Cerpen Jemmy Piran (Koran Tempo, 10 November 2024)
DALAM perjalanan pulang selepas merayakan Paskah di Jerusalem, seusai mendirikan tenda dari kulit kibas di bawah pohon ek, Yosef bergidik ngeri membayangkan sorot mata Yeshua. Seperti penyihir, pikirnya, tetapi cepat-cepat ia mengenyahkannya. Ia terkejut kenapa sampai berpikir demikian. Padahal, ketika peristiwa itu terjadi, Yeshua baru berumur enam tahun lebih. Itu artinya sudah lima tahun yang lalu. Pasti roh jahat yang bekerja, ia membela diri.
Laki-laki tua itu segera menengadah ke langit, mengusap dadanya beberapa kali dan memohon ampun dengan bibir gemetar: sekiranya Yahweh tidak menurunkan kutuk atasnya, karena sudah menganggap Yeshua, anak yang dipercayakan kepadanya, sebagai penyihir.
Kala itu, setelah menghidupkan kembali seorang teman mainnya dengan doa, atau mantra barangkali, itu yang dipikirkan Yosef, karena ia tidak menyaksikannya secara langsung, Yeshua membelalakkan matanya. Sangat mengerikan. Mata Yeshua kecil berkilat seperti ada kekuatan lain dalam dirinya.
Namun, begitu Maria memohon dengan meratap-ratap agar mereka semua tidak dikutuk, barulah Yeshua menunjukkan tanda-tanda sebagai seorang anak yang tunduk pada perkataan orang tua. Terlebih kepada Maria. Sedangkan kepada Yosef, kadang ia masih menunjukkan tabiat seorang anak yang tidak tunduk kepada ayah angkatnya itu.
Sejak peristiwa Yeshua menendang dan mengutuk seorang anak ketika mereka masih di Mesir karena merusak jembatan kecil buatannya, beberapa bulan sebelum kembali ke tempat asal mereka di Nazaret, anak itu berjanji di hadapan Yosef dan Maria tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang tidak menyenangkan hati mereka.
Maria menghampiri Yosef. “Di mana Yeshua?” tanyanya.
Yosef mengangkat bahu dan memonyongkan bibirnya ke depan. “Aku belum melihatnya sejak pagi,” sahut Yosef.
Maria mendengus, mengedar pandang, terlebih ke arah anak-anak yang sedang bermain di bawah sebatang pohon. Tidak ada Yeshua di antara anak-anak itu.
“Mungkin ada di depan sana, di antara rombongan paling depan,” kata Yosef, ketus.
Tanpa sadar laki-laki itu meremas ranting yang dipegangnya dengan cukup keras. Ia jengkel karena Yeshua berulah lagi. Sehari sebelum meninggalkan Jerusalem, ia memperingatkan anak itu agar selalu berada dalam rombongan mereka. Yosef berulang-ulang mengingatkan agar tidak boleh terpisah atau bergabung dengan rombongan lain walaupun sesama dari Nazaret. Yeshua tidak menjawab dan hanya menatap Yosef tanpa ekspresi.
Selama ini Yosef menahan diri dan tidak menghadiahi Yeshua dengan sebuah jeweran atau pukulan saat anak itu nakal. Sudah berulang kali Yeshua mengusili teman-temannya secara berlebihan hingga mereka mengadukan hal itu kepada orang tua mereka. Yeshua bahkan tidak sungkan membuat mereka menderita.
Mengingat itu, Yosef berang dan ingin meluapkan semua yang dipendamnya. Selain untuk memberi pelajaran, ia ingin mengatakan kepada Yeshua bahwa ia lebih berkuasa atas anak itu. Ia akan memberi pelajaran, yang setidaknya membuat Yeshua jera. Namun, begitu ia mengingat kembali perkataan Maria bahwa Yeshua memiliki semacam kuasa untuk memberi kutukan dan memberkati, nyali Yosef menciut.
Yeshua pernah menghidupkan seekor burung di tepi Danau Genezaret, Yosef mengenang cerita Maria. Burung itu tidak dalam keadaan sekarat, tapi benar-benar mati. Begitu Maria meyakinkan.
