucu akan datang sendiri, ibu menyiapkan tas dari anyaman daun pandan kering, melesakkan baju hangat dan handuk. Ayah menitipkannya kepada kernet, Kakek akan menjemput di terminal.

Anak lanang itu senang sekali adegan perang. Dan Jero Uyut, dalang terbaik di G, sering melakonkan perang sengit sehingga orang memberi dia julukan Dalang Uyut, artinya dalang ribut, suka menampilkan cerita konflik para satria sakti bertempur. Orang-orang yang tidak suka menuduh dia dalang yang senang memantik dan memberi ilham perang saudara.

Jika Jero Dalang Uyut mementaskan lakon Bharatayuddha, anak lanang itu pasti girang. Kalau ada adegan cuma omong-omong dalam bahasa Kawi, si anak sering tertidur. “Kalau sudah ada perang, bangunkan saya, ya, Kek,” pintanya.

Kakek meminta si cucu tidur dulu selepas petang, sebelum wayang digelar pukul sepuluh malam. Begitu gender ditabuh, anak lanang itu dibangunkan. Terkantuk-kantuk ia dipangku kakeknya menonton wayang.

Saking senang sama adegan perang, si anak berpikir, ke mana mayat-mayat itu dibawa? Ketika Bima memukulkan gada pada raksasa yang akhirnya terkapar, ke mana mayat raksasa itu pergi?

“Mayat-mayat wayang itu ada di sana, tergeletak di antara dalang dan penabuh gender,” jelas si Kakek. Dan si cucu percaya.

“Saya ingin melihat mayat-mayat itu, boleh Kek?”

“Ooooo, bisa-bisa. Kita lihat besok dini hari jika dalang dan penabuh sudah pulang.”

Subuh, si cucu bangun, mengajak Kakeknya mencari mayat-mayat wayang. Tentu, tak ia temukan satu wayang pun.

“Wah, ada penelusup mendahului mengambil mayat-mayat itu,” jelas si Kakek, berpura-pura kaget.

Dan si cucu percaya. Selalu begitu, saban menonton wayang kulit, ia kembali meminta Kakek mengantar mencari jasad wayang. Kakek pura-pura mencermati sekitar tempat pertunjukan tadi malam, membuka lipatan tikar atau menelisik semak-semak. Ketika bangkai wayang tak ditemukan, si Kakek selalu menjelaskan ada penelusup mendahului mereka.

Baca juga  Burung-burung Ababil di Langit Kota

Lama-lama Kakek sadar, tak bagus terus berbohong. Ia menemui Dalang, meminta menyisakan satu atau dua wayang seusai tampil.

“Saya ingin membeli wayang itu, Jero Dalang. Tolong geletakkan di semak-semak, atau di bawah pohon, besok saya ambil bersama cucu.”

“Tapi, saya tidak menjual wayang, ini benda suci, wayang warisan.”

“Kalau begitu sudilah Jero membuat yang baru.”

“Tidak boleh gegabah menarikan wayang baru, harus diupacarai.”

“Terserah Jero Dalang, aturlah, tak dimainkan juga tidak apa.”

Sejak itu, setiap selesai menonton wayang, subuh, si cucu pasti mendapati bangkai wayang, kadang terselip di bawah tikar sebelum digulung menjelang siang. Atau diikat dengan tali bambu di batang pohon. Koleksi anak itu kebanyakan wayang raksasa, karena yang terjengkang kalah selalu raksasa.

Kakek pun menjadi akrab dengan Jero Dalang Uyut. Kadang, Dalang memberi wayang cuma-cuma. “Hadiah buat cucu,” ujarnya tersenyum. Kakek mengatupkan tangan di depan dada berterima kasih, kemudian mereka berpelukan, saling tepuk bahu, seperti dua sahabat karib lama tak bertemu. Cucu pun minta disalami Dalang, dan ia mendapatkannya ketika Jero Uyut seusai mendalang, akhir November 1965.

