Cerpen Arie Fajar Rofian (Koran Tempo, 17 November 2024)
MALAM di Kota Tokyo kerap menyimpan rahasia kecil di balik gemerlap lampu neon dan kesibukan yang tiada habisnya. Dengan langkah yang hati-hati, beriring sedikit keraguan, Kenji melangkah ke sebuah tempat yang tidak diketahui oleh banyak orang, sebuah gedung tua yang dipenuhi kode dan rahasia. Kenji terdiam sejenak, termenung sebelum seseorang muncul dari balik pintu dan memintanya segera memasuki ruangan.
Di suatu ruangan kecil, di bawah sorotan lampu yang temaram, yang sesekali berkedip seolah kehilangan daya listrik, Kenji duduk bersimpuh di lantai tatami dengan tubuh yang bergetar. Punggung Kenji dalam posisi tegak, kedua lututnya terpisah jarak, sementara wajahnya pias dan mengeluarkan banyak keringat, seolah tak pernah membayangkan bahwa momen ini bakal terjadi dalam hidupnya.
Bau asap rokok dan sisa sake menyelimuti udara, meningkatkan rasa bersalah yang diam-diam semakin menyesaki dada Kenji, juga menjejali kepalanya. Sesekali Kenji memeriksa bajunya yang kusut, merapikan kerah yang terlalu lebar untuk lehernya yang kurus. Kenji merasakan sedikit gesekan udara dari lubang ventilasi yang mengalir di atas kepalanya, membawa aroma dingin dan sepi Kota Tokyo pada dini hari.
Kenji bergidik ngeri, tetapi pada detik berikutnya yang terasa sangat panjang, berupaya mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang tercecer di permukaan lantai. Ia mendatangi tempat itu membawa sesuatu yang tak tampak oleh mata, semacam kehormatan atau harga diri yang harus ditebus. Sesuatu yang ia simpan dalam-dalam hingga akhirnya menjadi beban yang tak lagi tertahankan.
Sementara itu, di hadapan Kenji, oyabun hanya duduk diam, menatapnya dengan sorot mata terlampau tajam yang dapat menembus hingga ke dalam tulang, menimbulkan ketidaknyamanan yang entah dari mana asalnya. Lelaki paruh baya yang mengenakan kimono berwarna hitam itu menampilkan ekspresi dingin, seperti danau di musim gugur yang menantikan hujan atau salju pertama.
Melalui satu isyarat tangan yang sangat tegas, oyabun segera meminta beberapa orang kepercayaannya yang ada di tempat itu agar meninggalkan ruangan, menyisakan dirinya dengan Kenji. Tanpa banyak bicara, terlebih bertanya, orang-orang itu langsung menuruti permintaan oyabun.
“Aku sudah mendengar kabar buruk itu,” ucap oyabun, “dan semua orang mengatakan bahwa itu lebih karena kau melakukannya secara terpaksa mengingat keadaan yang mengharuskannya demikian. Bukan begitu, Kenji?”
“Ma-ma-maaf.” Kenji tergagap, kemudian memalingkan pandangannya ketika tanpa sengaja beradu tatapan dengan oyabun. “Saya benar-benar meminta maaf.”
Oyabun perlahan mengisap rokoknya. Asap putih nan tipis menari-nari di udara, melintasi wajahnya yang tua dan penuh gurat, tetapi tetap berkarisma. Abu rokok berjatuhan, berserak dan membentuk pola acak yang menyerupai peta. Sementara itu, Kenji terus menerka-nerka mengenai apa yang akan terjadi setelah ini.
Bekas luka sayat yang memanjang di pipi oyabun menunjukkan bahwa ia pernah melalui malam-malam yang kejam dibanding siapa pun di dalam kelompok mereka. Di luar itu, ada sesuatu di wajah lelaki yang sekujur tubuhnya dipenuhi tato itu; sesuatu yang tak sepenuhnya Kenji dapat pahami. Entah kecewa, entah marah, entah hampa, entah lelah; mungkin salah satunya, atau bahkan kombinasi di antara semuanya.
“Kenapa kau mau melakukan ini, Kenji?” tanya oyabun ketika mulutnya tak lagi tersumpal batang rokok. “Kau sudah benar-benar yakin?”
