Cerpen, Dewi Ria Utari, Kompas

Pohon Mati

5
(1)

Telah ratusan kali anakku memintaku untuk menebang pohon itu dan ratusan kali pula aku menolaknya. Awalnya aku mengira ia menginginkan pohon itu lenyap karena merencanakan ingin membangun sesuatu di tanah kosong di belakang rumah. Di tanah itu, hanya ada sebatang pohon mati yang berdiri tegak dalam keangkuhan antah berantah. Ya memang. Meski pohon itu dulunya adalah Pohon Pinus, batang-batang tanpa dedaunan yang menghitam yang menjulur ke berbagai arah menggiring imajinasi siapa pun yang melewati tanah kosong itu pada makhluk buruk rupa bertangan banyak penghuni dunia dongeng pengganggu tidur anak-anak pengecut. Namun, bagi anak pemberani, sosok pohon itu serupa kakek kurus angkuh pemberang yang siap melayani kenakalan anak-anak bengal.

Bergemingnya aku terhadap permintaan anakku membuatnya meninggalkan rumah ini tujuh tahun lalu. Aku masih ingat matanya yang penuh kemarahan dan luka, menatapku yang tengah duduk di ruangan kerjaku di lantai dua. Saat itu aku tengah duduk menghadap jendela, memandang ke arah pohon mati itu yang tampak jelas dari jendela ini. Dia datang dalam murka ketika mendengar aku melarang Welas, tukang yang sudah bekerja denganku sejak ia remaja, untuk menebang pohon itu.

“Kenapa Bapak menghalangi aku untuk menebang pohon itu?”

“Itu hakku, karena itu pohonku dan berdiri di atas tanahku. Kamu sendiri kenapa menyuruh Welas menebangnya?”

“Karena pohon itu sudah mati. Buat apa Ayah memelihara sesuatu yang sudah mati?”

“Kamu tak tahu apa-apa,” balasku sengit.

“Aku tahu, Pak. Tahu bahwa gara-gara pohon keparat itu, setiap tahun ada saja yang mati bunuh diri di pohon itu. Jika Bapak terus mempertahankan pohon itu, seluruh desa ini akan mati satu per satu karena kekeraskepalaan Bapak! Dan aku sudah tak punya muka lagi di depan orang-orang karena pohon mati itu dan orang-orang yang sudah mati di sana. Sekarang Bapak tinggal pilih aku atau pohon bangkai itu!”

Alih-alih khawatir akan gertakan anakku itu, aku lebih memilih diam melihatnya pergi.

Kematian mengiringi pohon itu yang mati tiga tahun lalu. Beberapa bulan setelah pohon itu mati, kematian pertama datang di suatu pagi selepas hujan yang turun sepanjang malam dan baru berhenti pada subuh. Pagi hari itu, Sangaji, bocah 9 tahun yang sering berdiri paling depan saat ada konser dangdut di kampung dan tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk memotret payudara atau celana dalam penyanyi dangdut yang ngibing kesetanan di pinggir panggung, kebetulan lewat di depan pohon itu dengan kedongkolan yang membara setelah bapak tirinya memukul punggungnya karena Sangaji ketahuan mengambil sebatang rokok bapak tirinya yang tergeletak di atas meja tamu. Sambil menggerundel, Sangaji berjalan sambil menendang-nendang benda apa pun yang ada di jalanan di depannya, hingga melintasi tanah kosong milikku.

Gerundelan Sangaji menghilang ketika ia mendengar suara berderit dan saat ia mendongak, terlihatlah ujung kaki Tiwi yang pucat. Sangaji tak menjerit. Ia terdiam dan jatuh terduduk. Setengah jam kemudian ia bangkit dan berlari pulang memanggil bapak tirinya. Seketika, kematian Tiwi merukunkan keduanya.

Baca juga  Firasat

Tak ada yang tahu kenapa Tiwi, janda berusia 20-an tahun yang setiap hari berjualan kelapa di pasar, menggantung lehernya. Tapi, banyak orang menduga, Tiwi bunuh diri karena terlibat utang dengan lintah darat dari kampung sebelah. Sebagian lagi bersangka bahwa Tiwi kesurupan karena sehari sebelumnya ia nekat pulang melintasi kuburan selepas menonton layar tancap di lapangan bola. Setelah Tiwi, setahun kemudian Badar ditemukan mati dalam keadaan seperti tengah tertidur. Dokter di kecamatan memutuskan ia mati karena serangan jantung. Tapi, istri Badar tak percaya dengan keputusan dokter itu karena Badar sekuat kerbau yang diangonnya tiap hari. Disusul kemudian kematian Parta setahun lalu dengan kedua pergelangan tangannya teriris. Seperti halnya Tiwi, banyak orang mengira Parta bunuh diri. Tapi, lagi-lagi keluarganya tak yakin, dan keyakinan mereka pun mulai memengaruhi banyak orang di desa ini. Satu per satu mereka mulai berpikir pohon mati ini menarik kematian.