Anak lanang itu tak kuasa memejamkan mata seusai menonton. Ia senang bukan alang kepalang, dan tergolek di kursi panjang ruang tamu dengan kelopak mata terus berkedip, sampai seseorang di luar memanggil-manggil nama Kakek.

Alangkah terkejut anak lanang itu, di depannya berdiri Dalang Jero Uyut. Di belakangnya dua lelaki memanggul peti berisi wayang, biasa disebut keropak, dengan sebatang bambu.

“Saya mau menitip wayang di sini. Tidak keberatan, kan?”

“Oh, bisa-bisa, tidak apa- apa,” sambut Kakek.

Sudah lewat tengah malam, kelam, awan tebal menggayut. Tampaknya sebentar lagi hujan.

“Saya mendapat kabar sepanjang jalan pulang genting, rumah-rumah dibakar. Saya harus pulang, keropak ini membuat gerak kami lamban. Mohon nitip, ya?”

Tapi, dalang itu tak pernah sampai di pekarangan rumahnya. Di depan gerbang, ketika ia hendak bergegas masuk menyaksikan rumahnya dibakar, empat laki-laki kekar berbaju hitam, bersenjata kelewang, mencegatnya.

“Apa salahku kalian bakar rumah kami?”

Dua orang menjawabnya dengan pukulan bertubi-tubi ke ulu hati, silih berganti, sampai Jero Uyut terjerembab di pagar tanaman liligundi.

“Salah apa aku?”

“Diammm… komunis!” bentak yang paling kekar, menghujamkan kelewang di perut Uyut, dan dua sabetan sekuat tenaga menyilang dada.

Baca juga  Sangkar Madu

Dalang terbaik di kota G itu samar mendengar tangis pilu anak-anak dan jerit perempuan melengking dari pekarangan, di antara kobaran api melahap bangunan. Matanya perlahan terkatup, menatap kian samar api membubung. Telinganya merekam tangis dan jeritan. Semua itu ia bawa serta tertatih-tatih ke alam kematian.

Lama setelah itu, berbulan-bulan, berbilang tahun, Kakek berusaha mengembalikan wayang satu keropak itu. Tapi, keluarga besar Jero Uyut selalu menolak. “Biarkan saja di sana,” usul mereka.

Tentu Kakek tak sudi, ia terus mendesak. Beberapa anggota keluarga Dalang Jero Uyut akhirnya mendatangi Kakek untuk membereskan persoalan. “Sudah kami putuskan dalam rapat keluarga, kami hibahkan dengan tulus wayang-wayang ini, biarkan mereka tenang di sini. Kami takut menjadi dalang, tak akan ada yang meneruskan.”

Kakek memutuskan menyimpan dan merawat wayang-wayang itu. Setiap Tumpek Wayang, tujuh bulan sekali di Hari Wayang, Kakek menghaturkan sesaji. Si cucu pasti diajak, mengeluarkan wayang dari keropaknya agar tidak berjamur karena lama dalam peti lembab. Ia senang mengamati wayang-wayang itu kendati tidak dimainkan oleh dalang.

Setahun sebelum meninggal, Kakek memindahkan sekeropak wayang itu ke K. “Sekarang, wayang ini tanggung jawabmu,” jelas Kakek kepada si cucu yang sudah menjadi guru sejarah di SMA.

Tentu, si cucu terharu dan bahagia, tapi juga merasa berat oleh tanggung jawab. Apalagi, kini ia sudah renta, Kakek dengan empat cucu, perempuan semua. Ia selalu dihantui pikiran, kepada siapa ia wariskan sekeropak wayang itu? Menghibahkan ke museum, ia tak kenal museum khusus wayang kulit. Menyerahkan ke pemerintah lewat dinas kebudayaan, ia bimbang, yakin bakal tak terurus. Bisa-bisa dipreteli, wayang hilang satu demi satu ditilep.