Hening dan sepi seketika menyelimuti ruangan yang berasap itu, hanya suara halus seekor kucing yang kebetulan melintasi lorong di belakang pintu geser yang terdengar samar. Kenji tak lantas menanggapi, terlebih menjawab secara verbal. Bukan karena tidak sopan, tetapi butuh lebih banyak waktu untuk memilih dan memilah ucapannya agar terdengar sopan, juga bijaksana.
Ruangan itu seakan menyerap setiap desahan napas Kenji, seperti lubang hitam yang melahap apa pun yang berada di sekitarnya. Ia merasakan setiap detik yang terlewat seolah sedang menghitung mundur waktu yang tersisa untuknya. Pikirannya berputar, terperangkap dalam dinding-dinding kekuasaan yang membangkitkan rasa hormat sekaligus ketakutan yang tak terbatas.
Pria berusia dua puluh sembilan tahun itu tertunduk pasrah, memandangi jemari tangannya yang sebentar lagi tak akan terasa sama. Jantung Kenji berdentum keras, serupa kembang api pada malam perayaan tahun baru, iramanya berlomba-lomba dengan gemeretak tembakau yang diisap oleh oyabun, membayangkan rasa sakit yang menderanya; rasa sakit yang akan membakar jari-jarinya.
Kenji menyadari, oyabun tidak butuh penjelasan macam apa pun. Ini bukan soal kesalahan yang dilakukannya hingga menimbulkan kerugian. Ini soal kepercayaan yang tergerus, seperti aliran sungai yang mengikis bebatuan. Kepercayaan yang dianggapnya hilang karena ia merasa telah mengkhianati seluruh keluarganya; mengkhianati seluruh keberadaannya meski terpaksa karena di bawah ancaman lawan—setidaknya ia merasa seolah-olah demikian.
“Hanya ini satu-satunya cara untuk menjaga kehormatan, melalui yubitsume.” Kenji menjawab tenang dan tertata, nyaris tak mengeluarkan suara. Suaranya mengendap dan tenggelam bersama asap rokok yang diembuskan oleh oyabun, lalu menghilang di udara dalam sekejap mata.
Di depan kedua lutut Kenji, berjarak satuan sentimeter, ujung tajam dari sebilah tanto berkilatan dan menyilaukan pandangannya, seolah mengetahui takdir yang sedang menanti. Tanto itu bukan sekadar alat berupa bilah besi yang tajam, melainkan pintu bagi kehormatannya yang hilang, jalan untuk menebus kesalahan yang tak bisa dijelaskan dalam satu kalimat yang panjang.
Kenji menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan, kembali mengumpulkan keberanian sebagaimana mestinya seorang yakuza sejati yang tak mengenal kata takut. Sekarang atau nanti, yubitsume harus tetap dilakoninya demi menjaga kepercayaan oyabun. Kecuali, Kenji mampu menanggung rasa malu di sisa hidupnya, menerima cap sebagai anggota yakuza yang tak mau mengakui kesalahan dan bermental pengecut.
Oyabun tidak menanggapi ucapan Kenji melalui kata-kata, hanya anggukan kepala yang perlahan disertai tatapan yang memancarkan kekuatan dan otoritas yang absolut. Anggukan itu, meski kecil atau perlahan, bagi Kenji adalah kalimat perintah yang mutlak, semacam ketegasan yang tak bisa dikompromikan.
Kenji menelan ludah, membayangkan kehidupan yang ia lewati bersama orang-orang yang telah dianggapnya sebagai saudara, tawa yang kerap membahana di antara denting cangkir sake, dan hari-hari ketika ia bersama anggota lainnya bertarung melawan musuh bebuyutan demi mempertahankan harga diri kelompok. Kenangan demi kenangan lainnya terus berlintasan di kepala Kenji, satu per satu, seperti potongan mimpi yang kabur, terputar dalam urutan yang sepenuhnya tak bisa ia kuasai.
Detik berganti. Tanpa menyisakan sedikit pun keraguan, Kenji meraih tanto di hadapannya dengan dingin, seperti perasaannya yang kini membeku. Tangan kirinya menempel pada lantai tatami yang dialasi kain sutra, sedangkan tangan kanannya menggenggam erat tanto, ujungnya mengarah pada jari kelingking kirinya yang mendadak mati rasa. Ruangan itu semakin sunyi, dan Kenji menarik napas terakhir sebelum tanto itu mengiris. Ingin rasanya Kenji merapal doa sebelum memulai ritual itu, tetapi ia tak pernah benar-benar memeluk kepercayaan apa pun sejak dilahirkan ke dunia.
