Cerpen Aliurridha (Kompas, 12 Januari 2025)
UNTUK kesekian kali, Bogart memencet klakson. Tidak, itu bukan lagi memencet, ia memukul tombol klakson. Aku terkejut dengan apa yang dilakukannya. Pengendara motor itu tidak kalah terkejutnya. Teriakan bel membuat motornya goyang. Hampir saja ia jatuh. Lalu seolah memukul tombol klakson tidak cukup, Bogart memaki-maki pengendara yang sedari tadi menutup jalur berkendaranya. Begitu si pengendara menyingkir ke kiri, ia tidak menginjak pedal gasnya. Ia malah menggerutu. “Mereka pikir jalanan ini punya nenek moyang mereka, apa? Nanti kalau kita tabrak dia, kita yang disalahin,” keluhnya. Lalu seolah apa yang barusan terjadi itu tidak pernah ada, Bogart melanjutkan ceritanya.
“Terus karena saya menolak disuruh menyerah, tangan saya dipelintir. Badan saya didorong. Wajah saya sampai menempel di badan bus. Moncong pistol ditodongkan ke belakang kepala saya. Disangkanya saya takut. Bogart pantang takut. Meski sebenarnya saya takut, saya pura-pura berani. Tidak mau kelihatan salah. Bogart memang tidak salah. Polisi itu kadang suka sok berkuasa. Kalau tidak dilawan, diinjak-injaknya kepala kita.”
Lelaki ini terus saja bercerita. Kadang ia menyebut namanya sebagai kata ganti orang pertama, dan itu sempat membuat aku kebingungan mengikuti ceritanya. Begitu aku mengerti, aku merasa geli. Wajahnya yang serupa preman terminal begitu kontras dengan gaya bicaranya. Meski rada kesal, aku mulai menikmati ceritanya. Kuanggap saja itu sebagai dongeng pengantar tidur.
Namun, tidak dengan istriku.
Istriku yang duduk di sebelah kiriku menunjukkan gejala serupa tungku mau mendidih. Ekspresi wajahnya menuntutku untuk membungkam mulut Bogart yang tidak henti-hentinya bicara sejak kami memulai perjalanan. Semakin kesal saja dirinya karena mini bus yang kami tumpangi berjalan dengan sangat lambat, dan si empunya malah sibuk bercerita. Belum lagi Bogart membuka kaca jendela di sebelah kanannya agar ia bisa merokok. Itu membuat AC mini bus ini tidak bekerja. Anakku yang tertidur di pangkuan istriku mulai gelisah karena kepanasan. Beberapa kali ia terbangun dan menangis. Setiap kali ia terbangun, istriku melontarkan keluhan. Sempat aku berpikir untuk memindahkannya ke pangkuanku agar beban dan kekesalan istriku bisa berkurang, tetapi aku lebih khawatir dengan asap rokok yang sesekali menyenggol kami.
“Sudah saya bilang, ‘Kalian salah tangkap. Bogart ini orang baik-baik.’ Mereka tidak percaya. ‘Orang baik-baik tidak akan melawan,’ kata si tinggi. Masak saya tidak melawan dituduh bawa sabu. Begini-begini, Bogart tidak pernah sentuh sabu. Saya bilang ke mereka, ‘Saya ini keponakan Pak Gede, Kapolres KSB.’ Sial, mereka tidak percaya. Ya, saya juga kalau ada orang yang bilang kenal Pak Gede bakalan tidak percaya. Tapi saya benaran kenal Pak Gede. Waktu itu saya yang bantu kasih info peredaran sabu di kampung saya. Pak Gede sangat berterima kasih karena berkat saya, bandar dari Jawa itu bisa ditangkap. Barang buktinya satu setengah kilo sabu dan duit dua ratus juta. Itu duit semua. Banyaknya bukan main. Saya sempat tergiur buat ambil sedikit waktu datang ke TKP. Tapi, ya, saya tidak berani.”
