Cerpen A Warits Rovi (Koran Tempo, 28 Desember 2024)
BUTIR kerikil yang kutampung dalam botol bekas sudah purna berjumlah dua belas. Setiap bulan, aku tak lupa bertanya kepada ayah kapan tanggal 1 tiba. Setiap tanggal 1 itulah aku menambah sebutir kerikil ke dalam botol itu. Kata ayah, jika sudah berjumlah dua belas butir, itu berarti 1 tahun, dan biasanya 31 hari setelah kerikil yang kedua belas, tibalah tahun baru.
Sebagai tunanetra, aku tak tahu pasti apa itu tahun baru, yang jelas—sebagaimana yang kudengar sejak kecil dari cerita teman—di tahun baru itu orang-orang bergembira. Pada malam harinya pergi ke alun-alun, meniup trompet, dan menyalakan kembang api. Tertawa dan bertepuk tangan. Keesokan harinya pergi ke pantai atau tempat rekreasi lain bersama kekasih atau keluarga. Kalender lama diganti kalender baru. Harapan-harapan baru dibuat dengan istilah resolusi.
“Tahun baru itu katanya meriah ya, Bu?” tanyaku suatu waktu, saat kudengar suara gerakan tangan ibu sedang mencuci panci di samping dapur. Kadang kala di sela jeda suara itu ada bunyi keran diputar lalu suara air mengucur. Aku mendekati ibu dan mengulang pertanyaanku sekali lagi.
“Meriah karena orang-orang bereuforia merayakannya,” suara ibu agak nyaring, sebentar kami membisu, hanya ada suara ricik air, lalu suara sikat yang menggosok panci kembali terdengar.
“Kenapa haus bereuforia ya, Bu?”
“Mungkin sebagai wujud syukur, Nak. Karena mereka dianugerahi umur panjang hingga tiba lagi di tahun baru.”
“Kapan ya, Bu, saya bisa merayakan tahun baru seperti teman-teman? Saya ingin merasakan euforia juga.”
Ibu tertawa kecil sambil memutar keran hingga tak ada lagi suara air.
“Kamu bisa melakukannya juga, kok. Tahun depan kamu boleh mencobanya. Tapi, menurut ibu, cara terbaik menyambut tahun baru itu adalah dengan memperbanyak zikir dan doa. Bukan euforia, karena itu bukan budaya kita.”
Suara sandal ibu beranjak meninggalkan tempat pencucian, terdengar balik menuju arah dapur. Aku mengikutinya dari belakang.
“Apakah sama kebahagiaan orang tunanetra seperti saya dengan kebahagiaan orang yang bisa melihat saat merayakan tahun baru, Bu?”
Kudengar ibu menghentikan langkah. Ia balik memeluk tubuhku, mengecup kening, dan mencium kepalaku.
“Pasti sama, Nak. Kebahagiaan itu ada di hati, bukan di mata,” suara ibu melantun lembut, seperti suara gerimis di malam tahun baru.
“Tahun depan, izinkan saya bertahun baru ya, Bu! Saya ingin merasakan suasana tahun baru. Meski saya tak bisa melihat perayaannya, pasti saya bakal senang, sebagaimana saya sangat senang merasakan kasih sayang ibu meski saya tak pernah melihat wajah ibu.”
“Iya, Nak. Ibu berjanji, tahun depan ibu akan mendampingimu untuk bertahun baru,” ibu terisak. Ada butiran dingin jatuh ke lenganku. Ibu memelukku makin erat.
Hari-hari berikutnya aku bercerita kepada teman-teman bahwa tahun depan aku akan merayakan tahun baru bersama ibu. Aku pun bercerita bahwa tahun depan ibu akan mengantarkanku ke alun-alun demi mendampingiku merayakan tahun baru. Teman-temanku diam, seperti khusyuk mendengar ceritaku—membuatku bersemangat untuk melanjutkan pembicaraan tentang tahun baru.
“O, iya. Trompet itu seperti apa sih? Nanti aku juga akan membelinya dan akan membunyikannya seperti yang kudengar di TV saat tiba detik pergantian tahun.”
Semua temanku masih terdiam, membuatku yakin mereka pasti tengah menunggu ceritaku berikutnya.
“Cara membunyikan trompet itu bagaimana? Dipukul, digesek, atau ditiup?”
Teman-teman tertawa, terbahak-bahak. Mungkin dia ikut bahagia karena aku tahun depan akan bertahun baru, tapi bisa juga mereka menertawakanku. Tapi, tak apalah, yang penting tahun depan aku nyaris sama dengan orang yang punya mata; bisa bertahun baru dengan bahagia.
***
DUA belas bulan tak terasa, kerikil kedua belas sudah kucemplungkan. Hanya menunggu 31 hari lagi untuk tiba di tahun baru. Hatiku semakin berdebar-debar. Pikiranku diwarnai oleh kembang api dan trompet. Begitu pun hari-hari berikutnya, yang ada di kepalaku hanya tahun baru.
Namun, tiga hari sebelum tahun baru tiba, ibu meninggal tanpa terduga dan tidak mengidap penyakit apa-apa. Selesai salat subuh, ia hanya pamit untuk tidur lagi karena capek. Hingga jam tujuh pagi tak ada tanda-tanda ia bangun. Tak ada suara derit pintu. Tak ada suara panci dan air mendidih. Sedang di luar, hanya terdengar sisiran suara angin, tak ada bunyi air mengalir dari keran.
Dengan meraba, kutuju kamar ibu untuk memastikan keberadaannya. Setiba di kamar sunyi itu, aku terkejut saat telapak tangan meraba sesosok tubuh yang dingin, beku, dan kaku. Ia tak bicara apa pun. Aku juga tak mendengar suara napas yang keluar-masuk. Kekagetanku memuncak saat telapak tangan yang kutempelkan di dada ibu sudah tidak merasakan adanya detak jantung.