Kenji tahu, sekali ia memulai, tak ada jalan untuk mundur, lebih-lebih memutar balik. Melalui satu gerakan yang teramat cepat, tanto akhirnya berhasil menembus kulit, menciptakan sensasi sakit dan panas yang menyelinap melalui ujung saraf. Darah segar mengalir, membawanya pada penebusan yang hakiki. Di balik rasa sakit dan panas itu, Kenji merasakan ada sesuatu yang lebih besar: pembebasan.
Potongan itu selesai, penuh dengan kehormatan sekaligus keberanian. Kenji meletakkan potongan ruas jari kelingkingnya di atas kain sutra berwarna putih, lalu menggesernya mendekati oyabun. Itu adalah persembahan sekaligus bentuk pembuktian bahwa ia merupakan anggota yakuza yang sangat bertanggung jawab. Kenji tertunduk, pandangannya mengarah pada kain yang secara perlahan mengaburkan warna merah darah, seperti kanvas yang direngkuh oleh nuansa kematian.
Hening kian menebal di ruangan itu, berselimut nuansa hampa. Kenji enggan menatap oyabun secara langsung, juga tak punya cukup keberanian untuk mendongak dan mencari tahu ekspresi yang mungkin terlukis di wajah orang yang paling dihormati itu; orang yang telah membimbingnya agar bisa bertahan di dunia yang terlalu keji. Kenji hanya menunduk, terus menunduk, dan tetap menunduk; tenggelam dalam keriuhan pikiran yang mengiringi senyap di sekitarnya.
Koisuru fortune cookie
Mirai wa sonna waruku nai yo
Hey! Hey! Hey! Hey! Hey! Hey!
Jinsei suteta mon janai yo ne
Atto odoroku kiseki ga okiru
Anata to dokoka de aishi aeru yokan
Dari arah luar ruangan yang sedang diselimuti hening itu, tiba-tiba lagu Koisuru Fortune Cookie yang dinyanyikan AKB48 diputar nyaring dan menginterupsi ritual suci yubitsume, menciptakan anomali yang tak dapat dipahami oleh oyabun, tetapi diam-diam menghadirkan senyum di wajah Kenji yang terus menunduk. Senyum puas dan penuh makna; senyum tipis yang nyaris tak terlihat, seolah sudah lama menantikan hal tersebut.
Inilah akhir dari sandiwara yang dimainkan oleh Kenji, alunan musik bernada ceria di luar sana adalah semacam kode bahwa rekan-rekannya sudah mengepung gedung tua itu, melumpuhkan semua orang yang dianggapnya sebagai saudara dan keluarga. Kenji adalah polisi yang menyelam dalam kegelapan, menyamar dan menyusup menjadi anggota yakuza, menempuh risiko yang menggerogoti logika beserta akal sehatnya.
Malam ini merupakan puncak dari penyelidikan, yang akan mengakhiri sepak terjang oyabun, mengantarkannya pada jeruji besi atas beberapa kasus pembunuhan dan perdagangan manusia yang dilakukannya beberapa tahun belakangan. Di akhir lagu Koisuru Fortune Cookie, cahaya lampu berwarna merah dan biru menyambar masuk ruangan itu bersama seruan para petugas kepolisian.
Kenji mendongak perlahan, lalu menyeringai ke arah oyabun yang seketika kehilangan wibawanya. Karena penggerebekan atau karena penggerebekan itu melibatkan lagu yang dibawakan sekelompok idola berusia muda, yang memiliki kesan berbanding terbalik dengan yakuza.
“Tatsuo, apa kau baik-baik saja?” sapa salah seorang polisi setelah berhasil memasuki ruangan itu, menyebut nama asli Kenji, dan menodongkan senjata ke kepala oyabun.
“Tanyakan itu pada jari kelingkingku!” balasnya, berdecak kesal. Andai saja rekan-rekannya berhasil menguasai gedung itu beberapa detik lebih awal, jari kelingking kirinya mungkin masih bisa terselamatkan. ***
.
.
Keterangan:
– Oyabun: pemimpin yakuza
– Tanto: belati
– Yubitsume: ritual amputasi diri pada jari-jari proksimal di sendi distal interphalangeal (DIP) di antara anggota mafia Jepang atau yakuza
.
Penebusan. Penebusan. Penebusan. Penebusan. Penebusan. Penebusan. Penebusan. Penebusan.
Leave a Reply