Cerpen Yessy Sinubulan (Kompas, 17 November 2024)
MESKI dicemberuti sebagian besar ibu-ibu, Boru Naritik yang memakai baju merah ketat tetap meliuk-liuk di atas panggung, mirip selang cuci darah.
Mak Gabe sedang menyogok perawat dengan lima bungkus besar kopi ketika di halaman rumah sakit sedang sibuk mempersiapkan konser musik.
“Suster, ini digiling dari biji kopi terbaik dari ladangku, lo. Kukasih samamu dan perawat-perawat di sini. Tapi minta tolonglah, ya. Kalau data-data suamiku sudah masuk, kalian cepatkan sikit. Kan kalian tahu dia suka marah-marah kalau antre obat atau dokter. Kasihanlah kalian samaku!” pinta Mak Gabe memelas.
Nina, perawat yang sudah berbulan-bulan mengenal Mak Gabe dan suaminya karena bolak-balik cuci darah, cepat-cepat menarik bubuk kopi itu dan menyimpannya ke dalam ruangan. Dia dan teman-temannya sudah sering menerima makan siang, burger, bika ambon, sampai bahan kebaya. Para perawat di rumah sakit ini sudah mengenal suami Mak Gabe yang temperamen, tapi dengan sogokan dari Mak Gabe yang lucu dan royal, para perawat bisa mengkondisikan.
“Tenanglah, Namboru. Ngertinya kami kalau Amang Boru itu cepat kali emosi, namanya juga udah cuci darah.”
“Makasihlah, ya. Ngomong-ngomong sandal yang kemarin kita beli, cocoknya sama kau? Kalau nggak cocok nanti kita beli yang baru, ya.”
“Cukuplah, Namboru. Cuma buat dipakai di dalam ruangan ini.”
Kemarin, Nina mampir ke koperasi rumah sakit karena sandalnya yang biasa dipakai di ruangan putus talinya. Mak Gabe tak sengaja melihat Nina sedang memilih-milih sandal. Dengan sigap ia menyodorkan uang, “Berapa harga sandalnya? Sekalian ajalah sama rotiku ini,” katanya pada petugas koperasi.
Nina pura-pura malu. “Nggak usahlah, Namboru. Jadi repot kali.”
“Tak apanya, kemarin udah kau temani aku nyari bubur ayam pesanan Amang Borumu, untung cepat. Telat lima menit aku, dibakarnya rumah sakit ini.”
Nina akhirnya kembali ke ruangan membawa pulang sandal baru yang membuat perawat lain meledek: pasti sogokan Mak Gabe lagi, nih!
“Ngomong-ngomong, mau ada acara apa ini? Kok ribut kali?” tanya Mak Gabe baru menyadari kesibukan di halaman. Nina ikut melihat ke seberang kaca, tepatnya ke arah halaman di depan poli jantung.
“Oh itu, mau ada acara musik katanya, Namboru. Perayaan 17-an.”
“Lo? Nggak ribut nanti dirasa pasien-pasien ini?” tanya Mak Gabe heran.
Nina mendekat ke telinga Mak Gabe. “Kan kubilang juga apa kan, Namboru? Masak di rumah sakit ada konser musik? Dekat poli jantung pula. Apa nggak makin makin tekejut-kejut pasien kita.”
“Terus siapa rupanya yang mengusulkan?” Mak Gabe tak kalah penasaran.
“Ada pejabat yang jadi donatur rumah sakit, Namboru. Susah ditolak, ngertilah kan.” Nina mengoceh sambil terus menulis data-data pasien di map di tangannya.
“Alamak, ada-ada aja kalian. Emangnya siapa kian penyanyinya yang mau diundang? Kok heboh kali persiapannya?”
“Boru Naritik, Namboru. Itu lo, biduan Batak yang lagi naik daun di Tiktok.”
“Boru Naritik? Serius kau??”
“Iya, Namboru. Namboru tahu juga? Gaul kali….” Nina tertawa.
“Aduh bukan kenal lagi, bestie kami. Pasti senang kali lah Amang Borumu. Selingkuhannya dulu itu, sering datang ke rumah. Kukasih tahulah dia ya, siapa tahu langsung stabil gula darahnya.” Mak Gabe cepat-cepat meninggalkan Nina dengan wajah bengong.
“Kenapa Namboru itu lari-lari, Nin?” tanya Margaret yang baru datang.
