Cerpen, Kompas, Martin Aleida

Perkenalkan, Uno

Perkenalkan, Uno - Cerpen Martin Aleida

Perkenalkan, Uno ilustrasi Febi Pamungkas Sindhukusumah/Kompas

4
(2)

Cerpen Martin Aleida (Kompas, 05 Januari 2025)

“SELAMAT datang. Mari menderita. Jika sudah berada di luar organisasi ini, apa pun dapat kita kerjakan.” Dia menyambutku sebelum warga kota besar yang sumuk ini selesai sarapan pagi.

Sesungguhnya aku tak melamar. Suatu hari, sekretarisnya menelepon. “Wakilnya doi, orang kita, tak tahan. Berhenti. Tak tahu dari siapa dia dapat informasi tentang Abang. Tolong, mampirlah,” bujuknya.

Rupanya dia tahu aku pernah bekerja di kantor perwakilan media elektronik maupun cetak Jepang. Ini orang tentu tahan banting, mungkin begitu pikirnya. Dia memintaku mengisi formulir lamaran. Katanya: “Kau isi. Tetapi, cari temanmu yang mau membantu. Tiga orang. Minta mereka juga mengisi lamaran yang sama. Kompetisi harus terbuka untuk publik. Kantor pusat tak boleh menerima kau tanpa persaingan.”

Hari pertama, dari ruang kerjanya, dia memanggil lewat interkom. “Do you think you can come here?” Begitu sopan.

Aku masuk. Aroma parfum dan nikotin menyergap. Dia menyerahkan segepok dokumen. Memintaku menyusun siaran pers dan laporan khusus mengenai kegiatan organisasi dunia yang berkantor pusat di New York.

Aku kembali ke ruang kerjaku. Membenamkan diri di kursi seperti seekor ayam mengeram. Membaca rupa-rupa berkas. Beberapa jam kemudian kuselipkan selembar folio dan mulai membanting tuts mesin tik. Kuserahkan hasil pekerjaan sesuai dengan permintaannya.

Begitu aku duduk kembali menghadap meja kerja, tiba-tiba dia memanggil dengan santun. Bagaimana mungkin dia membacanya begitu cepat, pikirku.

Aku duduk tepat di seberang mejanya. “Hmmm…,” dia melenguh. “Boros…!” ditatapnya aku. Mengibarkan dua lembar kertas yang baru kuberikan. “Kau bekerja begitu sembrono. Menggunakan kertas yang begitu bersih, licin, baru keluar dari pabrik. Cuma untuk draft. Heran.… Orang-orang di sini tidak memuliakan kekayaan yang mereka punya. Setiap hari saya menemukan bolpoin di tempat sampah. Tintanya masih ada.” Dia meletup-letup. Namun, tetap dengan langgam suara yang datar. Hatiku terbakar mendengar kata-katanya itu.

“Di mana Bapak menulis rancangan untuk kemudian diketik oleh sekretaris ke stensil?” tanyaku seraya menarik napas.

“Ini…. Saya tidak minta sekretaris mengetiknya. Saya kerjakan sendiri. Kenapa?” jawabnya cepat sambil menunjukkan lipatan bekas pembungkus rokok. Di bagian dalam pembungkus itulah dia menulis dengan bolpoin yang dia pungut dari tong sampah, barangkali.

Sekretarisnya pernah bercerita tentang pribadi Uno. Setengah malaikat. Walau terletak di tengah ibu kota. Tak jauh dari Istana dan kantor pusat perusahaan listrik negara, acapkali lampu tiba-tiba padam. Kalau belum juga nyala esok harinya, Uno tetap saja duduk menghadap meja teleks. Tidak membaca. Seperti mengaji kelihatannya. Dia keluarkan pita mesin teleks dari cangkangnya. Membaca laporan intern dari kantor pusat, maupun berita dunia, dengan mengurutkan jarinya di lubang-lubang pita teleks, layaknya tunanetra meraba Braille.

Baca juga  Ketika Listrik Padam

Ketika memimpin kantor yang sama di Dhaka, beberapa tahun lalu, begitu dikisahkan sekretaris, semua staf mogok. Protes terhadap sikapnya yang keras. Tidak kenal jam kerja. Mereka beranggapan diperlakukan sebagai rodi dengan sistem Jepang. Bukan karyawan organisasi dunia yang bernama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Uno mengerjakan semua! Menulis laporan untuk markas besar yang dia kirimkan sendiri dalam kantong diplomatik. Pekerjaan rutin berjalan seperti biasa. Uno merangkai feature dan berita. Menggerakkan roneo hingga tangannya berlepotan tinta hitam.

Di Jakarta dia pernah mengajukan permohonan untuk jumpa dengan Menteri. Dia datang sesuai perjanjian. Seorang staf kementerian menghampirinya, berbasa-basi. Mengulur-ulur waktu, begitulah. Bos belum juga nongol. Uno sebal dan bilang kepada staf di depan hidungnya: “Maaf, saya ingin bertemu dengan Menteri, bukan Saudara.” Dia bangkit meninggalkan gedung kementerian.