Selain itu, Maria pernah meneruskan cerita dari pengakuan orang-orang bahwa mereka pernah melihat Yeshua kecil mengembuskan napas kehidupan ke dalam segumpal tanah yang menyerupai seekor burung. Tak lama setelah itu, gumpalan tanah tersebut menggeliat dan jadilah seekor burung merpati.
Orang-orang dewasa yang menyaksikan itu langsung menarik anak-anak mereka dari sekitar Yeshua karena mengira anak itu penyihir. Tapi anak-anak malah tertawa senang. Mereka bertepuk tangan dan meminta Yeshua melakukannya lagi karena mereka sering melihatnya berbuat demikian. Mereka menyoraki Yeshua agar menghidupkan lebih banyak lagi burung.
Mengingat itu, Yosef menggeleng karena tidak percaya. Ia belum pernah menyaksikan sendiri bagaimana anak yang bukan hasil hubungannya dengan Maria itu membuat mukjizat seperti itu. Ia hanya mendengar dari Maria dan orang-orang. Kecuali ada suatu peristiwa kecil ketika mereka masih tinggal di Alexandria.
Yosef teringat bagaimana dulu ia meminta seorang imam mendoakannya. Begitu sang imam itu keluar dari ruangan Mahakudus, ada seekor burung merpati putih keluar dari ruangan kudus itu, lantas terbang rendah mengitarinya beberapa kali. Ia yakin bahwa burung itu adalah pertanda dari Yahweh atas hidupnya.
Yosef memandang ke arah langit. Ini jalan-Mu? Ia membatin.
Karena Yosef terlihat acuh tak acuh dan tidak menampakkan seraut wajah khawatir, Maria bangkit dan berlalu, diiringi tatapan beku Yosef. Laki-laki itu memandang istrinya dengan pandangan kosong.
Agak lama sesudahnya, Yosef seperti tersadarkan dari lamunannya. Ia bangkit dan segera menyusul Maria. Ia yakin Yeshua ada bersama sanak kerabat atau orang-orang seperjalanan mereka yang berada di barisan depan. Yosef dan Maria segera mencari dan bertanya di antara kaum keluarga dan orang-orang yang mereka kenal. Namun semua menggeleng dan mengatakan mereka tidak melihat Yeshua sejak meninggalkan Jerusalem pagi tadi.
Karena perjalanan itu sudah seharian, dan tidak berapa lama lagi hari beranjak malam, Yosef dan Maria tidak bisa langsung kembali ke Jerusalem.
Yosef menjadi tidak tenang. Maria gundah dan sesekali berusaha menahan tangisnya. Orang-orang datang ke tenda dan berusaha menghibur Yosef dan Maria, serta mengatakan bahwa mereka harus menerima kenyataan ini. Bahwa suami-istri itu tidak perlu lagi ke Jerusalem karena Yeshua pasti sudah ditangkap dan mungkin sekali telah dihabisi serdadu.
“Paskah dua tahun lalu, anakku juga dihabisi,” kata salah seorang yang lantas diikuti dengan wajah murung.
Yosef dan Maria tidak menghiraukan perkataan itu. Mereka sangat yakin Yeshua masih baik-baik saja. Mereka akan menemukan anak itu.
Setelah orang-orang kembali ke tenda masing-masing, semalaman itu Yosef tidak bisa memejamkan matanya. Perasaan marah dan cemas menguasainya.
Sesekali ia keluar, duduk berlama-lama di luar tenda. Ia mendengus jengkel dan ingin menghajar Yeshua saat menemukan anak itu nanti.
Pagi-pagi sekali, sebelum fajar menyingsing, Yosef dan Maria segera bergegas meninggalkan rombongan dan kembali ke Jerusalem. Mereka tiba di sana ketika hari menjelang malam karena ada perkelahian antara rakyat penentang pemerintahan melawan serdadu. Penyerangan itu membuat Yosef mencari jalan lain. Pasangan suami-istri itu tampak sangat kelelahan. Walau demikian, keduanya langsung menyambangi rumah kerabat, bertanya di antara orang-orang yang ada di sana. Namun semuanya menggeleng. Mereka tidak pernah melihat seorang anak dengan ciri-ciri seperti yang digambarkan Yosef.