Bogart terus saja nyerocos. Istriku terus saja ngedumel. Dan aku terus saja gelisah. Aku takut istriku marah-marah, dan kami jadi kena masalah. Kutenangkan dia dengan berkata, “Nanti Abang bakal laporin dia ke atasannya biar dia dipecat atau minimal ditegur.” Istriku tidak menanggapi, namun aku lega ketika melihat ia menaruh kepala ke sandaran kursi.
“Setelah mengacak-acak barang bawaan saya dan apa yang mereka cari tidak ketemu, mereka kesal. Penumpang saya disuruh keluar semua. Satu per satu penumpang turun, barang-barang penumpang digeledah. Saya bilang saya akan tuntut mereka. Mereka cuek. Tidak dianggap saya orang kali, ya? Saya suruh mereka telepon Pak Gede kalau tidak percaya. Bogart ini orang baik-baik. Taat hukum. Tidak pernah sekalipun sentuh barang haram. Kalau minum, bolehlah sesekali.”
Orang ini mulutnya apa tidak lelah bicara terus? Jika ada lomba bicara, mungkin dia bakal jadi juara.
Bayangkan, sudah melintas pulau dan ceritanya tidak habis-habis. Bahkan beberapa kali aku merasa ia sengaja melambatkan kendaraannya, seolah takut kami keburu sampai sebelum ceritanya selesai. Beberapa kali istriku melemparkan keluhannya karena bus ini berjalan begitu lambat. Bahkan pernah ia sampai menyindir, “Ini sudah di mana? Astaga masih di Lotim!” Mendengar itu, Bogart menghentikan ceritanya dan berkata, “Bogart bisa saja ngebut, tapi Bogart pilih selamat.” Bogart kemudian menjelaskan akhir-akhir ini sering terjadi kecelakaan oleh bus perusahaan saingannya disebabkan sopir mereka ugal-ugalan.
“Cepat sih cepat. Tapi risikonya itu. Abang tahu kan cerita travel yang terbalik di Tano itu? Untungnya tidak ada korban jiwa. Untung juga ada Bogart. Saya ini sudah yang tolong orang-orang itu. Sopirnya mohon-mohon ke Bogart buat titip penumpangnya. Saya bilang, ‘Terus penumpang Bogart mau diapakan?’ Eh, dia malah ngintip. ‘Ini kan masih ada bangku kosong,” katanya. Memang benar ada yang kosong. Tapi masak kesalahan dia saya yang tanggung? Untung saja Bogart orang baik. Tidak tega saya lihat para penumpang itu. Saya telepon kawan saya. Saya suruh dia datang untuk jemput penumpang. Beberapa yang bisa saya angkut, saya angkut. Mereka terima kasih. Eh, tapi besoknya, kecelakaan lagi. Lebih baik begini-begini sudah. Pelan tapi selamat.”
Bogart juga bercerita, ia lebih sering membawa penumpang di malam hari. Penumpang pun senang karena tahu ia yang membawa kendaraan. Ia bercerita semua yang dikatakan penumpangnya. Ia sebutkan nama-nama penumpang yang memujinya, seolah-olah aku mengenal mereka. Ia sebutkan juga apa yang mereka katakan terkait betapa halus ia menyopir. “Bogart paham orang-orang itu lelah. Mereka pulang untuk ketemu keluarga, bukan ketemu Tuhan. Jadi Bogart pelankan laju kendaraan biar mereka bisa nyenyak. Nanti bangun-bangun mereka sudah tiba di rumah,” katanya memuji dirinya.
Istriku berbisik di telingaku. “Biar sudah saya enggak bisa tidur, yang penting cepat sampai rumah.”
