Cerpen, Kompas, Triyanto Triwikromo

Bunga Lili di Tenda Pengungsi

0
(0)

Rencana untuk membakar seluruh gedung dan tenda-tenda pengungsi itu kudengar semalam dari mulut Adonis Perseus, suamiku. Tentu saja aku heran. Aku yakin dia tidak sedang mabuk. Karena itu, aneh jika penulis cerita yang biasanya lembut hati itu, ingin melakukan tindakan yang mencederai kemanusiaan. Atau jangan-jangan tanpa sepengetahuanku Adonis [1] ternyata seorang pemuja bangsa yang radikal?

“KAU sangka semua pengungsi perlu dikasihani, Amara? Kau sangka mereka seperti bayi tanpa dosa tanpa pisau yang menghunus ke jantung kita?” ujar Adonis kepadaku sambil berjalan cepat menembus kabut dari Jalan Ludwig ke Stasiun Ladermuseum.

Aku tidak segera merespon perkataan konyol itu. Pagi itu, selain seperti bertemu dengan satu dari mungkin 1.000 jiwa buruk suamiku, aku terganggu oleh bau yang menguar dari tubuh Adonis. Aku mencium bangkai 100 tikus. Aku mencium bau mayat busuk. Aku merasa ada setan-setan tengik pada masa Zeus menyusup ke tubuh suamiku.

“Aku akan memulai tindakan agungku ini dari Stasiun Utama Frankfurt. Aku sudah menyiapkan bom molotov,” desis Adonis lagi sambil mempercepat langkah.

“Tindakan agung? Membakar tenda orang-orang yang seharusnya kau beri ranjang hangat dan tungku pemanas, kau katakan sebagai tindakan agung?” aku memprotes sambil terus berusaha menutup hidung dengan syal.

“Tidak ada ranjang hangat dan tungku pemanas untuk mereka, Amara. Tidak ada!” kata Adonis lagi dengan nada yang kian meninggi, “Pemerintah tidak tahu siapa mereka. Mereka bukan orang-orang yang teraniaya seperti yang kita sangka. Mereka hanyalah iblis yang disusupkan. Tubuh mereka penuh ideologi. Kelak mereka justru akan jadi duri di dalam daging bangsa ini. Kalau Hitler masih hidup, aku yakin Sang Pemimpin Agung itu akan mengusir atau membakar mereka hidup-hidup.”

Diberondong kalimat-kalimat ganas dari mulut berbau kencing kuda Adonis, aku ingin muntah. Sesuatu menyerupai tendangan kaki bayi menghantam perut. Aku kian tersiksa. Rasanya aku ingin berbalik arah. Tak mengikuti ke mana pun Adonis pergi. Tak melihat apa pun yang akan dilakukan oleh pria yang saat mabuk selalu menganggap diri sebagai Herkules, pahlawan Yunani itu.

Tidak! Tidak! Tidak boleh aku membiarkan penulis kisah-kisah imigran-Yunani di Jerman ini jadi penjahat. Aku harus mengurungkan niat Adonis membakar tenda para pengungsi. Karena itu, kubiarkan saja Adonis membentak-bentak. Kubiarkan Adonis menganggap segala yang diucapkan sebagai kebenaran. Yang penting aku bisa mengikuti ke mana pun dia pergi.

“Kini jumlah pengungsi yang masuk ke Jerman mendekati 1.000.000, Amara. Berapa lagi yang akan dibiarkan menjadi musuh bangsa ini pada masa depan? Angela Merkel telah melakukan kesalahan besar.”

Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Adonis. Yang aku tahu, pemerintah memang membutuhkan banyak pekerja berharga murah. Ini memungkinkan Merkel menerima pengungsi-pengungsi dari Suriah dan Afganistan dengan tangan terbuka.

Baca juga  Kepada Rakyat Miskin

“Pemerintah sebaiknya mendengar suara rakyat. Jangan hanya ingin dianggap sebagai juru selamat. Tidak semua rakyat menerima kedatangan pengungsi. Percayalah kepadaku, tidak lama lagi di beberapa kota, gedung-gedung yang akan digunakan untuk menampung pengungsi pasti dibakar. Tenda-tenda juga akan dilempari batu,” kata Adonis, “Malah para pendengar radio telah memprotes penyiar yang sepanjang waktu membeberkan persoalan pengungsi. Mereka bilang, ‘Tak ada tema lainkah dalam hidup kalian?’”

“Kau pikir memang ada tema lain?”