“Katanya dia mau kasih tahu suaminya kalau Boru Naritik mau konser. Ada ya orang yang bahagia lihat selingkuhan suaminya?”
“Efek kelamaan dampingin orang sakit gitunya, Nin. Kita pun bentar lagi ikut gila kek dia,” Margaret membuka kopi dari Mak Gabe dan menuangnya ke dalam satu cangkir.
“Dualah, Ret. Enak kali kau!”
Sementara itu Mak Gabe berlari-lari ke ruangan tempat suaminya terbaring. Proses cuci darah masih berlangsung. Pak Gabe adalah eksportir sayur dan buah dari kota Medan. Wajahnya masih tampan meski sudah bertahun-tahun cuci darah. Istri simpanannya banyak, pacar, apalagi. Dan Mak Gabe sudah tak keberatan dengan itu.
“Pak, ada kabar gembira untukmu,” berdiri Mak Gabe di samping Pak Gabe yang sedang terbaring. Di dalam selang, darah tampak berputar-putar.
“Apanya kau, datang-datang ribut!” kata Pak Gabe merasa terganggu. Meski penyakitan dia masih tetap merasa don juan, dan baginya Mak Gabe hanya teman seumur hidup. Perempuan yang membuatnya bebas jadi diri sendiri. Tentu saja jadi diri sendiri versi yang tak selalu menyenangkan, ini contohnya.
“Itu lo, pak. Di depan rumah sakit akan ada konser.”
“Ya, apa hubungannya samaku? Emang bisa dibikinnya aku berhenti cuci darah? Kalau bisa, berapa pun mintanya kukasih.”
“Iss, Bapak ini. Boru Naritik Pak, Boru Naritik.”
Mendengar kata Boru Naritik, Pak Gabe langsung bernyawa. Wajahnya yang pucat karena proses cuci darah seketika berubah pink seperti warna sosis curah. “Apa kau bilang, Mak?”
“Yang diundang sama mereka itu Boru Naritik. Itu lo, yang dulu suka ngajak kau karaokean.”
Pak Gabe tidak bisa menahan senyum lagi. Dia seakan lupa kalau dia sudah jadi pasien cuci darah selama 10 tahun. “Boru Naritik yang suka nemenin aku karaokean itu?”
“Iya, Pak. Betul sekali!”
Mak Gabe ingat, dulu ia sering mengantarkan suaminya karaokean bersama Boru Naritik. Sepanjang karaoke berlangsung, Mak Gabe akan duduk di ruang tunggu. Kadang ia super sibuk kalau Pak Gabe tiba-tiba memintanya membelikan sesuatu yang tidak disediakan di tempat karaoke.
Para pegawai di sana sudah sering melihat Mak Gabe menunggu, dan Mak Gabe lalu terbiasa menyogok mereka untuk menyediakan ini dan itu. Kalau ada petugas yang bertanya pada Mak Gabe, “Tante, kenapa Tante malah ikut nganterin suaminya ikut karaoke? Udah gilanya Tante ini?”
Mak Gabe akan menjawab santai, “Justru aku beruntung kali, ada yang menghibur suamiku. Jadi aku bisa bebas sebentar, istirahat,” kata Mak Gabe sambil mengunyah kacang di meja. Para pegawai sudah biasa mendadak kelimpahan makanan kalau Pak Gabe sedang karaoke.
“Kalau gitu kenapa Tante nggak tunggu di rumah aja?” tanya mereka lagi.
“Ihh, tunggu di rumah kau bilang? Nanti kalau dia tiba-tiba butuh obat, dia muntah, atau harus segera masuk UGD, biduan-biduan itu mana ngerti yang gitu-gitu. Jadi aku harus stand by terus.” kata Mak Gabe pede. Dia tahu betul di bagian apa suaminya membutuhkannya dan itu tak akan bisa digantikan biduan-biduan bahenol itu.
Lama-lama para pegawai di sana sudah menganggap Mak Gabe sebagai bagian dari karaoke saja. Sampai suatu kali karaoke itu terhenti karena Boru Naritik tiba-tiba menghilang. Pak Gabe patah hati berbulan-bulan. Biduan lain tak mampu mengobati hatinya.
“Jam berapa konsernya?” Pak Gabe tak sabar dengan berita itu.
“Malam ini kayanya, Pak.” Mak Gabe ragu.
“Kok kayanya? Tanyak, Bodoh! Kau ini kalau cari informasi setengah-setengah. Pastiin jam berapa, biar tahu kita.”