Seminggu kemudian Sang Menteri sendiri datang menemui Uno, meminta maaf.

Aku tak tahu suasana batinnya manakala salah seorang dari dua wartawan Jepang, dengan siapa sebelumnya aku bekerja, melancarkan protes. Apakah dia tak peduli dengan etika yang melarang membajak seseorang dari tuannya? Salah seorang dari mereka, Yamashita, unjuk rasa dengan gayanya sendiri. Dia mengetuk pintuku. “Selamat pagi. Maaf, mengganggu kesibukanmu….” Dia langsung masuk ke ruangan Uno, tanpa sebut-sapa. Mengenyakkan tubuhnya yang pendek gempal di sofa. Uno meliriknya tanpa sepatah kata.

Yamashita mengeluarkan buku dari saku. Membaca dalam diam. Selama berbulan-bulan, sekali seminggu, Yamashita nongkrong sambil membaca. Tak sekejap pun menengok ke arah tuan rumah. Terkadang terdengar dia mendehem membersihkan jejak asap rokok di kerongkongan dan hidungnya, Sementara Uno diam seribu bahasa….

Dia sempat membikin gempar manajemen hotel yang dikenal sebagai “Little Tokyo”. Saban hari, tiap jam dia menelepon istrinya di situ. Satu siang, dia buru-buru mengetuk pintuku. “See you later,” sambil berlalu.

Rupanya telefonis hotel itu tidak mengangkat telepon yang masuk dari dia. Berkali-kali, hingga kesabarannya berubah jadi amarah. Dia mengeluh kepada manajer. Tapi, aduannya ditampik. “Ini hotel orang-orang bisnis. Tak mungkin,” jawab orang itu. Baik, pikirnya dan meninggalkan sang manajer.

Beberapa hari kemudian, dia mengetuk pintuku lagi. “Sebentar ya…. Saya segera kembali.”

Saking kepingin cepat sampai di hotel, dia lupakan pengemudinya. Dia setir sendiri dan tancap gas mobil yang berpelat korps diplomatik. Sesampainya di hotel, dia langsung ke ruang telefonis. Mengintai lewat jendela kecil. Telefonis sedang tertidur di lantai beralas karton. Cepat Uno menemui manajer dan menggandeng tangannya supaya melangkah lebih bergegas. Meminta orang itu mengintai lewat jendela kaca. Sang manajer menyaksikan apa yang seharusnya tidak boleh terjadi. Wajahnya terkulai, tak sanggup menatap tamunya.

Baca juga  Blues untuk Runi

“Beginikah yang namanya Little Tokyo itu?” Yang disindir tertunduk. Uno melangkah pergi. Buat sang telefonis siang itu adalah tidurnya yang paling lelap sebelum menemukan riwayat pekerjaannya tamat keesokan hari.

Tekanan pekerjaan yang ditimpakannya amat terasa. Sebelum pukul 7 pagi aku sudah “mengeram”. Pulang pukul 8 malam. Apa saja yang dia tulis untuk konsumsi publik harus kuterjemahkan. Tidak sulit benar. Tapi, aku wajib menyusun berita tiap hari, feature tiap minggu, dan newsletter tiap bulan. Setelah dua tahun, ratusan berita, puluhan feature, dan jurnal bulanan yang kutulis dalam bahasa Inggris.

Setelah memeriksa tulisan- tulisan itu, cuma sekali dia pernah bilang. Hanya sekali itu. “These may go.” Artinya, karyaku itu boleh disebarkan ke publik. Aku menari dalam hati. Tapi, nyatanya tulisan itu hanya masuk lacinya. Tak pernah dicetak dan dikirimkan untuk konsumsi pemerintah, media, dan perguruan tinggi.

Aku tidak menyerah. Ada yang kucari pada “orang edan” ini. Kecepatannya membaca dan mengoreksi. Sejumlah redaktur pernah membawahiku. Uno bukan kodian. Pengalamannya luas. Meliput Olimpiade Tokyo dan Perang Vietnam. Di lehernya menggantung medali emas, penghargaan yang dia peroleh dari medan perang. “Kalau saya masih semuda kau, saya ingin kembali ke duniaku yang dulu,” katanya mengenang.

Begitu banyak kesalahan. Lihat ini… Perserikatan Bangsa-Bangsa tanpa tanda penghubung. Kesalahan kecil, memang. Tapi, salah ya tetap salah.

Suatu hari, sekretaris dan aku memenuhi panggilannya. “Saya tak mengerti Tagalog, Bengali, juga bahasa Indonesia. Tapi saya benar-benar gelisah mengingat kemungkinan apa yang terjadi dengan terjemahan produk kantor dalam bahasa lokal, baik di Manila, Dhaka, maupun di sini,” katanya sengit.

