Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 29 Desember 2024)
“PAMERAN foto Boeleleng Tempo Doeloe menunjukkan, di zaman kolonial pun kehidupan agama sudah dibarengi toleransi yang tinggi. Lihat barisan tokoh Hindu dan Muslim menyambut Gubernur Jenderal de Jonge. Tampak toko China, Arab, dan India. Lihat bagaimana suasana pengabenan keluarga raja tahun 1894. Dapat melihat keadaan pura, tempat mandi, dan pelabuhan Pabean. Semuanya untuk membangkitkan kebanggaan generasi muda pada masa lalu, agar memelihara warisan budaya, sambil menggalakkan pariwisata pahlawan devisa.”
Amat termenung. Ami mengintip koran yang dibaca bapaknya.
“Kenapa, Pak?”
Amat menghela napas.
“Dua ratus tahun lagi setelah hari ini, jadi pada tahun 2210, pasti juga akan ada pameran Tempo Doeloe yang lain, tentang hidup kita hari ini. Apa yang akan mereka tulis?”
Ami menjawab datar.
“Bali Tempo Doeloe, subak-subak di wilayah Tabanan sudah mulai keropos. Bukit-bukit sudah mulai dibeli oleh orang-orang kaya dan pejabat dari Jakarta. Pantai sudah mulai direbut oleh hotel-hotel bintang lima untuk menjamu turis. Orang-orang Bali tidak suka lagi menjadi petani, mereka lebih senang naik motor jadi guide, pegawai toko swalayan, karyawan hotel atau membuka art shop. Pedagang asongan dan kaki lima serta para pemulung membanjir dari seberang. Dan orang-orang Bali pada pindah ke luar pulau mencari kehidupan yang lebih tenang, di samping mereka juga tidak sudi kerja kasar di kampungnya sendiri. Kuli bangunan, tukang bakso, semuanya pendatang.”
Amat memejamkan mata sambil menggumam.
“Tapi orang-orang yang melihat pameran BALI TEMPO DOELOE di tahun 2210 itu masih akan mengucap, alangkah indahnya Bali tahun 2010. Persis seperti pengunjung BOELELENG TEMPO DOELOE itu.”
Ami ketawa.
“Tidak ada yang bisa membendung perubahan, Pak. Hidup ini mengalir ke depan. Kecuali kalau Bapak mau menjadi museum. Itu berarti kita harus memumikan diri. Hidup terasing seperti Tarzan di dalam rimba yang selamanya hanya pakai cawat. Bapak mau begitu?”
“Tidak. Dan Bapak tidak akan datang melihat pameran Boeleleng Tempo Doeloe itu!”
“Tak perlu datang, asal menyumbang.”
Amat menggeleng, lalu meninggalkan Ami. Dia keluar rumah dan berjalan-jalan.
Tak terasa kakinya membawa jauh. Ia menatap ke sekelilingnya. Memperhatikan setiap pojokan. Meneliti rumah, toko, tembok, plang-plang jalanan. Kemudian ia mengamati kendaraan lalu-lalang serta manusia-manusia yang dipapasnya.
“Dua ratus tahun lagi, kemana semuanya ini. Akan jadi bagaimana Bali ini?” bisik Amat dalam hati.
“Dua ratus tahun yang lalu, apakah ada seseorang di Buleleng yang berjalan seperti aku sekarang ini dan berpikir tentang ke mana perginya Boeleleng 200 tahun yang lalu itu? Bisakah dia membayangkan seperti apa Buleleng pada 2010 sekarang ini. Dan yang lebih penting bahagiakah dia atau sedih?”
Amat berhenti di alun-alun, lalu duduk.
“Aku yakin kalau dia tahu apa yang terjadi sekarang, dia akan berbahagia,” bisik Amat lebih lanjut, ”Kenapa bahagia? Sebab dia tidak akan mengalami kekacauan, seperti sekarang. Kota penuh sesak, jalanan habis dimakan oleh motor, bentrokan agama rawan di mana-mana, ada teror bom. Belum lagi kecemburuan melihat orang-orang begitu kayanya sampai memiliki bukit-bukit, pantai, bahkan juga sungai dan gunung. Tidak seorang pun yang akan sudi bangkrut. Lebih nyaman hidup tenang, daripada gontok-gontokan, sementara para koruptor seenaknya saja menggerogoti uang rakyat tanpa dapat hukuman!”
Tiba-tiba ada tangan meraba pundak Amat. Amat terkejut. Ia menduga itu copet. Langsung ia berontak dan pasang kuda-kuda. Tapi lebih cepat lagi popor senjata menimpa kepalanya.
Amat terjerembap. Ketika ia mau berdiri, menyusul tendangan kaki. Lalu badannya terasa diinjak-injak. Sebelum pingsan, ia mendengar ocehan dalam bahasa Belanda.
Amat tak mengerti bahasa Belanda. Tapi entah kenapa ia paham, maksud orang itu memaki-maki. Dia tidak boleh duduk-duduk di alun-alun pagi-pagi seperti itu, sementara orang-orang lain semuanya bekerja. Di samping itu alun-alun memang bukan tempat para inlander, karena itu milik tuan-tuan. Itu berarti Amat sudah terlempar ke masa penjajahan Belanda.
