Cerpen, Kompas, Mutiara Aryani

Mrs. Richard

Mrs. Richard - Cerpen Mutiara Aryani

Mrs. Richard ilustrasi Punjung Wratsongko/Kompas

4.3
(3)

Cerpen Mutiara Aryani (Kompas, 01 Desember 2024)

“KAMU jangan lama pulangnya. Aku kesepian,” kataku padanya. Sembilan hari merantau ke New York dan tinggal di Brooklyn ini, aku belum punya teman untuk mengobrol. Tetangga pun tak ada yang bisa kuajak berkenalan.

“Sabar, ya. Lama-lama kamu juga akan terbiasa dengan kehidupan di sini. Nanti kalau Richard sudah kembali dari liburannya, kita bisa bertamu ke rumahnya. Dia orang yang ramah. Dan kamu bisa berteman dengan Mrs. Richard,” hibur suamiku. Aku mengangguk. Lantas dia mencium keningku dan pamit ke kantor.

Musim semi cocok untuk berkebun. Hari ini aku berencana menanam bugenvil, petunia, marigold, dan beberapa hortensia yang kemarin kami beli. Juga bibit sayuran tomat, mentimun, dan kacang panjang. Semoga musim panas nanti bunga-bunga akan mekar dan tanaman sayur bisa kami petik.

Pertama-tama aku merapikan tiga rumpun mawar yang sudah ada—yang mulai bertunas lagi. Setelah itu aku sibuk menggali tanah dengan cangkul kecil dan sekop tanaman. Tak lupa pula menambahkan pupuk. Saat menanam rumpun-rumpun hortensia di lubang galian, aku melihat sedan hitam memasuki halaman rumah di sebelah kiri—tetangga kami yang kata suamiku namanya Richard. Dia turun—sendirian—dan membawa kopernya masuk rumah tanpa menoleh.

Hari sudah nyaris pukul 6 malam ketika Akbar pulang. Kuletakkan novelku saat mendengar bel berbunyi.

“Gimana harimu? Apa lebih membosankan dari kemarin?” tanya suamiku.

“Hari ini aku sangat senang. Aku sibuk berkebun, memasak, video call dengan ibu, dan membaca novel. Lumayan untuk membunuh waktu,” jawabku tersenyum memeluknya.

Akbar merapikan rambut di pelipisku dan bilang, “Semoga kamu enggak menyesal hidup bersamaku di sini. Insya Allah kita akan dianugerahi bayi secepatnya dan kamu punya teman bermain saat aku kerja.”

“Aku suka tinggal di sini,” kataku memeluknya. Aku sangat menikmati peranku sebagai istri. “Aku sudah siapkan baju gantimu. Mandi dulu,” lanjutku manja. Selesai Maghrib, kami makan malam dengan sup udang yang aku buat. Akbar sangat menikmatinya, “Well done, Honey. It tastes very good.”

“Tadi aku melihat tetangga sebelah kiri kita datang dengan sedan hitamnya,” kataku menjelang tidur.

“Oh, ya? Berarti Richard sudah pulang liburan. Besok kita akan bertamu ke rumahnya,” kata Akbar antusias.

“Seperti apa istrinya? Orang Amerika juga?” tanyaku.

“Aku belum pernah bertemu dengan Mrs. Richard. Kata Richard, ini istri keduanya. Pernikahan dengan istri pertamanya dulu kala ia masih di awal tiga puluhan enggak berjalan baik. Mereka cerai setelah dua tahun. Dia bilang istrinya sekarang masih sangat muda. Dari Asia. Entah Jepang entah Korea, aku lupa. Dan katanya pemalu. Sama kayak kamu. Sepertinya kalian akan cocok jika bersahabat,” komentar Akbar.

Baca juga  Cah Bagus

Aku pun membayangkan bersahabat dengan Mrs. Richard. Kami mengaduk-aduk New York berdua. Mencoba street food ala New Yorker, belanja ke Grand Army Plaza Greenmarket, dan saling bertukar makanan dari dapur masing-masing. Tentu saja yang memenuhi kriteria halal dan baik bagi Muslim seperti kami.

Lalu, kami berdua akan sama-sama punya anak yang lucu-lucu. Kami akan mengajak anak-anak kami bermain di Brooklyn Botanic Garden atau Central Park. Aku pun terlelap dengan senyum di wajah.