“Mendekatlah,” mintanya padaku. Dia membentangkan siaran pers dan jurnal bulanan dalam bahasa Indonesia. “Begitu banyak kesalahan. Lihat ini… Perserikatan Bangsa-Bangsa tanpa tanda penghubung. Kesalahan kecil, memang. Tapi, salah ya tetap salah,” cetusnya. “Di mana kau belajar titik dan koma ikut digarisbawahi? Kau tengok, nih.… Saya sungguh tak mengerti, apa yang terjadi dengan terjemahannya sendiri.” Terasa menyembelih menyayat-nyayat hati kecamannya itu. Aku tunduk. Menahan malu untuk kesalahan yang dibuat orang lain. Sekretaris keliru ketika menyalin versi bahasa Indonesia ke kertas stensil. Aku tidak membela diri. Itu tanggung jawabku, kupikir.

Keesokan harinya, tidak biasa, tiba-tiba dia nongol di ambang pintu. Tersenyum sambil berujar, “Ikuti saya.” Dengan perasaan berbunga aku menyusul langkahnya.

“He-he-he…,” Uno mengeluarkan selembar Sumbangan Sosial Berhadiah dari saku safarinya. “Tolong cek di koran lokal. Ini punya Helena. Pekerja sekuat baja. Perempuan tak terkalahkan. Pekan depan dia pulang ke Manila. Siapa tahu nasibnya baik menang lotre Rp 100.000.000, menambah ongkosnya pulang kampung.…”

Helena gadis Filipino yang direkrut Uno menjadi pembantu rumah tangga ketika dia memimpin United Nations Information Centre di Manila. Uno dimutasi ke Bangkok, dia ikut. Ke Dhaka juga. Rupanya Jakarta adalah titik akhir pengabdiannya pada Uno.

Baca juga  Batu Lumut Kapas

Tujuan Uno, katanya, tak lain kalau dia pindah, kantor akan berjalan seakan-akan dia tetap berada di situ. Semua produk kantor ada yang meneruskan.

“Sepuluh tahun kupikir sudah cukup mengikuti dia,” kata Helena bercerita dengan enteng kepadaku suatu saat. “Sikapnya keras, kemauannya tak terbengkokkan. Tapi hatinya mutiara. Percayalah…. Gajiku setiap bulan tak dia bayar penuh. Katanya, kekurangannya akan dia lunasi manakala saya sudah putuskan berhenti.”

“Berapa dia menunggak?”

“Sepuluh ribu dolar.”

“Di Manila mau kerja apa?”

“Buka salon di Makati.”

Berulang-ulang Helena mengingatkanku agar tak pernah patah hati.

“Si Tommy, dalam posisi seperti kau ini di Manila, tak pernah membantah. Setia. Bertahan mati-matian,” katanya. Menurut dia, ribuan berita yang dikerjakannya. Sebagaimana nasib tulisanku, semua berakhir di tong sampah. Tujuan Uno, katanya, tak lain kalau dia pindah, kantor akan berjalan seakan-akan dia tetap berada di situ. Semua produk kantor ada yang meneruskan. Percayalah.… Dari staf nasional, Tommy diangkat jadi international staff dan ditempatkan di Bangkok. Nasibnya sial. Dia tergoda memanfaatkan kedudukannya sebagai diplomat. Tertangkap.

“Uno bilang, Si Tommy sialan itu melakukannya karena hasrat gila istrinya. Tapi aku tak percaya. Menolak. Kau…?”

Tak ada manusia yang tak berubah. Juga Uno. Dia berdiri tegak di bendul pintu kamar kerjaku. Melemparkan senyum. Terkekeh. Dia benar-benar mutiara pagi ini.

“Besok saya ke Manila menyerahkan Helena kembali kepada orangtuanya baik-baik, sebagaimana saya meminta izin sepuluh tahun silam. Ingat. Jangan sekali-kali kau ceritakan kepada staf internasional di depan Sarinah itu bahwa saya terbang dengan pembantu di sampingku. Mereka akan mencibir, menertawakanku. Aku percaya kau.…” ***

.

.

Kursi roda, Agustus-September 2024.

Martin Aleida memasuki usia 81 tahun menjalani amputasi di atas lutut kanan, mencegah virus di jaringan tapak kakinya menyebar. Dia terkurung di kursi roda, tidak untuk menunda kematian, tetapi terus menuliskan kisah hidup yang belum tersampaikan.

Febi Pamungkas Sindhukusumah lahir di Subang pada 1978. Lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, sekarang tinggal di Jimbaran, Bali. Beberapa kali terlibat pameran seni rupa, seperti Pameran Seni Rupa Lingkungan GALI (Gabungan Anak Lukis), Gedung YPK Naripan, Bandung (1999), dan Pameran Keramik Kontemporer Kado untuk Kartini, Galeri Soemardja ITB Bandung (2000).

.

.

Perkenalkan, Uno. Perkenalkan, Uno. Perkenalkan, Uno. Perkenalkan, Uno. Perkenalkan, Uno. Perkenalkan, Uno. Perkenalkan, Uno. 

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!