Semua kematian itu terjadi setiap tanggal 24 Desember. Membuat persiapan Natal keluargaku jadi terganggu. Padahal, sudah menjadi tradisi di rumahku sejak bertahun-tahun lamanya, aku dan istriku akan bagi-bagi uang dan makanan untuk seluruh buruh kebun kopiku. Biasanya pagi hari, aku, istriku, dan anakku akan ke gudang kopi dan membagikan amplop dan sembako satu per satu ke semua buruhku. Sesudah itu, sore harinya kami akan ke gereja di kecamatan. Tapi, sejak ada kematian itu, kebiasaan ini jadi terganggu karena semua orang di desa memilih diam di rumah atau kasak-kusuk menggunjingkannya entah ketika sedang nongkrong di warung kopi atau di toko kelontong milik Ruslan.

Tiga kematian itu toh tak membuatku kepingin menebang pohon itu. Bahkan ketika akhirnya anak dan istriku hengkang dari rumah karena tak tahan dengan gunjingan orang-orang desa. Mereka tak habis pikir kenapa aku mempertahankan pohon mati itu, padahal gara-gara pohon itulah, jumlah pekerja di kebun kopiku mulai berkurang. Sementara aku memilih diam tak mengabaikan anjuran siapa pun untuk menghilangkan pohon itu. “Setiap orang toh pada akhirnya mati. Tinggal bagaimana ia memilih cara untuk mengakhiri hidupnya. Kebetulan saja kejadiannya di pohon itu,” ujarku kepada Kartono, kepala desa ini yang khusus datang ke rumahku setelah dua kematian didapati di pohon mati itu. Ia tak bisa banyak membantah karena akulah yang menyekolahkan tiga anaknya hingga jadi sarjana. Ia hanya berpesan supaya aku hati-hati karena banyak penduduk desa yang mulai menganggap pohon itu adalah pesugihanku.

Pohon itu bukan pesugihanku. Aku tak perlu pohon atau benda apa pun untuk jadi sugih. Tanpa harus kujelaskan, penduduk desa ini harusnya ingat bahwa kekayaanku sudah turun-temurun sejak buyutku yang memiliki separuh lereng gunung di desa ini untuk dijadikan kebun kopi. Tanpa kebun kopi, bisa apa penduduk desa ini hidup. Hampir semuanya bekerja di kebunku. Dan kelak, jika anakku mau kembali lagi ke rumah ini, dialah yang akan mewarisi semuanya. Tapi, ia belum-belum sudah terlalu takut dengan omongan orang.

Baca juga  Ikan Terbang Kufah

Karena anakku, aku telah bersumpah dalam hati tidak akan menceritakan kepada siapa pun tentang pohon itu. Baik tentang kenapa pohon itu mati hingga kenapa ada orang mati di pohon itu pada tanggal yang sama setiap tahun. Tapi, anakku tidak mengetahuinya bahwa dialah yang menjadi alasanku untuk merahasiakan tentang pohon itu dan kematian yang mengiringinya. Juga tidak siapa pun, kecuali diriku sendiri.

Aku menanam pohon pinus itu lima tahun silam, setahun setelah aku mengenal Yayi. Tak ada yang mengetahui keberadaan Yayi karena hanya aku yang bisa melihat dan menemuinya. Harus bagaimana aku menceritakan tentang Yayi karena aku yakin tidak ada yang akan memahami perasaan yang terjalin antara aku dan Yayi. Apalagi memahami bagaimana aku terus terbayang-bayang raut muka Yayi, senyumannya, sentuhannya tak hanya ketika aku tengah sendiri, tapi bahkan ketika aku sedang berkumpul bersama buruh-buruh kopiku, saat bersama tengkulak kopi, bahkan ketika aku menyusuri setiap ruang di rumahku.

“Kamu terus menghantuiku, Yi,” ujarku sambil membelai rambutnya. Ia mengecup pipiku dan tersenyum.

“Biar kamu rindu terus denganku,” bisiknya sambil mengerling nakal. Jika sudah seperti itu, aku tak lagi bisa protes dan hanya bisa memeluknya erat-erat di dadaku.

Ketika aku menemukan pohon itu ketika pergi ke Bogor, aku segera menyampaikan ke Yayi, apakah ia menyukai pohon pinus.

“Aku menyukainya. Dari dulu aku menyukai pinus. Ketimbang cemara, pinus lebih kokoh. Seperti kamu, Sayang.”