Alun-alun di masa itu lebih hijau, lebih indah. Pohon-pohon lebih asri. Jalanan sepi dan terawat. Tidak ada demonstrasi yang ada hanya muka-muka orang yang ketakutan.
Tangan itu kemudian menarik Amat agar duduk.
“Bapak ngapain tiduran di sini?” kata Ami yang memergoki bapaknya ketiduran di pinggir tanah lapang.
Amat tersenyum pahit.
“Aku terlempar ke tempo doeloe gara-gara pameran itu Ami.”
“Gara-gara pameran?! Ah, kalau mau tidur di rumah saja. Ami mau berangkat sekarang ke Buleleng. Mau ikut tidak?”
“Mau nonton pameran?”
“Bukan nonton, Ami kan panitia.”
Amat tersenyum sinis.
“Meskipun tempo doeloe itu tenang dan asri, tapi Bapak lebih senang dengan hidup sekarang ini. Memang banyak polusi dan korupsi tapi di mana-mana kan begitu. Bapak lebih senang hidup di negeri yang kau sesali ini tetapi merdeka dan bebas, daripada hidup tenang dan tenteram tetapi budak kolonial. Di bulan Agustus ini mestinya dibuka pameran betapa indahnya kemerdekaan, bukan betapa nyamannya hidup di zaman penjajahan!”
Ami tercengang. Tapi dia tidak sedang ingin berdebat. Dia hanya ingin menyampaikan undangan. Lalu dia mengulurkan surat itu.
“Ini tadi baru saja datang. Ibu minta dibuka, karena ada tulisan penting di depannya. Ada teman Bapak di Buleleng mengundang Bapak untuk datang melihat pameran.”
Tak menunggu jawaban lagi, Ami naik ke motornya dan pergi.
Amat membuka amplop itu dan membaca.
“Saudara Amat, pameran Tempo Doeloe ini akan mengajak kita melihat setelah lebih dari setengah abad merdeka, apa sebenarnya yang sudah kita capai. Apa yang sudah hilang, apa yang kita miliki sebagai gantinya dan apa yang dapat kita upayakan ke depan. Generasi muda, jangan hanya membuat perbandingan dengan apa yang ada di etalase-etalase negeri lain yang hanya akan membuat mereka menyesal pada keadaannya sekarang. Tapi menyaksikan sendiri betapa besarnya perubahan yang sudah terjadi. Ke masa depan, perubahan itu akan semakin cepat dan semakin besar lagi, sehingga mereka sadar tidak ada waktu lagi untuk bermalas-malas. Siapa yang malas akan digilas. Tapi kalau Saudara tidak bisa hadir, saya mengerti, sebab kita semuanya sekarang terikat tugas, kerja setiap detik, untuk menjawab tantangan zaman, karena kita hidup di millenium ketiga bukan satu abad yang lalu, di mana orang boleh lenggang-lenggang kangkung. Merdeka!”
Amat menutup surat dan memutuskan hari itu juga ke Buleleng.
“Sebuah pameran selalu bisa dilihat dari banyak sudut. Hanya mata hati yang kreatif yang akan dapat menarik keuntungan darinya dan lepas dari penyakit mengeluh dan memaki yang sekarang sudah menjadi demam yang tak pernah diumumkan sebagai epidemi nasional ini,” kata Amat pada istrinya waktu pamitan.
Itu satu dekade yang lalu. Kini di depan pintu sudah menunggu 2025 yang mau masuk menggantikan 2024. Sementara Amat masih ngelamun disenggol pesan WA Ami yang lagi penataran di Jakarta.
“Penataran sudah rampung. Ami mau pulang. Tapi ada pameran DJAKARTA TEMPO DOELOE di TIM, seperti pameran BOELELENG DOELOE yang Bapak komentari itu. Ajaklah Ibu untuk refreshing. Nanti kita pulang bareng.”
Amat hendak menjawab, keburu istrinya muncul mengulurkan secangkir kopi.
“Jadi kita mau nonton pameran Jakarta Tempo Doeloe di Jakarta, Pak?”
Amat belum sempat menjawab, Bu Amat sudah memberi peringatan.
“Menyukai yang sudah tak ada itu, boleh-boleh saja. Tapi kan lebih baik menyukai yang ada, yang sebentar lagi juga tak akan ada lagi?” ***
.
.
Jakarta, 101224
Putu Wijaya, lahir 11 April 1944 di Puri Anom Tabanan, Bali. Wartawan/redaksi Tempo, penulis, sutradara film dan teater. Doctor honoris causa dari ISI Yogyakarta. Menulis 40 novel, 50 lakon, 100 monolog, sekitar 1.000 cerpen. Penghargaan dari negara, FFI, DKJ, IKJ, koran, SEA Write Award, Fullbright, Habibie Award, Ubud Writers and Reader Festival, dll. Mendirikan Teater Mandiri sejak tahun 1971.
Polenk Rediasa, lahir di Tambakan, Buleleng, 18 Maret 1979. Perupa dengan nama asli I Nyoman Rediasa ini menjadi dosen seni rupa di Universitas Ganesha, Singaraja. Ia menempuh pendidikan seni mulai dari SMSR Denpasar, ISI Denpasar, dan pascasarjana Kajian Budaya Universitas Udayana Denpasar. Ia melukis pada medium kanvas, kertas, dan tubuh (body painting).
.
.
2025. 2025. 2025. 2025. 2025. 2025. 2025.
Leave a Reply