“Tentu saja ada tema lain,” Adonis mencerocos lagi, “Tema lain itu, misalnya, mengapa orang-orang keturunan Yunani di Jerman, seperti kita ini, diperlakukan semata-mata sebagai pekerja atau sekadar robot. Aku dan kau—jelas-jelas lahir di Jerman, menghirup udara, dan makan makanan Jerman—tetapi mengapa kita diperlakukan sebagai orang asing, sebagai gelandangan tengik? Hanya karena sekarang Yunani bangkrut, lantas mereka boleh menganggap kita sebagai budak?”

“Tentu saja tidak boleh,” aku mendesis.

“Memang tidak boleh. Karena itu kau tidak perlu melarangku membakar tenda yang didirikan di dalam stasiun,” kata Adonis menohokku.

Terus terang bukan hanya ucapan jahat itu yang menekanku. Pada saat sama, aku tertekan juga oleh bau busuk Adonis yang kian menyengat. Bau Adonis, kau tahu, mungkin gabungan antara pesing air kencing, tinja lumer di pispot, koreng basah, keringat orang tak mandi 100 hari, dan mayat dikerubung lalat.

Bau itu bisa berubah dengan cepat dan tampaknya berbanding lurus dengan kemunculan hasrat jahat Adonis. Bau itu bermetamorfosis dari sengat kebusukan satu mayat, 10 mayat, hingga lebih dari 100 mayat….

Saat itu aku membayangkan ada lebih 100 mayat busuk melayang-layang di langit, lalu badai membentur-benturkan mayat-mayat itu, menggiling hingga lumer ke kubangan raksasa, dan Adonis tercebur ke dalam kubangan itu. Jadi, jika berada di dekatku, pasti perutmu mual, hidung tidak sanggup menghadapi serangan bau, dan kau akan muntah tidak keruan.

Apakah Adonis juga merasakan bau itu? Mungkin tidak. Mungkin hanya aku yang merasakan bau itu karena ibuku pernah bilang, “Keluarga kita dikutuk untuk mahir mengendus bau kematian pasangan hidupnya, Amara. Mati hidup kekasihmu bisa kau ketahui dari bau tubuhnya. Kian busuk bau tubuh kekasihmu, kian dekat dia dengan kematian. Orang yang akan hidup lama, bau tubuhnya sewangi bunga lili. Sebaliknya mereka yang akan mati, bau tubuhnya sebusuk ribuan mayat tanpa pengawet dan pewangi.”

Sewangi bunga lili yang kerap dianggap sebagai penghias taman surgawi? Aku tidak percaya kepada kata-kata ibuku. Akan tetapi, tentu saja aku tak menginginkan Adonis cepat mati.

“Apakah kau mencintaiku, Adonis?” aku menemukan cara untuk mengalihkan arah perjalanan kami, “Apakah kau mau membawaku ke Katedral Santo Bartolomeus? [2] Aku ingin sekali waktu dalam hidup, kita berdoa di tempat Raja Romawi Jerman naik takhta itu.”

Baca juga  Matinya Sang Penulis

“Apa hubungan antara cintaku dan berdoa di katedral itu?”

“Tentu saja tidak ada.”

Ya, tentu saja tidak ada. Aku hanya ingin menunda kematian Adonis. Siapa tahu begitu melihat patung Yesus menderita di kayu salib, Adonis yang tidak pernah percaya pada gagasan “Tuhan Sudah Mati” [3], tak ingin lagi membakar atau membunuh para pengungsi. Siapa tahu Yesus, yang kuyakini sedang melayang-layang di langit, bisa melembutkan suamiku yang jika jiwanya terbelah, begitu galak dan menganggap diri sebagai Lucifer itu.

“Iblis tidak mungkin masuk ke gereja, Amara,” Adonis menemukan cara mengelak yang cemerlang.

“Tetapi, kau bukan iblis, Adonis.”

“Ya, aku bukan iblis, tetapi Raja Iblis! Aku dewa perang musuh utama Tuhan,” canda Adonis sambil menyeretku menuruni tangga menuju ke stasiun bawah tanah.

Apa boleh buat aku pun menyerah. Aku mengikuti Adonis. Aku bahkan menurut saja ketika suamiku mengajakku berdansa di gerbong kereta tanpa musik. “Aku mencintaimu, Amara, tetapi kau tidak perlu memaksaku berdoa di gereja. Aku akan berdoa untukmu begitu sampai di stasiun utama. Aku akan berdoa untuk….”

Ah, bagaimana mungkin Adonis akan berdoa untukku jika begitu sampai di Stasiun Utama Frankfurt, dia langsung menuju ke tenda penampungan sementara para pengungsi? Bagaimana Adonis akan berdoa untukku jika dia begitu cepat menyibak kerumunan manusia dari berbagai bangsa hanya untuk membunuh manusia lain?