“Oh, iyalah. Tunggulah, Pak kutanya dulu.” Mak Gabe keluar dari ruangan cuci darah menuju meja perawat lagi.
Nina masih di sana, sekarang ketambahan Margaret. Mereka sudah menyeduh kopi karena gelasnya tampak di bawah meja komputer.
“Nina, jam berapa nya konser Boru Naritik itu? Udah nggak sabar Amang Borumu.”
“Jam 7 malam, Namboru.” Margaret mengeluarkan brosur acara ke atas meja.
Mak Gabe dengan cepat mengambilnya. Saat Mak Gabe hendak berbalik ke kamar, ia melihat banyak ibu-ibu yang mendatangi meja perawat. Mak Gabe mundur dari meja. Membiarkan para perempuan itu menyerobot meja Nina dan teman-temannya.
“Ini rumah sakit mahal, lo. Rumah sakit berkelas di kota Medan ini. Bisa-bisanya pula ada konser biduan?” seru salah satu ibu-ibu sambil melempar brosur ke arah meja Nina.
“Suami saya itu punya penyakit jantung, nah itu sound-nya mengarah ke poli jantung, udah gila kalian?” sambung yang lain.
“Maaf, Bu. Kami tidak tahu menahu, ibu-ibu langsung protes ke manajemen rumah sakit saja ya!” kata Margaret masih berusaha sopan.
“Mana sini manajernya? Nggak terima aku. Udah bayar mahal-mahal, masa ada ginian. Ini rumah sakit bukan lapo tuak,” kata ibu-ibu yang lain tak kalah emosi.
Seharian itu ruangan manajemen rumah sakit diprotes oleh keluarga pasien, sebagian besar yang protes tentu saja ibu-ibu. Sementara bapak-bapak hanya mesem-mesem. Kerumunan itu terhenti ketika salah satu dokter mendadak masuk dan menenangkan massa.
“Tenang-tenang, kita sudah dapat solusi dari permasalahan ini. Karena acara tidak mungkin dibatalkan, maka konser musik akan kita pindahkan ke belakang. Di depan poli THT. Teman-teman tuli sudah setuju dan sama sekali tidak merasa terganggu. Sementara pasien normal yang benar-benar tidak ingin terganggu boleh meminta obat tidur lebih awal pada masing-masing perawat yang bertugas. Demikian disampaikan, harap maklum.”
Kerumunan bubar dengan gerutuan di sana-sini. Mak Gabe yang dari tadi hanya duduk menonton dari belakang bisa lega. Ah, akhirnya konser itu tetap terlaksana. Dia buru-buru ke ruangan tempat Pak Gabe berada untuk menyampaikan berita gembira itu.
Konser malam itu berlangsung meriah di depan klinik THT. Benar kata manajemen rumah sakit, para pasien tuli tidak keberatan sama sekali dengan konser itu. Lagipula poli THT agak jauh dari poli lainnya.
Meski dicemberuti sebagian besar ibu-ibu, malam itu Boru Naritik yang memakai baju merah ketat tetap meliuk-liuk di atas panggung, mirip selang cuci darah.
“Asoyy,” kata Pak Gabe dari kursi rodanya, bahagia tak terbendung. Kalau Boru Naritik bisa dijadikan kapsul penstabil gula darah, pasti beliau yang pertama kali mengeluarkan kocek untuk membelinya…. ***
.
Keterangan
Namboru: Tante
Amang Boru: Om
Naritik: Gila
.
.
Yessy Sinubulan, penulis dan founder Dunia Ajaib Kokomang. Tinggal di Jakarta.
K Nawasanga, pelukis bermukim di Lod Tunduh, Ubud, Bali. Aktif menggelar pameran seni rupa secara tunggal maupun kelompok. Pada 2002 menggelar pameran tunggal bertajuk “The Faces” di Deutsche Internationale Schule, Jakarta. Selain pameran, juga acapkali menggelar workshop. Pada November 2017 menggelar workshop gambar di Northern Centre for Contemporary Art (NCCA) Gallery di Darwin, Australia. Maret yang akan datang, ia akan mengikuti program artist in resident di Wagga Wagga Regional Art Gallery di New South Wales, Australia.
.
Konser Boru Naritik. Konser Boru Naritik. Konser Boru Naritik. Konser Boru Naritik.
Mathias K
Cerpen yang bagus ceritanya mengalir
Hery
Setelah membaca cerpen ini, saya bingung, apakah saya orang Batak atau orang Minang?