Setelah semua kerabat dan kenalan disambangi, Yosef dan Maria menjadi sangat putus asa. Malam ketika mereka menginap di rumah salah seorang kenalan, Maria menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Yosef.
“Yahweh mengutuk hidupku. Oh, putraku. Mengapa kau berbuat demikian terhadap kami?” suara Maria terdengar parau. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis.
Sementara itu, Yosef tidak bisa berkata apa-apa. Ia seperti kehilangan kata-kata. Ia tidak bisa berpikir lebih jauh kecuali hanya mempersalahkan dirinya. Ia merasa kutukan segera turun atasnya.
Pada hari berikutnya, Maria mulai meratap di jalan dan memukul-mukul dirinya. Tindakan itu membuat orang-orang menatapnya dengan pandangan kasihan, berbisik-bisik, dan menganggap perempuan itu kerasukan setan.
Salah seorang menghampiri Yosef. “Ada seorang anak di Bait. Sebaiknya kalian ke sana,” katanya, lantas segera berlalu dari sana.
Setelah orang itu berlalu, Yosef langsung menarik Maria dan berlalu dari tempat itu untuk pergi ke Bait.
Begitu memasuki pelataran, Yosef dan Maria mendengar suara Yeshua. Mereka mendapati anak itu tengah duduk di antara alim ulama dan sedang menyimak.
“Dia anak kalian?” tanya salah seorang alim ulama begitu melihat Yosef dan Maria.
“Putraku,” sambar Maria sambil menyeka air matanya.
“Anak kalian sangat cerdas. Dalam dirinya penuh hikmat.”
Yosef dan Maria tidak menyahut lagi karena pada saat bersamaan Yeshua sudah melempar pandang ke arah mereka.
Yeshua segera berdiri dan berjalan dengan langkah enggan ke arah mereka.
Geraham Yosef bergemeretak. Namun ia berusaha menekan perasaannya dengan segenap kekuatannya. Pandangan Yeshua tajam dan menghunjam lurus ke dalam mata Yosef. Mereka berpandangan agak lama.
“Kami memikirkanmu. Aku dan Yosef sangat cemas,” kata Maria.
Yeshua hanya tersenyum mencibir. Yosef merasa seperti tengah diolok-olok anak itu.
Yeshua berbicara dengan lagak seperti orang dewasa yang sudah menemukan sesuatu yang sangat berarti dalam hidupnya. “Mengapa kalian mencari aku? Bukankah kalian sudah tahu bahwa aku berada dalam rumah Bapaku?”
Perkataan itu seperti langsung menghunjam ke dalam hati Yosef.
Tiba-tiba laki-laki itu merasa begitu bersalah di hadapan Yeshua.
“Kita pulang sekarang,” kata Maria.
Yeshua mengangguk, lantas membalikkan badan, melihat sebentar ke arah alim ulama yang sedang menatapnya dengan pandangan takjub.
Dalam perjalanan pulang, perkataan Yeshua masih terngiang-ngiang dalam kepala Yosef. Ia terus memikirkan perkataan itu.
‘Mengapa kalian mencari aku? Bukankah kalian sudah tahu bahwa aku berada dalam rumah Bapakku?’
Yosef bertanya dalam hati, ‘Dari mana kalimat itu Yeshua dapat?’ Laki-laki itu tidak menemukan jawaban yang memuaskan dirinya. ***
.
.
Jemmy Piran lahir di Sabah, Malaysia, 18 Februari. Alumnus PBSI Universitas Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Cerpen-cerpennya tersiar di koran lokal, nasional, dan majalah.
.
Setelah Paskah. Setelah Paskah. Setelah Paskah. Setelah Paskah. Setelah Paskah. Setelah Paskah.
Leave a Reply