Tidak! Tidak! Mungkin Adonis benar. Mungkin Adonis tahu segala yang terjadi pada masa depan sehingga hari ini dia berhasrat membakar para pengungsi? Jangan-jangan jika dibiarkan hidup, para pengungsi itu kelak akan menjadi orang-orang yang pada waktu bersamaan menembak secara sembarangan warga Jerman dan meledakkan bom bunuh diri di Berlin, Frankfurt, Hamburg, atau kota-kota lain.

“Karena itu biarkan Adonis membakar mereka!” seru suara entah siapa di kepalaku.

“Robohkan tenda mereka!”

“Usir mereka ke negeri asal!”

“Ayo, jadilah saksi hidup pembakaran ini. Foto seluruh kejadian! Sebarkan ke seluruh dunia betapa mereka benar-benar manusia tidak berguna!” teriak Adonis sambil menyeretku.

Karena terus-menerus diperlakukan sebagai binatang, aku justru memberontak. Aku melepaskan diri dari gandengan Adonis. Aku berlari secepat mungkin menuju tenda para pengungsi yang tidak dijaga dengan ketat itu. Adonis berusaha mengejarku, tetapi agaknya dia terhalang oleh kerumunan manusia yang kian lama kian banyak.

“Telepon polisi!” aku berteriak kepada salah seorang sukarelawan yang sedang bercakap-cakap dengan sukarelawan lain, “Seseorang akan membakar tenda ini. Orang itu sedang menuju ke sini.”

“Jangan mengacau! Tak ada yang mengejarmu!” kata salah seorang.

Baca juga  Di Bawah Pohon Kersen

“Apakah kau sedang mabuk?” tanya yang lain setengah melecehkan aku.

Adonis memang belum tampak. Akan tetapi, karena merasa diabaikan, aku langsung menerobos ke tenda. Aku berteriak-teriak tak keruan kepada para pengungsi di tenda penampungan sementara itu, “Pergi! Pergi! Tinggalkan tenda ini. Seseorang akan membakar kalian! Ayo, pergi!”

Tak ada yang bergegas meninggalkan tenda. Tak ada yang menghindar dari kemungkinan kematian yang segera menyergap. Tak ada. Dan Adonis? Di mana Adonis? Mengapa dia tidak tampak-tampak juga?

Tunggu dulu! Adakah wangi bunga lili di tenda ini? Tentu saja ada. Tetapi, tidak terlalu harum. Bau-bau lain—anggur busuk, kentut, dan darah beku—juga menebar dari tubuh-tubuh para pengungsi. Apakah bau campur aduk ini mengisyaratkan sebagian pengungsi akan segera mati?

Aku tidak tahu. Yang jelas, tak lama kemudian, Adonis mulai tampak. Bau gabungan antara pesing air kencing, tinja lumer di pispot, koreng basah, keringat orang tak mandi 100 hari, dan mayat dikerubung lalat menguar dengan sengit lagi.

Mungkin bom molotov akan segera dilemparkan ke tenda dan aku tidak tahu apakah aku berbau wangi bunga lili atau tidak. Saat itu aku hanya bisa berteriak, “Aku bukan pengungsi, Adonis! Aku lili terindahmu! Aku….”

Mungkin Adonis tidak mendengar suaraku. Mungkin Adonis tetap saja melemparkan bom molotov itu ke arah tenda pengungsi. Sekali lagi aku hanya berteriak, “Aku bukan pengungsi, Adonis. Kau akan kehilangan aku. Kau akan kehilangan putri Yunani terindahmu. Kau juga akan mati karena puluhan polisi akan menembakmu. Kau….” ***

Catatan:

[1] Saya perlu mengucapkan terima kasih kepada Jannis Plastargias, novelis Jerman keturunan Yunani, yang menceritakan begitu banyak kisah terkini kehidupan pengungsi di Jerman kepada saya dan menginspirasi kemunculan tokoh Adonis.

[2] Katedral Santo Bartolomeus adalah gereja utama di Kota Frankfurt.

[3] Teks ini berasal dari bahasa Jerman “Gott ist tot” dan muncul dalam buku klasik Friedrich Nietzsche, Also sprach Zarathustra.

Triyanto Triwikromo, pemeroleh penghargaan sastra Pusat Bahasa 2009 dan Balai Bahasa 2015. Ia juga mendapatkan penghargaan Lima Besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2014 untuk buku cerita Surga Sungsang. Telah 12 kali cerpennya masuk buku Cerpen Pilihan Kompas. Sepuluh di antaranya termaktub dalam kumpulan cerpen Celeng Satu Celeng Semua. Adapun A Conspiracy of God-killers, Upside-Down Heaven, The Serpent in the Holy Grail, dan Children Sharpening the Knives adalah buku-buku Triyanto dalam bahasa Inggris yang dipamerkan di Frankfurt Book Fair belum lama ini.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!