***

Setelah sarapan, pagi Sabtu ini, Akbar mengajakku mengunjungi Richard. Kami membawakannya nasi goreng telur mata sapi yang aku buat. Kata suamiku, Richard sangat suka kalau dibawakan nasi goreng. Dan biasanya, dia makan nasi goreng sekitar pukul 10 pagi. Karena Richard sarapan roti dan susu di kala subuh.

Oh, look who’s here? Pasangan muda yang berbahagia,” Richard memeluk Akbar dengan akrab.

This is my wife, Annisa. Annisa, this is Richard,” suamiku memperkenalkan kami. Aku tidak menyalaminya karena kami bukan mahram dan hanya menyatukan kedua telapak tanganku di depan dada sambil tersenyum. Aku menyebut namaku dan bilang kalau aku sangat senang berkenalan dengannya.

Nice to meet you, too. Bulan lalu Akbar mengirimkan saya pesan kalau dia akan menikah di Indonesia. Ternyata itu kamu,” kata Richard senang.

Kami bercerita macam-macam. Mulai dari Richard yang memutuskan pensiun dini saat usia 40 tahun dari kariernya sebagai bankir. Lantas ia membangun bisnis properti dan perkebunan. Juga kegemarannya keliling dunia, terlebih kawasan Asia, dan cukup sering ke Indonesia.

“Saat tiba di Indonesia, yang pertama kali saya cari adalah nasi padang. Rendang, ayam pop, gulai otak, dan sambal lado hijau. Itu tak tergantikan,” jelasnya terbahak. Aku tidak heran dia sangat familier dengan beberapa makanan enak-enak dan enak banget ala Indonesia. Bahkan, ia juga mencoba membuat sate lilit, atau es pisang ijo, atau pecel, di rumahnya.

Tak dimungkiri juga, Richard sering makan di beberapa restoran Indonesia yang tersebar di Brooklyn, Manhattan, hingga Queens. Dan sekarang, ia berujar, “Saya tidak galau lagi soal makanan Indonesia dan nasi padang karena kita bertetangga.”

Dia mengedipkan sebelah mata seolah menemukan jalan keluar dari taman labirin yang memusingkan.

“Tentu, jangan khawatir,” kataku sungguh-sungguh. Kami bertiga tertawa. Di usianya yang kini lebih dari setengah abad, Richard terlihat bahagia menjalani hidup.

Hampir satu jam di rumah Richard, kami pun pamit. Richard mengoleh-olehi kami tiga kotak kurma Ajwa dan dua botol minyak zaitun yang dibelinya di Dubai. Itu oleh-oleh yang pas untuk Akbar, katanya. Aku berjanji akan mengiriminya nasi padang. Atau nasi goreng lagi atau makanan apa pun yang aku masak. Richard sangat senang mendengarnya.

Baca juga  Segulung Kertas Kecil di Ubi Rebus

Aku sedikit kecewa Richard tidak mengenalkan istrinya padaku. Tak terlihat batang hidung istrinya sedikit pun. Foto-foto yang terpampang di rumahnya hanya foto-foto Richard. Oh, ada satu potret Richard bersama seorang perempuan pirang yang cantiknya seperti Celine Dion. Tapi, itu adalah ibunya. Biarlah. Mungkin Richard ada rasa sungkan dan butuh waktu untuk mengenalkan istrinya yang perbedaan usianya cukup jauh itu, pikirku.

***

Hari-hariku di perantauan sangat berwarna. Tak terasa, nyaris dua bulan berlalu. Aku mulai terbiasa dengan ritme kehidupanku di sini. Kebahagiaanku berlipat ganda karena positif hamil 4 minggu. Menunggu Akbar pulang kantor tak seberat dulu. Aku biasa berbicara dengan janinku. Kami bercerita apa saja. Aku juga mulai mencicil membeli buku-buku toddler dan picture book untuk anak kami kelak. Semua itu membuatku bersemangat. Dan hobi memasakku tetap berjalan tanpa halangan berarti.

Aku melihat ke rumah sebelah kanan, Nyonya Kim sedang dikunjungi cucu-cucunya. Aku melihat ke rumah di sebelah kiri. Dan, hei! Hari ini, aku melihat Richard sedang mendorong kursi roda di halaman rumahnya.

“Oh, rupanya Mrs. Richard selama ini sakit,” gumamku lirih. Mungkin karena itulah Richard belum mau mengenalkannya kepada kami. Aku malah berpikir yang tidak-tidak.

Terlihat seorang perempuan muda duduk di atas kursi roda yang didorong Richard. Richard terlihat bicara penuh cinta dan kesabaran pada istrinya. Mungkin sekarang Mrs. Richard mulai sembuh dan bisa menghirup udara segar di luar.