“Ah kamu ini, selalu pandai merayu,” tukasku sambil mencubit pipinya.

“Beneran. Lagi pula kamu bisa menaruh lampu-lampu dan hiasan kalau pas Natal kan?”

Aku mengangguk dan segera menanam pohon itu di tanah kosong di belakang rumah. Setelah pohon itu berdiri dan tumbuh subur, aku jadi lebih bisa mengatur pertemuanku dengan Yayi. Ia tak terus-terusan membayangiku dan menghantui pikiranku karena ia begitu menyukai pohon itu. Ia merawat pohon itu siang dan malam dan menjadikan pohon itu begitu indah dan berkilau.

Hingga kemudian ketenangan itu harus terkoyak ketika Yayi bilang bahwa ia mengandung anakku. Aku begitu panik dan tak bisa membayangkan bahwa aku akan memiliki anak selain Darma. Aku terlalu menyayangi Darma dan tak akan menggeser posisinya sebagai anakku satu-satunya dengan keberadaan anak lain.

Tanpa memberitahukan kegelisahanku, Yayi sudah mengetahuinya.

“Sayang, di tempat asalku, kami memercayai bahwa kematian sering kali lebih abadi daripada kehidupan. Kami merayakan dan menghargai kematian lebih dari siapa pun. Tahukah kamu bahwa ketika aku menceritakan kepadamu bahwa aku mengandung anakmu, aku telah memutuskan untuk membawanya ke tempat asalku, di mana aku akan mengajarkan kepadanya tentang makna kematian,” ujar Yayi sambil mengelus kepalaku yang tengah kusandarkan di pangkuannya. Saat itu angin tak berembus ketika kami tengah duduk berdua di bawah pohon pinus itu.

Baca juga  Belati di Dada Alya

“Jangan khawatir, aku dan anak kita tidak akan merepotkanmu. Bukankah itu janjiku ketika aku memutuskan untuk mencintaimu. Aku tak ingin mengubah apa pun dalam kehidupanmu. Kamu akan tahu kapan saatnya kamu akan merindukanku dan menemukanku. Aku akan selalu menunggumu. Dalam keabadian.”

Aku tak hanya mengakhiri pertemuan kami, tapi juga mengakhiri hidup Yayi. Aku menguburkan seluruh kenangan tentang Yayi di pohon itu yang kemudian mengering dan mati. Dan setahun setelah pohon itu mati, ada kematian yang terjadi di pohon itu tepat di hari perpisahanku dan Savitri. Tak ada yang tahu bahwa mereka yang mati di pohon itu, sehari sebelumnya mendatangiku dan berkisah bahwa mereka tiba-tiba berpikir tentang makna kematian yang berbeda-beda.

“Tanpa disadari, sebenarnya manusia berpikir bahwa ada keabadian yang mengiringi kematian. Karena itulah nisan, prasasti, dan monumen justru dibangun untuk manusia yang telah mati. Pohon mati di tempat Bapak itu sebenarnya harus dipandang sebagai pengingat akan keabadian itu. Lihat saja bahwa ketika pohon itu mati, ia tak memerlukan siapa pun untuk menyiramnya, memupuknya, merawatnya. Ia tetap tegak berdiri dalam kematiannya. Harusnya penduduk desa ini menyadarinya,” ujar Badar sehari sebelum ia mati, sambil minum teh hangat dan pisang goreng di beranda belakang rumahku, memandang pohon mati itu yang berdiri diam di kejauhan.

Kini di tahun keempat, menjelang tanggal 24, aku tak lagi mendapat kunjungan siapa pun ke rumahku. Tadi malam, anakku telepon dan mengatakan masih tidak akan pulang Natalan nanti karena masih merasa jengah dengan penduduk desa jika pohon mati itu masih berdiri. Subuh ini, sebelum matahari terbit, aku berjalan menuju pohon itu. Sambil mengelus batang pohonnya, aku berbisik.

“Sayang, aku sudah rindu. Denganmu, dengan semua kenangan tentang kita.”

Ada kelegaan di dadaku saat dengan perlahan aku duduk di tanah dan menyandarkan punggungku di batang pohon. Sambil terpejam, kubiarkan nyala matahari yang perlahan-lahan terasa hangat di kulitku, membuatku mengantuk dan mengantarkanku pada bayangan Yayi. Kurasakan angin tiba-tiba berembus lirih dan kudengar suara bisikan Yayi di telingaku, memanggil namaku. ***

Dewi Ria Utari. Pemimpin Redaksi Majalah Seni dan Gaya Hidup Saraswati. Sejumlah cerita pendeknya telah dibukukan dan bisa ditemui di sejumlah antologi cerpen. Beberapa cerpennya juga masuk dalam antologi Cerpen Pilihan Kompas.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!