Aku berteriak. Air mataku bagai magma yang meledak. Setelah itu, waktu serasa mendorongku pada dunia hampa yang senyap dan tak ada apa-apanya selain sesuatu yang melebihi tajam mata tombak dan membuat luka di dalam dada.
Akhirnya apa yang kurencanakan kandas di tengah jalan. Impian bertahun baru bersama ibu umpama selembar daun kecil dan kering yang seketika dihantam bah ke tengah lautan.
Di malam pergantian tahun, kutambahkan sebotol kerikil—yang sudah rapat tertutup—ke barisan botol lain yang lurus ke arah pembatas sirap kayu. Pada pukul 00.00 aku membuka botol baru yang masih kosong dan memasukkan sebutir kerikil dengan bibir membaca basmalah. Sedang di luar rumah, pada jarak sekitar 50 meter, di warung Mak Iyam, orang-orang bertepuk tangan dan bersorak sorai, meniru orang-orang yang ada di TV. Tapi itu biasanya hanya dilakukan anak-anak dan orang tua, sedang yang muda-muda pergi ke alun-alun kota dengan sepeda motor berknalpot memekik. Katanya, sambil membonceng kekasihnya.
Betapa indahnya mereka yang tidak buta. Punya sejuta harapan pada tahun baru yang meriah dan penuh warna. Sedang tunanetra sepertiku hanya punya dua harapan; sehat di dunia dan di akhirat masuk surga. Aku kerap menghibur diri dengan pikiran positif: berprasangka bahwa Tuhan membutakanku agar aku tak melihat maksiat dan Tuhan akan membalas deritaku ini kelak di akhirat dengan beragam kebahagiaan. Semoga di sana kelak juga ada tahun baru agar aku bisa melihat kemeriahannya.
Tapi baiklah, meski aku buta, bolehlah kiranya aku bertahun baru walau hanya di rumah dengan perantara botol-botol berisi kerikil. Botol-botol itu sudah berjumlah empat belas buah berderet rapi di samping lemari. Empat belas botol kerikil sama artinya dengan empat belas tahun yang telah kulalui.
Aku mengumpulkannya sejak aku berumur sepuluh tahun. Biasanya aku bergidik setiap kali meraba botol itu, seolah meraba masa lalu yang telah menjadi batu berlumut yang terimpit dalam perut zaman yang tak mungkin terulang. Aku khawatir pada empat belas botol lambang masa laluku itu lebih banyak digunakan pada hal-hal yang tak bermanfaat. Seketika lelehan air mata terasa dingin menjalari pipi.
Aku membatasi ruang yang lurus dengan deret botol itu dengan sebilah sirap. Kuanggap itu batas hidupku. Setiap tahun botol itu bertambah dan semakin mendekati sirap. Itu artinya setiap tahun umurku semakin mendekati ajal. Aku heran kenapa orang-orang bereuforia di tahun baru. Mungkin mereka tidak sadar bahwa umurnya semakin sedikit.
Botol yang kukumpulkan itu tiap tahun semakin mendekati sirap pembatas. Saat kuraba, kuperkirakan tinggal belasan botol lagi untuk sampai pada sirap itu. Dari balik mata yang gelap ini, aku menyimpulkan bahwa setiap detik umur manusia sebenarnya terus berkurang dan kian mendekati kematian.
Tahun baru pada hakikatnya kupahami sebagai botol-botol yang mendekat pada sirap kematian. Di sirap kematian itulah segala macam misteri dan banyak kemungkinan akan terjadi. Jalan satu-satunya untuk tiba di sirap kematian dalam keadaan bahagia adalah dengan mempersiapkan segalanya sejak dini, sejak napas masih bersarang di badan.
Di sirap batas itu aku berdoa, semoga bisa bersua dengan ibu. Aku akan bilang kepada ibu bahwa sejak ibu meninggal, aku juga mengurungkan diri untuk bertahun baru di alun-alun, dalam hati masih tersimpan keinginan untuk bertahun baru dengan ibu.
***
PUKUL 00:00 tanggal 1 Januari telah tiba. Di kejauhan terdengar sorak, tepuk tangan, dan letusan kembang api. Di alun-alun semua kota, orang-orang pasti meniup trompet, bersorak, atau sekadar bertepuk tangan, yang jelas, mereka tengah berbahagia. Di ruang tengah, suara televisi juga riuh dengan kemeriahan tahun baru.
Di depanku botol baru telah kubuka tutupnya. Kucemplungkan sebutir kerikil ke dalam botol itu sebagai tanda hitung bulan Januari. Suaranya memantulkan bisikan tahun yang sunyi, minta selalu ditafsiri dan diyakini. Di dalam botol itu, aku juga seperti mendengar suara ibu di kejauhan. Seolah ia baru saja mendengar bunyi sebutir kerikil yang kumasukkan ke dalam botol itu, ibu mungkin masih hafal, bahwa bunyi kerikil di tahun baru adalah bunyi kerikil dari tangan mungilku, sebagai bentuk perayaan pergantian tahun yang unik dari anaknya yang tak pernah melihat isi dunia. ***
.
.
A Warits Rovi adalah penulis yang lahir di Sumenep, Madura, Jawa Timur, 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, dan artikel memenangkan beberapa sayembara dan dimuat di berbagai media massa.
.
.
Cara Lain Merayakan Tahun Baru. Cara Lain Merayakan Tahun Baru. Cara Lain Merayakan Tahun Baru. Cara Lain Merayakan Tahun Baru. Cara Lain Merayakan Tahun Baru.
Leave a Reply