Bre Redana, Cerpen, Kompas

Henky dan Ing Ratri

Henky dan Ing Ratri - Cerpen Bre Redana

Henky dan Ing Ratri ilustrasi F Sigit Santoso/Kompas

5
(1)

Cerpen Bre Redana (Kompas, 22 Desember 2024)

KEJAHATAN apa lagi harus kulakukan agar aku masuk penjara, Henky memeras otak. Mencoba memikirkan apa-apa yang pernah dijalani dan dialami, ia sampai pada kesimpulan, sejatinya tak ada yang lebih enak dibanding tinggal di penjara. Pertama, tidak ada cara mendapatkan uang semudah di dalam penjara. Kedua, banyak teman. Ketiga, Henky merasa mendapat pengakuan di lingkungannya.

Betulkah yang dikatakan pengacara yang langganan mendampingi para pelaku tindak kejahatan, bahwa sebenarnya tidak ada orang penjara merasa bersalah—apa pun tindak kejahatan yang membikin mereka terjeblos ke situ? Satu dua hari di balik terali besi mungkin ya, merasa bersalah, tapi selanjutnya setelah itu rasa bersalah hilang. Dikarenakan hawa penjara kesalahan bermutasi dari diri sendiri ke pihak lain, keadaan, situasi ketika tindak kejahatan terjadi, pokoknya apa saja di bawah langit kecuali diri sendiri.

Sebelum terlalu jauh, saya ceritakan sedikit latar belakang Henky. Di kota pensiunan tinggalan Belanda itu dulu tinggal Hendrik van der Vuurst yang menikahi perempuan setempat, Wasini. Hendrik dan Tante Hendrik—demikian kemudian Wasini disebut—punya anak tunggal panggilannya Henky.

Henky Londo, demikian teman-teman sekolahnya memanggil.

Lebih banyak mewarisi penampilan ayah, Henky berambut pirang, mata biru, hidung mancung, kulit terang, terbilang ganteng. Dari ibunya ia mewarisi tindak-tanduk dan ucapan: sehari-hari berbahasa Jawa, dan kalau berbahasa Indonesia pun logatnya sangat kental Jawa.

Iyo, nopo? Aku rapopo,” kira-kira demikian gaya bicaranya.

Orang yang pertama mengenal kadang dibuat terperangah, ada bule berbahasa Jawa sejawa-jawanya.

Oom Hendrik yang senang berburu meninggal diseruduk babi hutan tatkala Henky masih kanak-kanak. Sejak itu Henky dibesarkan mamanya yang dikenal sebagai pembuat kue. Onbekuk bikinannya digemari banyak orang. Kue itu bagian atasnya ditebari cercahan biji kenari yang mudah didapat di kota kami. Jalan-jalan kota pada masa itu diteduhi pohon kenari, asem, dan bungur dengan bunga ungu indah.

Dari kecil Henky tukang berkelahi. Nakal dan bikin repot. Langganan tidak naik kelas. Kelebihannya tatkala duduk di sekolah rakyat (sekolah rakyat atau SR kemudian menjadi SD atau sekolah dasar) hanyalah pada permainan kasti. Henky jago kasti. Pada pertandingan kasti antar sekolah Henky memimpin teman-temannya, termasuk memimpin perkelahian.

Baca juga  Wiro Seledri

Henky pertama kali berurusan dengan penjara tatkala SMA. Ia tidak naik kelas. Kecewa dengan sekolah dan sejumlah guru, Henky mengamuk memecahkan kaca-kaca sekolah. Selain dipecat dari sekolah, Henky harus berurusan dengan polisi dan mendekam di tahanan beberapa hari.

Sejak itu ia klontang-klantung, sehari-hari di pusat keramaian kota, di pasar, terutama di tempat perjudian di lantai dua pasar lama. Area yang lumayan sepi di situ sering digunakan untuk judi. Beberapa kali digerebek polisi tapi kambuh dan kambuh lagi.

Segala kabar cepat menyebar di kota kecil ini. Tidak ada yang tidak tahu apa yang terjadi.

Lagi-lagi Henky ditangkap polisi. Ia berkelahi di pasar dan menusuk lawan dengan belati. Belati tertancap di paha lawan (pada proses persidangan terungkap, yang memegang belati sebenarnya sang lawan. Ketika lawan menusuk, Henky menangkis dan membalikkan mata belati ke lawan sehingga tertancap di paha).

Atas kejadian tersebut Henky masuk penjara. Kurang lebih setahun ia mendekam di penjara.

Keluar dari penjara untuk beberapa saat kembali ia terlihat di keramaian kota terutama di kawasan pasar. Kawasan keramaian kota dari gedung bioskop Rex sampai terminal bus tidak bisa dilepaskan dari kehidupan seluruh penghuni kota. Di situ semua orang suka mondar-mandir, menghabiskan sore ketika toko-toko kembali buka sehabis siesta atau tidur siang—kenangannya abadi. Ketika malam toko-toko tutup, ganti kaki lima penjual makanan dengan penerangan remang-remang, romantik dengan kupu-kupu malam. Beberapa nama primadonanya masih melekat di benak sejumlah orang.

Kepada teman-temannya Henky mengatakan, hidup di penjara sangat enak.

Rumongsoku luwih enak dadi wong kunjoro. Akeh sing setor duwit. Rokok ra kendat akeh sing menehi jatah,” cerita Henky (Menurutku lebih enak jadi orang penjara. Banyak yang menyetor uang. Rokok tiada henti, banyak yang memberi jatah). Bisa dipastikan, karena menonjol sebagai jagoan di dalam penjara ia menjadi “bos”, memberi perlindungan pada teman-temannya dengan imbalan uang. “Sayang mung setahun. Sak lawase nong penjoro aku rapopo,” tambahnya (Sayang cuma setahun. Selamanya di penjara aku tidak apa-apa).