Aku sengaja keluar rumah. Menghidupkan keran di halaman, menyiram hortensia dan teman-temannya yang sedang mekar. Dan lambaian itu sangat kuharapkan.

“Annisa!” serunya dari kursi roda istrinya. Richard memberi kode agar aku bermain ke halamannya. Aku senang sekali. Aku matikan keran dan bergegas ke sana. Sekejap kemudian, aku telah sampai di halaman Richard.

Morning, Richard,” sapaku.

Morning, Annisa. Mari saya kenalkan kalian berdua. Honey, ini Annisa, istri Akbar tetangga kita. Dan Annisa, ini Akiko, istri saya,” kata Richard memperkenalkan kami.

Aku begitu takjub dengan Mrs. Richard. Dia masih sangat muda, lebih muda dariku. Mungkin dua puluh atau dua puluh satu tahun. Dilihat dari wajahnya dia orang Jepang. Ya, Akiko adalah nama Jepang yang artinya cahaya terang. Persis nama salah seorang temanku yang keturunan Jepang saat masih sekolah dulu.

Baca juga  Antara Desa dan Kota

Aroma tubuh Akiko wangi dan segar. Dia nyaris sempurna. Kulitnya bersih sehalus sutra. Wajahnya merona. Matanya begitu indah dengan bulu mata lentik yang membuatku iri. Dan, bibir ranumnya bak merah delima.

Mrs. Richard mengenakan gaun bunga-bunga biru yang lembut. Serasi sekali dengan kulitnya yang terang tanpa cacat. Sebagian buah dadanya yang padat menyembul menggoda. Untung Akbar tidak di sini. Paha mulusnya terlihat setengah. Sepatu hak tinggi yang dipakainya juga keluaran terbaru dari jenama ternama yang biasa dipakai selebritas dan sosialita. Berbeda sekali dengan penampilanku yang berhijab.

“Halo, senang berkenalan dengan Anda, Mrs. Richard,” sapaku tersenyum dan mengulurkan tangan menyalaminya. Richard membantu mengulurkan tangan istrinya padaku. Di jari manisnya melingkar cincin berlian. Wajah Akiko senantiasa dihiasi senyum yang menawan. Dia benar-benar pemalu. Perkenalan kami begitu apa adanya.

Kami bercerita sebentar. Aku dan Richard. Dan dengan jujur dia bilang, “Tentu saja dua porsi nasi padang atau dua porsi nasi goreng yang sering kamu berikan, semuanya untuk saya. Akiko lagi diet nasi,” kata Richard tersenyum sambil membelai rambut istrinya.

No problem,” kataku ringan, seolah terbiasa dengan gaya hidup sehat Mrs. Richard.

Kemudian aku pamit. Saat aku menutup pintu rumah, Richard masih bercerita sambil sesekali tersenyum dan membelai pipi mulus Mrs. Richard. Juga kadang-kadang mengipasinya, takut Akiko kegerahan dengan udara kota Brooklyn. Benar-benar cinta tanpa syarat.

Aku tiba-tiba pening. Merasa mual, aku bergegas ke wastafel.

I’m okay,” kataku sambil mengelus perutku. Kuambil segelas air minum dan meneguknya perlahan. Lantas aku mencari ponselku yang ternyata tertinggal di kamar di lantai atas. Tak sabar aku mencari nomor Akbar. Semoga aku tidak mengganggu pekerjaannya.

“Waalaikumsalam, Sayang,” jawabnya.

“Aku baru saja berkenalan dengan Mrs. Richard!!!” seruku dengan nada tinggi, campuran antara girang, kaget, atau entah apa lagi.

“Lalu?”

“Sayang, apa rasanya bercinta dengan boneka?”

Terdengar suara tawa suamiku di seberang sana. “Tanyalah pada Richard,” tawanya masih terdengar. ***

.

.

Mutiara Aryani, tinggal di Batusangkar, Sumatera Barat. Cerpennya dimuat di Femina, Kartini, dan beberapa karya di media untuk anak.

Punjung Wratsongko, menyelesaikan kuliah desain grafis di FSRD ITB tahun 1998, dan menekuni bidang pervideoan dan animasi setelah itu. Selain menggeluti bidang new-media sebagai pekerjaan sehari-hari, juga aktif dalam berkarya, berpartisipasi dalam berbagai ajang kesenian, serta mengadakan beberapa pameran independen.

.
.

 

Loading

Average rating 4.3 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!