Apa yang dapat terjadi dalam sepuluh tahun hidup seseorang? Bisa jadi bukan apa-apa. Setiap pulang kampung ke Karangasem, aku melihat orang-orang yang melakukan hal yang sama. Perempuan tua penjual pindang itu masih setia menyunggi sayur-mayur, tahu, pindang, bawang merah, bawang putih, yang menjadi barang dagangannya. Mas penjual dawet itu masih menjual dawet dengan rasa dan warna yang sama persis. Bahkan dengan wajah yang sama. Seolah ia tidak pernah menua. Sepuluh tahun bisa menjadi sangat berarti, atau tidak sama sekali.
KECUALI Ketut Rapti. Perempuan itu berhasil melintasi busur menuju titik seratus delapan puluh derajat untuk menjadi dirinya yang sekarang. Tidak pernah kubayangkan, Ketut Rapti yang sering berbicara dengan terbata-bata dan memandang dengan senyum malu sekarang tinggal di rumah gedongan, tempat para artis atau pejabat tinggi biasanya menetap.
Semua karena lidahnya eh… lukisannya… eh bukan… lidahnya. Beberapa kali Ketut mengirim SMS, agar aku mampir ke kantornya. Namun, aku selalu tolak dengan berbagai alasan. Entahlah. Aku minder untuk menemuinya. Hidupku tidak banyak berubah dalam sepuluh tahun terakhir. Kecuali bahwa aku juga pindah ke Jakarta sepertinya. Kecuali bahwa aku juga meninggalkan kampung kami yang sunyi di Karangasem, Bali.
“Made, mainlah ke kantorku. Tiang kangen sama kamu. Tiang ingin membantumu kalau kamu butuh sesuatu.”
“Ya, Tut, tiang pasti mampir. Tapi, pekerjaan menumpuk. Kapan-kapanlah kalau senggang.”
Ajakan Ketut Rapti sejak setahun yang lalu itu tidak pernah aku sanggupi. Mungkin karena aku pun tidak ingin menceritakan alasanku pindah ke Jakarta kepadanya adalah tergiur pada kemewahan yang dimilikinya, yang berulang kali disorot TV, dan barangkali aku terlampau lelah dengan hidupku sendiri di Denpasar, yang hanya begitu-begitu saja.
Entah mengapa, Bali dengan taksu-nya yang menjadi magnet bagi siapa saja membuat aku muak. Ketut Rapti dan keberhasilannya seperti menyedotku untuk ikut berkerumun di sekitar terang yang menyilaukan. Aku mencoba terbang sebagai laron-laron yang hanya berpegang pada sayap-sayapnya yang lemah. Mencoba satu peruntungan untuk bisa menemukan cahaya paling terang.
Pagi ini pun, SMS itu mampir kembali.
“Pagi Made. Apa kabarmu. Tidak tampak juga batang hidungmu di kantorku.”
“Seperti biasa, Tut. Sibuk. Bos seperti tidak bisa melihat tiang santai barang sejenak.”
“Kali ini, aku mohon datanglah. Tiang sedang ada perayaan kecil-kecilan di rumah. Sepuluh tahun, tiang menginjakkan kaki di Jakarta. Tiang ingin mengucap syukur kepada Ida Betara atas keadaan tiang yang sekarang. Tiang sangat mengharapkan kedatanganmu. Kedatanganmu akan menjadi hadiah buat saya. Tolonglah. Tiang mohon padamu.”
SMS yang sangat panjang dari Ketut Rapti. Mengandung permohonan, yang sepertinya tidak kuasa aku tolak. Ada apa dengan Ketut Rapti, yang kaya-raya itu, sampai memohon-mohon kepadaku.
“Baiklah, Tut. Tiang akan usahakan untuk mampir. Tidak perlu memohon-mohon seperti itu.”
Sebuah tanda titik dua dengan kurung dikirimkan Ketut Rapti sebagai pertanda kegembiraannya.
“Lain kali kita harus berkirim SMS dengan WA, jadi aku bisa mengirim senyum betulan padamu. Juga terima kasih yang berbunga-bunga.”
Tanda titik dua dan tanda kurung lagi.
“Tidak apa-apa. Tiang lebih senang berkirim SMS biasa.”
Aku ketik sebuah tanda titik dua dengan kurung. Agar ia memercayai ucapanku. Mulai berkelebatan gambaran tentang bagaimana pertemuanku dengan Ketut Rapti sore ini. Saat aku memasuki kantornya yang dipenuhi oleh lukisan-lukisan lidah karyanya. Apakah itu akan terlihat menyeramkan atau menakjubkan seperti kata-kata kritikus yang memujinya? Seingatku, aku sering bergidik membayangkannya. Bagaimana mungkin lidah yang terlihat menyeramkan itu bisa membuat Ketut Rapti menjadi kaya-raya. Aku termenung-menung.
Memasuki ruangan demi ruangan Ketut Rapti sore ini, aku memaksakan sebuah senyum termanis untuknya. Ketut Rapti, seorang tokoh ternama, apalah diriku dibanding dirinya.
