Cerpen FX Rudy Gunawan (Kompas, 26 Januari 2025)
SUHU udara kota Shanghai di ujung bulan November, saat menjelang musim dingin, biasanya berkisar antara 8 sampai 10 derajat celsius dengan langit bernuansa kelabu yang membuatmu merasa murung atau nglangut tanpa sebab. Pada hari-hari di pengujung November itu, cuaca hampir selalu berkabut sepanjang hari seolah langit menurunkan sebuah tirai kelabu untuk menahan cahaya matahari dan memantulkannya entah ke planet mana. Mungkin Jupiter. Mungkin Mars atau Saturnus. Mungkin juga masih di atmosfer planet Bumi dan tersesat di lubang hitam yang tiba-tiba terbuka saat cahaya itu memantul.
“Sekitar pukul empat atau setengah lima sore, kegelapan akan menyergap begitu tiba-tiba dan kamu akan tertelan seketika dalam kegelapan itu,” tutur Tonny Tan yang menjemputku di Pudong, Shanghai International Airport.
“Seperti masuk ke lubang hitam?”
“Bisa jadi seperti itu. Apa kamu pernah merasakan masuk ke lubang hitam?” goda Tonny Tan.
Aku tak menanggapi gurauan itu. Tonny suka sekali memancing perdebatan tentang rasionalitas. Bagi Tonny, surga adalah kebahagiaan seperti ketika ia mendapatkan beasiswa S-3 di Shanghai dan neraka adalah penderitaan seperti ketika ia ditabrak bajaj dan harus dirawat selama satu bulan di rumah sakit.
Tonny Tan percaya adanya surga dan neraka dengan cara empiris seperti itu.
“Ayo kita ngopi dulu sebentar,” ajaknya.
“Itu yang kumau. Kamu seperti mind reader sekarang, Ton.”
“Ha-ha, aku fortune teller. Mau tahu apa keberuntunganmu?”
“Aku beruntung ada seorang pemuja rasionalisme yang fasih berbahasa Mandarin menjemputku di Shanghai.”
Setelah menghabiskan segelas kopi di kafe dekat pintu keluar bandara, kami segera naik taksi dan meluncur memasuki jalan-jalan melingkar yang begitu besar dan panjang.
“Sudah hafal jalanan Shanghai?” tanyaku.
“Aku selalu naik metro, yang kuhafal ya jalur metro sajalah.”
“Jalanan ini seperti lingkaran time tunnel,” aku bergumam sendiri tanpa menanggapi jawaban Toni.
(Hari pertama)
Setelah terbang selama 6 jam dari Jakarta ke Shanghai, waktu tak memberiku kesempatan untuk meluruskan badan yang ringsek. Aku hanya sempat mandi dan sarapan di sebuah warung Muslim di depan hotel tempatku menginap, Vienna Hotel di distrik baru Pudong. Sebuah distrik di pinggiran Shanghai, sekitar 20 menit dari bandara yang suasananya seperti kota Tangerang atau Bekasi, khas daerah pinggir penopang metropolitan. Warung Muslim itu pemiliknya pasangan suami-istri Cina Muslim dari daerah Sin Jiang. Warung seperti itu sangat membantu wisatawan beragama Islam, membuat mereka bisa menikmati kuliner Cina yang halal walau terbatas.
(Dua hari sebelum hari pertama)
Sehari sebelum keberangkatan ke Shanghai, aku baru saja tiba dari Kendari, Sulawesi Tenggara, dan hanya sempat tidur 3-4 jam. Mataku sudah tinggal segaris, habis ditelan lingkaran hitam tebal di sekeliling kantong mata. Kulit wajahku yang kuning pucat membuat lingkaran hitam kantong mata itu begitu menonjol. Dengan mata segaris dan kantong mata hitam itu, seusai sarapan, aku langsung menuju pameran buku anak internasional. Ini tujuan utama kedatanganku.
Aku bekerja sebagai ilustrator di sebuah penerbitan buku anak sekaligus juga seorang penulis cerita anak. Tonny Tan menjulukiku sebagai makhluk langka yang perlu dijaga baik-baik dan dilestarikan. Itu caranya menyindir keadaan memprihatinkan buku anak di Indonesia yang sangat kekurangan penulis. Buku anak dan komik Indonesia sudah lama berada dalam kondisi ‘antara ada dan tiada’. Nah, di situlah aku tinggal dan hidup. Di dunia ‘antara ada dan tiada’.
(Dua tahun sebelum hari pertama)
“Bagaimana bisa lahir satu generasi baru yang kreatif, imajinatif, cerdas dan tangguh jika dari lahir mereka tidak punya dongeng pengantar tidur? Mereka butuh dongeng urban kontemporer seperti yang kamu tulis. Bangsa kita butuh banyak penulis cerita anak yang bermutu seperti kamu, tapi sayangnya kamu seperti harimau putih yang akan segera punah jika tak dilestarikan!”
Omongan itu sempat membuat kepalaku jadi besar karena aku tahu persis kapan Tonny Tan ngomong tidak serius dan kapan ia ngomong sungguh-sungguh. Tonny Tan adalah teman baikku di masa SMA. Aku tak pernah mengira di masa menjelang tua ini, kami kembali bertemu. Aku tak menduga Tonny Tan menemukan buku cerita anak yang kutulis saat ia berlibur di Jakarta dan segera melacak keberadaanku.
“Pujianmu lebay!”