Tidak lama setelah itu Henky menghilang dari kota. Dengar-dengar dia merantau ke Ibu Kota. Kabar tak jelas menggambarkan bahwa di Ibu Kota, Henky jadi jagoan, menguasai sebuah kawasan.

Baca juga  Kekasih Bulan Sepenggal

“Aku pernah ketemu secara tak sengaja,” kata salah satu penduduk kota. Ia menyebut kawasan terkenal di bagian selatan ibu kota yang niscaya banyak orang yang pernah menginjak Ibu Kota tahu kawasan tersebut. “Dia membuang muka pura-pura tidak lihat aku. Mungkin gak enak. Kita tidak tahu apa yang dilakukannya. Aku tidak berusaha mengejar untuk menyapa,” tambah orang ini.

“Mungkin kamu salah lihat,” ucap yang diajak ngobrol.

“Jelas tidak, tampilan dia kan beda dari kebanyakan orang. Dia tampak makmur, diiringi beberapa orang.”

“Berarti benar yang kudengar. Dia telah jadi bos.”

“Kukira demikian.”

Setelah sekian lama, muncul lagi kabar bahwa Henky kembali masuk penjara.

“Kasus apa?”

“Tidak tahu, tentunya kejahatan,” kata yang membawa berita.

“Ah, bagi dia penjara tidak masalah. Dulu ia sering bilang, tidak ada yang lebih enak dibanding kehidupan di penjara. Uang mudah didapat di penjara, begitu kata dia dulu,” orang ini menyahut, ingat kata-kata yang pernah diucapkan Henky pada masa itu.

Sejatinya memang tak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi pada Henky, termasuk bahwa kurang dari setahun dari kasus yang didesas-desuskan tadi Henky bebas.

Adakah yang sungguh-sungguh tahu kedalaman hati manusia….

Henky bebas pada bulan Desember. Bulan yang sendu. Tempat-tempat keramaian dihiasi pernak-pernik perayaan Natal. Pusat-pusat perbelanjaan memutar lagu-lagu Natal.

Di antara semua kemeriahan menyambut datangnya Juru Selamat, yang paling disukai Henky sekeluar dari tahanan kali ini adalah mendengarkan suara piano dari gereja di wilayah di mana ia suka bergentayangan.

Bangunan gereja itu senantiasa mengingatkannya akan gereja di kota kecilnya dulu di mana ia rajin sekolah Minggu. Pada menjelang Natal ini setiap sore ia mendengar dentang piano yang menyihir telinganya.

Sangat indah, seperti gending surga.

Ia duduk di bangku beton di seberang jalan, melihat pintu gereja yang terbuka di mana terlihat gadis cilik memainkan piano. Bersama suara piano, Henky menggumamkan lirik dalam bahasa yang ia akrabi: bahasa Jawa. Itulah yang ia pelajari pada masa kanak-kanak di kota kecilnya.

Baca juga  Ludah yang Membawa Celaka

Ing Ratri dalu adi

Wus nendra donya sri

Gadis kecil itu memainkan piano setiap sore. Mungkin sedang berlatih untuk menyambut kebaktian Natal. Henky setia menunggu.

Dia ingat masa kecil, pernah untuk menyambut Natal, ikut latihan drama menjadi tokoh orang majus, mengikuti bintang mencari palungan di mana sang Juru Selamat lahir.

Matanya berkaca-kaca.

Angin Desember berembus.

Tepat pada saat itu mobil polisi berhenti. Dua petugas meloncat turun dan langsung meringkusnya.

Henky kaget tiada kira.

“Apa salah saya….” ia berteriak.

Kedua polisi tak peduli.

Saat itu penculikan anak tengah terjadi di mana-mana. Berita-beritanya meneror banyak orangtua. Ibu gadis kecil yang main piano di gereja sejak lama mengamati gerak-gerak Henky. Bersama suaminya, orang pajak yang sangat berpengaruh di wilayah tersebut, ia melapor polisi dengan dalih kecurigaan, orang ini hendak menculik anak mereka.

“Apa salah saya? Ini kekeliruan,” Henky kembali berteriak.

“Jelaskan nanti di kantor,” kata salah satu polisi yang menggamit lengannya.

Dia digelandang menuju mobil.

Dari gereja terus berdentang “Ing Ratri” atawa “Malam Kudus”. ***

.

.

Bre Redana, jurnalis dan penulis fiksi. Karyanya antara lain Majapahit Milenia, Dia Gayatri, dan Kidung Anjampiani.

F Sigit Santoso, seniman kelahiran Ngawi pada tahun 1964, menempuh pendidikan seni di Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta, lulus tahun 1993. Ia aktif berkarya dan berpartisipasi dalam berbagai pameran seni rupa, baik di tingkat nasional maupun internasional, sejak tahun 1990 hingga 2023. Karyanya antara lain pernah ditampilkan dalam Art-Jog di Yogyakarta, Manifesto #5 di Galeri Nasional Jakarta, serta Beijing International Art Biennale di Tiongkok. Selain itu, ia telah menggelar dua pameran tunggal di Edwin’s Gallery, Jakarta, dengan tajuk Painthinkting (2003) dan Paradoks Batas (2005). Ia menerima Karya Terbaik pada Biennale IV Yogyakarta, Karya Terbaik dalam The Phillip Morris Group Indonesian Art Awards.

.

.
Henky dan Ing Ratri. Henky dan Ing Ratri. Henky dan Ing Ratri. Henky dan Ing Ratri. Henky dan Ing Ratri. 

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!