Ahmadul Faqih Mahfudz, Cerpen, Kompas

Komando Malam Itu

Komando Malam Itu - Cerpen Ahmadul Faqih Mahfudz

Komando Malam Itu ilustrasi Mahdi Abdullah/Kompas

2.3
(4)

Cerpen Ahmadul Faqih Mahfudz (Kompas, 24 November 2024)

“KEADILAN mungkin tidak selalu kau temukan dalam sepak bola. Namun, dalam sepak bola bisa kau lihat bagaimana keadilan dijunjung ke dalam lapangan atau justru ditendang ke luar lapangan.”

Ucapan Dayat membiusku. Meski jijik dan ragu, akhirnya kuturunkan pula kepalaku, membungkuk, lalu beringsut dalam keadaan jongkok sambil menutup hidungku.

“Ayo,” seraya mendesakkan tangannya ke punggungku, Dayat berseru, “jangan sampai Kadir dan komplotannya mengendus kita!”

Kami pun masuk ke gerowong itu. Selokan yang melintang di bawah pagar batako pesantren. Jalan air itu satu-satunya jalan tembus yang bisa kami lewati keluar-masuk pesantren karena malam ini seluruh gerbang dikunci.

Piala Dunia digelar sejak sebulan lalu. Selama itu, kami menahan diri tidak melanggar meski kami tak benar-benar tahan. Santri dilarang keluar pesantren, dilarang menonton televisi, dilarang menonton bola.

Sebenarnya, Pak Burhan mengusulkan agar pengurus membentang layar di halaman pesantren supaya para santri bisa nonton bareng. Namun, Ustad Mastur tidak setuju. Alasannya, nobar Piala Dunia di pesantren akan mengganggu konsentrasi belajar santri.

“Ustad,” tanggap Pak Burhan, “justru kalau pesantren tidak menggelar nobar, santri-santri akan terganggu belajarnya. Fokus mereka pecah karena pikirannya mendua antara ngaji kitab dan nonton bola. Dan kalau mereka keluar, nonton bola ke rumah warga atau kabur ke kota, bukankah kegiatan pesantren justru akan lumpuh? Nama baik pesantren juga ternoda, ’kan, Ustad?”

Rapat memutuskan santri tetap tidak boleh nonton bola dan di pesantren tak ada nobar. Pak Burhan akhirnya ikut kesepakatan forum. Kata Farid, kawanku yang menghidangkan minuman dan kudapan ke peserta rapat, sebelum keputusan dibacakan, Ustad Mastur sempat membisiki Pak Burhan, dan pengajar kitab Minhajul ’Abidin di pesantren kami itu pun mengangguk-angguk.

Ingin benar aku menyimak pemain dan tim kesayanganku menggoreng-goreng bola, memperlihatkan bagaimana kaki mereka berpuisi, lalu menghidangkan gol ke gawang lawannya. Namun, aku khawatir ketahuan nonton bola lalu kena takzir. Lelahnya tak seberapa, tapi malunya, aduhai!

Nama baikku di pondok putri akan babak belur bila santri-santri berkerudung itu melihatku berdiri sambil baca istigfar dengan kepala sebundar-semengkilat bola setelah tertangkap lalu digundul. Nama baik itu, kubangun bertahun-tahun, sebagai aktivis berbagai organisasi dalam pesantren dan kolumnis tetap di majalah dinding pesantren.

Hayah, gadis yang kutaksir karena senyum dan vinyet-vinyet indahnya di majalah dinding pesantren kami, bisa-bisa enggan menerimaku bila aku ditakzir. Poinku di klasemen hati dara asal pulau seberang itu akan turun seketika dan bisa diungguli santri lain. Oh, tidak, tidak bisa kubayangkan bila itu terjadi.

Maka, satu-satunya cara melampiaskan rindu-dendam kami pada pesta sepak bola dunia saat itu hanya satu: baca koran!

Baca juga  Ulang Tahun Sophia

Ya, sejak Piala Dunia 2002 berlangsung, aku dan teman-teman santri lain selalu mengerubungi Pak Kasman yang saban pukul tujuh pagi datang ke pesantren kami dengan motor Legenda legendarisnya. Kami berebut menerima koran Kompas dan Jawa Pos langganan dari loper yang juga anggota banser itu. Kami rebutan memasangnya di pajangan koran di halaman masjid. Ah, lebih tepatnya, kami berebut jadi pembaca pertama! Sambil berdiri, kami berdesak-desakan membaca koran yang masih bau tinta dan hangat mesin percetakan itu demi laporan Piala Dunia dan foto-foto eksklusif di lembar-lembar “Olahraga”-nya.