“Waktu barang itu tidak ketemu, mereka bingung,” kata Bogart melanjutkan ceritanya. “Mereka yakin benar Bogart bawa barang. Terus mereka saling salahkan. ‘Ini bukan Fajar Indah, ini Balong Ate. Kita salah,’ kata pemuda kerempeng yang dari penampilannya kelihatan jelas masuk polisi karena nyogok. Atasannya yang berkumis tebal itu memaki-makinya. Si kerempeng bilang, ‘Izin, Ndan. Dari tadi saya sudah bilang, tapi komandan tidak mau dengar.’ Ehm… Bogart pura-pura batuk. Mereka kemudian minta maaf. Terus si kerempeng mengatakan Fajar Indah baru saja lewat. Si kumis lagi-lagi memarahinya. Kasihan betul jadi bawahan; atasan yang salah, bawahan yang kena marah. Si kumis lantas menelepon kawannya, melaporkan, dan meminta kawannya mencegat Fajar Indah. Untung belum sampai terminal Bertais. Kalau sudah sampai, hilang sudah. Dan ternyata informasi yang mereka terima tidak salah, kernet Fajar Indah bawa 1,5 kilo sabu. ”
“Bang, awas!” kata saya memotong ceritanya. Ada pengendara motor di tengah jalan. Bogart tidak langsung menginjak pedal rem, ia pelankan laju kendaraannya hingga moncong bus ini nyaris menempel pada pantat motor. Aku terkinjat melihat betapa tipis jarak bokong motor dengan moncong bus. Pengendara itu kemudian menyingkir. Bogart berkata, “Santai saja, Bang. Bogart ini profesional. Tadi itu ibu-ibu. Kalau Bogart pencet bel, bisa-bisa dia kaget dan berguling-guling di jalan. Kalau dia mati, kita yang disalahin.”
Aku mengangguk, kemudian menoleh ke arah istriku. Ia masih tenggelam dalam nyenyak. Setelah kupikir-pikir, apa yang dikatakan Bogart tidak salah. Ia menyopir dengan sangat halus. Seandainya sopir lain, istriku pasti bangun. Bogart pandai betul memelankan laju kendaraannya. Dengan tenangnya ia menunggu, ia baru menginjak rem begitu sudah dekat, sehingga istriku yang tertidur, tidak tersentak ke depan. Ia masih tertidur. Aku mengucap syukur. Jika bangun, ia pasti bakal marah-marah dan bikin aku kena masalah.
Bogart kembali melanjutkan ceritanya. Setelah itu para polisi menunggunya di terminal. Atasan si kumis langsung menemuinya, meminta maaf atas keteledoran anak buahnya. Ia pun mentraktir Bogart makan, dan sejak itu mereka jadi kawan. Sekarang, Bogart memiliki semacam hak impunitas ketika berurusan dengan polisi. Ia bisa berjalan dengan aman. Kalau ada razia, ia tidak diperiksa dan dibiarkan jalan. Aku tentu saja tidak percaya pada cerita kawanku, Reza. Kupikir itu sekadar bualan Reza agar aku berani pulang dengan Balong Ate membawa titipannya. Namun begitu aku melihat ada orang yang berbalik arah karena razia gabungan, sedang Bogart dengan santai ngeloyor tanpa diperiksa, aku kira cerita itu ada benarnya. Bogart cukup membuka kacamata hitamnya, menyapa polisi, kemudian melanjutkan perjalanan. Para polisi itu menaruh hormat kepadanya.
Begitu tiba di rumah, istriku langsung memaksaku untuk menelepon perusahaan Balong Ate, melaporkan bagaimana Bogart membuatnya kesal sepanjang perjalanan. Perjalanan yang seharusnya hanya 7 jam menjadi 11 jam. Aku dengarkan saja keluhan istriku, tetapi aku tidak menanggapinya. Tidak juga aku melakukan perintahnya. Tidak mungkin aku melakukannya. Bogart adalah jalan tol kesuksesanku. Lagi pula aku perlu mengantar setengah kilo sabu ini segera. Tidak boleh lama-lama membawa barang berbahaya. ***
.
.
Blencong, April 2024
Aliurridha, pengajar di prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Mataram. Bergiat di komunitas sastra Akarpohon.
Nugrahardi Ramadhani alias Dhani Soenyoto, lahir di Malang, 1981. Lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, kini tengah kuliah doktoral dan mengajar di DKV ITS, Surabaya. Aktif menulis, freelance graphic designer, berkesenian, dan AI enthusiast.
.
.
Bogart.
Leave a Reply