“Masuklah, Made, jangan sungkan-sungkan. Tiang senang sekali ada teman sekampung di Jakarta.”
Aku hanya mengangguk lemah dengan senyum manis yang telah terpasang sempurna di wajah. Bahuku agak membungkuk, seolah menghormat kepada keberhasilan perempuan sebaya di hadapanku. Aku berusaha keras menahan gejolak pada perutku. Rupa-rupa lidah sudah menyambutku sejak pintu berpapan nama “Ketut Rapti House of Art” itu dibuka. Lidah yang menjulur. Lidah yang menjilat. Lidah yang sedang mengunyah atau lidah yang sedang diam di dalam mulut yang tertutup rapat. Aku hampir menjerit ketika kakiku membentur sebuah lidah seukuran raksasa berbentuk ranjang bayi.
Ketut Rapti terlihat semakin riang membawaku menikmati koleksi lidahnya. Ia terlihat puas dengan ekspresi wajahku yang menunjukkan rasa takjub. Ketut terlihat semakin riang ketika kami tiba di ruangan terakhir.
“Ini ruangan utama kantorku.”
Segumpal cairan hampir saja terlontar dari mulutku kalau saja aku tak cepat menutupnya dengan kedua tangan dan berpura-pura batuk.
“Huk… huk… huk…”
“Kamar mandi di sana, De. Kenapa kamu, sakit? Jangan terlalu keraslah bekerja.”
Ketut masih bicara di luar ruangan ketika aku mengeluarkan cairan kental ke lubang kakus Ketut Rapti yang mewah.
“Made bekerja saja di sini. Tiang bisa gaji dengan tinggi. Tiang senang berada di sekitar teman-teman sekampung. Hampir semua orang yang bekerja di sini orang Bali.”
Bermenit-menit lewat, setelah aku mengeluarkan lima episode cairan kental itu. Menyiramnya cepat-cepat, dan menuangkan banyak sabun, untuk menghilangkan baunya yang menyengat. Aku berusaha memulihkan ekspresi wajahku untuk menemui Ketut Rapti. Namun, wajahku masih memerah. Mudah-mudahan Ketut Rapti tidak mengetahui.
“Aduh kok wajahmu merah sekali. Kamu sakit apa?”
“Tut, sepertinya tiang harus pulang. Tiang tidak enak badan.”
“Waduh, kok cepat sekali. Kita belum sempat bicara. Istirahatlah di kamar tamu. Besok pagi kita bicara.”
“Tidak, Tut. Ini beda sekali. Rasanya tiang kerauhan. Dipanggil-panggil roh leluhur untuk pulang ke Bali?”
“Iyakah? Tiang belum pernah tahu ada kejadian seperti itu?”
“Tiang merasakannya kuat sekali. Maafkan, Tut. Tiang harus pulang. Begitu mendapatkan tiket bus, tiang langsung pulang ke Karangasem.”
“Naiklah pesawat. Tiang belikan untukmu.”
“Tut, tiang harus pulang sekarang. Maafkan.”
Aku bergegas pergi, sebelum Ketut Rapti mencegahku dengan kata-katanya yang tidak bisa dibantah.
“Tunggu Made…!”
Aku tak menghiraukan panggilan Ketut Rapti dan terus melangkah bergegas menuju lift terdekat. Ketika tubuh Ketut Rapti tidak terlihat, aku berlari tanpa suara. Suara Ketut Rapti masih terdengar memanggilku. Namun, lift yang terbuka, menyelamatkan aku dari kedatangannya.
Aku menghela napas lega sambil memegangi kepalaku yang masih pengar oleh aneka rupa lidah yang berjejer di lorong panjang menuju ruangan utama Ketut Rapti. Sebuah ruangan berbentuk rongga mulut, dengan lidah merah darah menjuntai ke bawah. Aku bergidik. Perutku kembali bergolak ketika otakku memutar kembali gambar jejeran boneka berbulu berbentuk lidah yang menyesaki lantai marmer yang kami lewati.
Mulai hari ini, aku harus menemukan cara untuk menghindari Ketut Rapti. Nomor HP ini harus aku buang. Ketut Rapti tidak boleh tahu bahwa aku tidak pernah pulang kampung seperti yang aku ceritakan. Atau kerauhan roh leluhur seperti ceritaku.
Tringgg….
“Halo…”
“Halo Made?”
Darahku berdesir. Suara ini sangat aku kenal.
“Halo Made, ini Ketut Rapti.”
Jantungku seperti berhenti beberapa saat.
“Bagaimana Ketut tahu nomor HP tiang?”
“Tiang sedang ada di rumahmu di kampung.”
Jantungku makin berdebar cepat.
“Untuk apa Ketut ke rumah tiang.”
“Kan Made bilang, Made akan pulang kampung secepatnya. Karena tidak bisa menelepon Made, tiang memutuskan untuk terbang ke Bali untuk menemui Made. Meme bilang, handphone Made dicopet orang, apa benar?”
Aku tercekat. Kehabisan kata-kata.
“Kenapa tidak jadi pulang kampung? Kehabisan ongkos?”