Tak cukup membaca koran, kepada Pak Kasman, kami juga memesan tabloid Soccer dan Bola. Dua tabloid ini sering memberi bonus poster para pemain atau tim idola pembaca. Pintu-pintu lemari santri yang semula bergambar foto-foto ulama dan kaligrafi potongan hadits atau ayat Qur’an tiba-tiba berganti foto pemain bola atau tim kesayangan. Minimal, foto-foto para pemuka agama dan pemuka bola itu dipasang berdampingan. Ah, sayang sekali, tabloid Soccer sudah meniup peluit panjang per 9 Oktober 2014 dan tabloid Bola juga ikut gantung sepatu sejak edisi 26 Oktober 2018.

Obrolan-obrolan tentang bola pun memenuhi seluruh ruang pesantren. Saat pengajian kitab kuning, santri yang satu saling berbisik dengan santri lain menyindir atau menjagokan tim idola masing-masing. Tak jarang, dalam penjabarannya saat mengaji kitab, ustad-ustad kami juga melipir-melipir ke sepak bola.

“Hidup ini permainan, seperti sepak bola,” kata Ustad Aftah saat mengajar Tafsir Jalalain. “Tapi, meski permainan, kita harus sportif agar tidak dapat kartu merah dari Gusti Allah.” Kami yang ngaji malam itu pun tertawa.

Di pengajian kitab Sullamut Tawfiq, Ustad Kamal menjelaskan, “Dengan dalih apa pun tidak boleh melakukan perbuatan yang dilarang agama walaupun niatnya demi kebaikan. Misalnya, harus ‘begitu-begitu’ dulu agar fit saat akan bermain bola memenangkan negaranya seperti yang dilakukan Ronaldo,” tambahnya lagi, diiringi tatapan beliau pada Hasan, yang ngefans banget pada tim samba. Teman-teman yang ngaji sore itu pun gergeran, “Huuuuuuuuuuu……”

Menjelang mandi di sungai hingga saat masak di dapur atau makan di koperasi pesantren, obrolan tentang bola berikut pemain dan gaya khasnya dibahas tak sudah-sudah. Di mana-mana kami ber-Halaqah Bolaiyyah; melingkar membahas bola. Selain obrolan-obrolan perihal pemain dan tim idola, yang tak kalah seru juga obrolan mengenai cara keluar nonton bola tanpa ketahuan anggota keamanan dan ketertiban pesantren. Khusus ini, obrolan kami rapi dan senyap, bagai percakapan para agen dalam film-film spionase.

Dasuki memberi trik kalau pertandingannya siang hari. Rusdi berbagi tips apa yang mesti kami lakukan bila pertandingannya pagi atau malam hari. Dartok berbagi ilmu, apa yang perlu kita berikan pada anggota kamtib saat kami tertangkap nonton bola. Malam itu, di pinggir sungai di bawah pohonan kelapa yang gelap di bagian timur kompleks pesantren, kami bersiasat.

Baca juga  Kisah Ganjil Ajo Bariang

“Jangan salah,” Dartok berkata lirih sambil mengawasi sekeliling, “seperti bintang-bintang yang mingkem setelah disuap para mafia tambang, anggota kamtib di pesantren ini pun bisa bisu kalau kalian tahu apa yang mereka mau.” Kami saling pandang.

Dartok lalu melirikku, “Qih, kau tahu, ’kan, Subroto cinta banget ke Dini, sepupumu. Kau bilang saja kepadanya kalau kau akan bantu dia mendapatkan simpati Dini dan orangtuanya asal dia loloskan kau nonton bola. Dia pasti tunduk bagai macan ompong.”

“Dan kau, Rijal,” toleh Dartok ke kawan di depanku, sambil tersenyum sinis dia melanjutkan, “kau tahu ’kan Zainal rokoknya apa.” Kami terbahak lalu sama-sama menempelkan telunjuk di bibir.

Dartok menyisir satu per satu kelemahan anggota kamtib di pesantren kami. Dia pegang kartu as aparat itu karena, mereka, rata-rata teman seangkatannya. Dartok berambisi jadi anggota kamtib, tetapi tak terpilih. Akibatnya, Dartok melampiaskan kekesalannya dengan membuka aib-aib pelanggaran mereka kepada para santri. Tapi, Dartok sebenarnya disukai teman-teman karena dia sering berbagi rezeki bila ada kawan-kawan santri telat kiriman uang atau beras dari orangtuanya.

Kami menyimak arahan Dartok sungguh-sungguh karena kami ingin seperti penggila bola di luar sana; memakai jersei dan atribut sambil meneriakkan yel-yel dukungan untuk pemain dan tim pujaan. Sebagaimana mereka, kami pun ingin bereuforia!