Cucu dan keponakannya tak ada yang berminat. Kadang, ia tancapkan wayang-wayang tersebut pada batang pisang, menggelar di teras, cuma untuk dipandang. Ia mengajak keponakan dan cucu-cucu datang, tetapi tak seorang pun tertarik. Mereka lebih suka menonton drama Korea dan serial Netflix di gadget.

Ah, mesti dibawa ke mana sekeropak wayang itu membebani batinnya. Sampai satu sore, ia duduk di depan dapur, cucunya datang dan menjerit lantang.

“Saya diterima, Kek. Tahun ini, saya jadi mahasiswa,” teriak cucunya bersiap menunjukkan telepon genggam memuat namanya lulus masuk perguruan tinggi.

“Lulus di politeknik pilihanmu? Wah, hebat, selamat.”

Baca juga  Di Bawah Bayang-bayang Gunung Sinai

“Enggak Kek, berat saingan di situ, apalagi jurusan elektro.”

“Terus, kamu diterima di mana?”

“Di ISI, Kek.”

“Hah? Institut Seni Indonesia? Ambil program studi apa? Tari?

“Pedalangan, Kek.”

“Kamu, kan, cewek, mau jadi dalang?”

“Memangnya kenapa, Kek? Unik dan asyik malah kalau wanita jadi dalang. Yang diterima di pedalangan semester ini lima perempuan. Seru, kan, Kek, kalau lima cewek lulus nanti barengan jadi dalang? Tapi….” Si cucu menadahkan tangan, Kakek tertawa. Saban bulan, tiga hari setelah ia mengambil uang pensiun, cucu yang satu ini pasti datang minta sangu.

Kakek membuka laci, cucu mendekat, beberapa lembar uang berpindah tangan.

“Kakek mau saya belikan apa? Kates dan jeruk seperti biasa? Kalau avokad, jangan Kek, mahal.”

Kakek terkekeh, mengangguk-angguk, kemudian masuk ke kamar tempat menyimpan sekeropak wayang kulit itu. Ia tepekur sebelum menggeser tutup peti, mengambil beberapa wayang dan menempelkan di jidatnya silih berganti berulang-ulang. Dadanya tersedak menahan sukacita, terkenang Jero Dalang Uyut dan Kakeknya yang rajin mengajak menonton wayang.

Di usia semakin tua, laki-laki itu mengalami kian banyak hal ganjil, kebetulan-kebetulan yang sulit dijelaskan. Ia tak pernah menduga diam-diam seorang cucu tertarik pada wayang kulit. Perempuan pula. Atau ia selama ini sama seperti saudaranya yang lain, tak peduli ada satu keropak wayang suci di rumah Kakeknya. Mungkin sekian teman membujuk, mendesak-desak sehingga tiba-tiba ia berubah pikiran, girang ikut-ikutan.

Entahlah. Laki-laki tua itu paham, kini zaman instan, sesuatu yang beku tiba-tiba bisa meleleh menjadi wujud aneh, lalu orang-orang sibuk memberi tepukan pujian dan sanjungan.

Pensiunan guru itu terus-menerus berdoa agar cita-cita cucunya menjadi dalang terkabul. Jika cucunya lulus menjadi dalang, ia bertekad suatu waktu menggelar festival dalang wanita. Namun, ia belum tahu bagaimana caranya. ***

.

.

Jimbaran, September 2024

Gde Aryantha Soethama kerap menulis cerita berlatar Bali. Cerpen-cerpennya bisa ditemui dalam antologi Malam Pertama Calon Pendeta (Penerbit Buku Kompas, 2023) berisi belasan cerpennya yang pernah dimuat Kompas.

Fatih Jagad Raya Aslami, lulusan Seni Rupa Universitas Pendidikan Indonesia Bandung yang menggeluti animasi tiga dimensi. Sedikitnya telah berpameran 26 kali di dalam ataupun luar negeri.

.
Menonton Wayang. Menonton Wayang. 

Loading

Average rating 3.5 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Mathias K

    Banyak kejutan-kejutan tak terduga dalam cerpen ini, membuat pembaca penasaran untuk membacanya

Leave a Reply

error: Content is protected !!