“Tidak, Tut. Tiang memang tidak berencana pulang kampung. Maafkan tiang berbohong padamu. Tiang takut berkata jujur padamu.”
“Takut kenapa, tiang bukan monster.”
“Sebenarnya tiang ngeri melihat lidah-lidah di kantor Ketut. Tiang mabuk, dan tak sanggup lagi berada di ruangan itu.”
“Hanya itu…. ha… ha… ha…. Mengapa harus takut mengatakannya. Made seperti tidak mengenal tiang. Tiang tidak gampang marah pada apa saja.”
“Ketut sudah menjadi orang sukses, tiang tidak pantas mengatakan itu.”
“Made… Made… tiang yang dulu dengan yang sekarang sama saja.”
“Maafkan tiang yang sudah membohongimu.”
Ketut Rapti masih tertawa terbahak-bahak di ujung telepon. Aku hanya terdiam mendengarkan. Ketut Rapti mengatakan dirinya tidak berbeda dengan ia sepuluh tahun yang lalu. Nyatanya, Ketut Rapti yang pernah dikenalnya dulu adalah Ketut Rapti yang pemalu dan sering menyembunyikan dirinya di sudut kelas. Ketut Rapti yang sekarang adalah Ketut Rapti yang gemar tertawa terbahak-bahak. Seolah-olah semua kesedihan telah disuling dari hatinya.
Mendadak, suara tawa terbahak-bahak itu berhenti. Seperti ada geledek yang menyambarnya.
“Sebelum Made kabur lagi, saya akan langsung mengutarakan maksud saya di telepon ini.”
“Ya, Tut, katakanlah.”
“Maksud tiang mengundang Made ke rumah.”
Aku mengangguk takzim pada telepon di telingaku, percaya Ketut Rapti bisa melihatnya. Mungkin sejak lama, aku percaya Ketut Rapti mempunyai kesaktian yang ia simpan rapat-rapat.
“Setelah sepuluh tahun, ternyata lidah tiang tidak lagi menimbulkan tekanan yang dalam pada huruf T. Lidah tiang menjadi datar. Umum.”
“Apa yang salah dengan itu, Tut. Ketut sudah lama di Jakarta. Sudah banyak bergaul dengan berbagai macam suku. Waktu adalah buldoser. Mungkin waktu pula yang meratakan lidah Ketut. Tiang kira itu lebih baik. Tiang masih sering malu, bila ada orang yang menandai tekanan yang dalam pada huruf T tiang. Tiang sering merasa takut dikenali. Itu membuat tiang menjadi berbeda. Tiang takut kepada orang-orang yang membenci perbedaan.”
“Masalahnya lebih dari itu Made.”
“Lalu apa masalahnya?”
“Beberapa hari ini tiang kaget mendapati lidah tiang yang datar. Kaget pada komentar sejumlah orang yang mengatakan lidah tiang yang datar. Sepuluh tahun yang lalu, mungkin tiang akan merasa gembira. Tiang bisa diterima bekerja di mana saja. Namun, sekarang, lidah yang datar itu adalah malapetaka yang besar.”
“Malapetaka?”
“Tiang tidak mampu lagi menghasilkan lukisan lidah yang tiang bangga-banggakan. Ternyata mukjizat itu hanya terjadi pada saat lidah tiang menimbulkan tekanan yang dalam pada huruf T.”
“Ajaib sekali.”
“Itulah mengapa tiang menemui Made.”
“Apa hubungannya tiang dengan semua itu.”
“Tiang ingin Made menularkan tekanan dalam pada hurut T itu kepada tiang.”
“Apakah hal itu, sesuatu yang bisa ditularkan, Tut?”
“Bisa. Harus bisa. Tanpanya, tiang bisa jatuh miskin lagi, dan menjadi Ketut Rapti yang dulu. Ketut Rapti yang konyol. Made baru setahun di Jakarta. Tekanan pada huruf T Made masih sangat dalam.”
“Tiang masih belum yakin bahwa hal itu bisa menular.”
“Yakinlah, Made.” Suara Ketut Rapti meninggi. “Tiang akan membayarmu dengan sangat mahal.” Aku menciut pada tekanan yang dalam pada suara Ketut Rapti. “Bahkan kalau perlu, kita bisa menukarnya dengan operasi plastik.”
Byarrr…. Telepon genggam itu jatuh dengan hantaman keras ke lantai keramik. Beberapa bagiannya terlempar ke empat penjuru mata angin. Aku memandangi beberapa saat dan tidak melakukan apa-apa. Hhhh…. Aku menarik napas lega. ***
Arti Kata:
Pindang: ikan tongkol
Tiang: saya
Meme: ibu
Kerauhan: kerasukan
Menyunggi: membawa dengan kepala.
Ni Komang Ariani, penulis buku Jas Putih, Bukan Permaisuri, Senjakala dan Lidah. Dua kali masuk 10 Besar Khatulistiwa Literary Award dan Cerpen Pilihan Kompas. Saat ini bekerja sebagai dosen dan bergiat di Teroka Indonesia.
Leave a Reply