Tonny Tan hanya tersenyum nakal, seperti senyum nakal Andy Lau atau Russel Wong. Aku fans berat kedua bintang laga Mandarin yang banyak menginspirasi karakter cerita anak yang kutulis, yang disebut sebagai dongeng urban kontemporer oleh Tonny Tan itu. Aku setuju istilah itu. Terdengar seperti menegaskan dunia ‘antara ada dan tiada’ tempat aku tinggal dan hidup.
(Pagi hari di hari pertama)
“Berapa jauh dari hotel ke Shanghai World Expo Exhibition and Convention Center?”
“Paling lama satu jam pada pagi seperti ini,” jawab Tonny Tan yang masih terlihat ngantuk.
“Gak ada macet pagi yang asyik seperti di Bekasi atau Tangerang?”
“Macet di beberapa titik mendekati pusat kota, tapi bukan kemacetan tingkat dewa seperti Bekasi atau Tangerang.”
(Tengah hari di hari pertama)
“Itu cover-nya kamu yang gambar, ya?” ucap Tony sambil menunjuk sebuah buku.
Sketsa itu bergaya ilustrasi khas anak yang menampilkan kepolosan cara pandang dunia anak-anak dan membuatku narsis karena itulah salah satu ciri gaya ilustrasiku yang cukup dikenal.
“Jangan ngeledek.”
“Serius!”
“Jangan ngeledek, kalau aku yang gambar pasti jauh lebih bagus!”
Tawa Tonny yang lantang mengagetkan beberapa ibu muda yang berseliweran menjaga anak mereka agar tak hilang dalam kerumunan manusia yang memenuhi Shanghai World Expo. Perempuan-perempuan Shanghai itu sungguh jauh dari gambaran perempuan Cina sepuluh atau dua puluh tahun lalu yang ada di benakku. Mereka sangat modis, keren, bertubuh langsing dan sexy seperti para peragawati. Rok mini, baju musim dingin dengan bulu-bulu, sepatu boots yang nge-rock, rambut dicat berbagai warna. Itulah penampilan mereka.
(Sore hari di hari pertama)
Sesuai janji, setelah aku puas menikmati pameran buku anak, Tonny membawaku ke Nanjing Road, kawasan gaul paling hit di Shanghai. Tubuhku sebenarnya sudah di ambang daya tahan, tapi aneh, aku tetap bersemangat. Aku tak tahu kekuatan apa yang merasuki diriku, membuatku merasa semangat, senang dan tetap bergairah dalam kondisi tubuh capek tingkat dewa ini.
(Sekitar dua puluh tahun sebelum hari pertama)
Ini seperti pengalaman naik gunung pertama kali di masa SMA bersama Tonny Tan. Tonny adalah pendiri kelompok kami. Ia sudah punya pengalaman sebagai pendaki gunung dari kelompok pecinta alam di lingkungan muda-mudi gereja yang diikutinya sejak ia masih kelas 1 SMA. Gunung pertama yang kami daki adalah Gunung Welirang. Pengalaman pertama mendaki gunung itu membawaku pada pengalaman melewati dimensi fisik.
(Senja hari di hari pertama)
Mungkinkah kini pengalaman itu terulang kembali di Nanjing Road yang begitu ramai dan sangat luas? Terulang kembali bersama orang yang sama? Tonny Tan? Pikiran dan perasaanku tiba-tiba menjadi seriuh-ramai Nanjing Road senja itu.
“Ayo kita naik kereta cinta!”
Suara Tonny mengagetkanku.
“Hah? Kereta cinta? Di Nanjing Road?”
“Ya, kereta cinta Nanjing Road. Beneran!”
“Kenapa namanya kereta cinta Nanjing Road, Ton?”
“Karena keretanya memang dipenuhi cinta. Cinta sepasang remaja, cinta pengantin baru, cinta orang tua pada anaknya, cinta antara teman…. Ya, kereta odong-odong itu dipenuhi cinta para penumpangnya!”
“Luar biasa.”
“Ayo kita arungi semua kenangan dengan kereta cinta Nanjing Road!”
Tonny Tan tiba-tiba meraih tanganku, menggenggam erat jemariku dan menarikku naik kereta cinta Nanjing Road. Seketika aku serasa memasuki time tunnel yang membawaku ke 20 tahun silam, saat kami menjadi pasangan remaja paling ideal yang tak bisa berjodoh karena perbedaan suku dan agama. ***
.
.
Mulo, Gunung Kidul, 2024.
FX Rudy Gunawan, menulis cerpen, novel, dan puisi sejak pertengahan 1980-an. Karya terbarunya antologi puisi dua negara Indonesia & Chile berjudul Para la Vida bersama 7 penyair Chile dan 8 penyair Indonesia diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia/KPG (2023).
Sigit Santosa, lahir di Solo 1950. Lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa ASRI Yogyakarta ini setidaknya empat kali pameran tunggal dan enam kali pameran bersama. Selama 43 tahun bekerja di agen periklanan serta 21 tahun mengajar di Politeknik Media Negeri Jakarta dan Sekolah Tinggi Design Interstudi. Pernah jadi ilustrator lepas di majalah Dewi, Hai, dan Bobo.
.
.
Kereta Cinta di Nanjing Road. Kereta Cinta di Nanjing Road. Kereta Cinta di Nanjing Road. Kereta Cinta di Nanjing Road.
kurakura dapenyu
Alur ceritanya menarik. Sungguh!