Setelah beringsut, menahan pesing, juga menepis jijik karena becek, aku dan Dayat akhirnya menyembul di hilir selokan itu. Syukurlah, kami sudah berada di luar pagar pesantren. Namun, kami tetap awas kalau-kalau ada gerak-gerik mencurigakan.

Dari sana kami mengendap-endap, sesekali berlindung dari cahaya lampu merkuri di balik semak-semak belukar. Kami pun terus mengendap hingga sampai di area persawahan di sisi timur pesantren. Dari sana kami terus mengendap ke utara lalu sampai di gang pinggir sungai. Dari gang ini kami memasuki gang demi gang di perkampungan menuju rumah Matori. Di rumah preman kampung inilah kami akan nonton final Piala Dunia 2002.

“Hiyaaa…. Hiyaaaa… Gol… Yah….”

“Heeeeet…. heeeeet…. Yaaa…. Tembaaaak…. Tembaaaak…. Yaaaah….”

Tak lama kemudian, “Goooooooooooool…. Goooooooool….” Tendangan si tengil Ronaldo menggetarkan jaring-jaring gawang Oliver Kahn. Jamuan pertama tim samba untuk tim panser.

Dari jalanan depan rumah Matori terdengar riuh-rendah dukungan, umpatan, juga yel-yel yang diteriakkan para penonton. Perlahan-lahan kami masuk, mencari celah, menyempil di tengah kerumunan.

Dayat mencolek tanganku, melirik ke satu arah, memberi kode. Tak kusangka, di antara kerumunan penonton ada Ustad Makmun, Ustad Khotib, juga Ustad Nidin duduk anteng menyimak pertandingan final malam ini. Pantas saja, ruangan pengajian kitab Ushfuriyyah, Tanwirul Qulub, juga Fathul Qarib tadi bagai stadion tanpa pemain tanpa suporter. Hanya ada kitab di atas bangku, tapi tak ada pengajar dan penyimaknya. Ternyata, mereka “ngaji” di sini.

Baca juga  Jangan Bangunkan Bidadari di Malam Hari

Setelah dapat posisi yang pas ke arah tivi, seketika pandanganku mengarah ke samping. Badanku tiba-tiba lemas. Keringat dingin merembes dari tengkuk dan mengucur dari pelipisku. Jantungku berdetak lebih kencang bagai naik bus Sumber Kencono. Tahukah kau, Kawan, di sana ternyata Kadir berdiri. Aku menatapnya; dia menatapku. Kami sama-sama membuang pandang, tapi sama-sama melirik. Dan setiap kali melirik itulah lirikan kami bertabrakan.

Kadir anggota kamtib pesantren kami yang belum terlacak aibnya. “Dia amanah dan disiplin, setidaknya sampai saat ini. Khusus yang satu itu aku sungkan,” ucap Dartok di pinggir sungai kemarin. Tapi, meski takut, aku mencoba berani. Kadir salah. Andai memata-matai santri, kalau demi menjaga keamanan dan ketertiban pesantren, mestinya dia berjaga di luar rumah Matori. Dia justru di dalam, memata-matai permainan kesebelasan Brasil atau menjaga skuad Jerman, seperti saat ini.

Kenangan-kenangan itu tiba-tiba menyeruak kembali dalam pikiranku, melintas dalam batinku, melemparku ke masa lalu. Namun, setiap mendengar riuh dan melihat euforia penonton bola kapan pun dan di mana pun, saat itu pula dadaku seolah dihunjam batu dan kepalaku seakan dihantam palu.

Aku tak menduga bahwa Dayat, Kadir, juga Dartok terbujur kaku dengan mata merah dan setengah badan menghitam. Mereka tiga di antara ratusan jenazah yang terjepit saat berebut keluar di pintu-pintu stadion itu untuk menghindari tembakan gas air mata. Kepatuhanku pada komando malam itu membuatku tak pernah bisa memaafkan diriku. ***

.

.

Ahmadul Faqih Mahfudz lahir dan mukim di Dusun Sumberwangi, Desa Pemuteran, Kabupaten Buleleng, Bali. Selain menulis, alumnus Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, ini juga mengelola Taman Baca Anak-anak Langit di kampungnya.

Mahdi Abdullah, lahir di Banda Aceh, 26 Juni 1960. Magister Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 2012. Sejak tahun 1982 sampai sekarang aktif berpameran, baik tunggal maupun bersama seniman lain. Tahun ini dia pameran tunggal bertajuk Memory and Body Mythology di Vin Gallery, Ho Chi Minh City, Vietnam.

.
.
Komando Malam Itu. Komando Malam Itu. Komando Malam Itu. Komando Malam Itu. 

Loading

Average rating 2.3 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!