Tidak mudah menjadi seorang perempuan. Sebab berkali-kali nyawanya harus digadaikan pada meja persalinan. Bernegosiasi dengan malaikat maut demi sebuah kehidupan lain. Pun tidak mudah pula menjadi seorang lelaki. Lantaran di tangan kukuhnyalah kehidupan baru itu meminta ketentuan. Apakah akan berlanjut atau cukup hingga air susu habis masanya?
MESKI demikian, menjadi keduanya tentu lebih tak mudah. Hidup di alam antara, ketika jiwa dan raga tidak seirama. Begitulah yang sering dikatakan oleh Rajab kepadaku setiap ia duduk di ayunan ban bekas yang bergantung pada dahanku. Saat itulah biasanya ia akan bercerita banyak tentang kehidupan sebagai manusia perpaduan. Makhluk yang sering dicibir, juga diperbincangkan saat menyantap pisang goreng bersama secangkir kopi hitam pahit.
Bertahun-tahun menjadi teman bicara Rajab—jika ia tak sedang bersama Landung, lelaki yang dicintai manusia perpaduan itu—membuatku sering merasa kami memiliki nasib yang serupa. Aku adalah sebatang pohon lengkeng yang masih perawan. Belum pernah sekali pun berbuah, bahkan berbunga saja tidak.
Mungkin jika manusia, aku seperti gadis yang belum pernah disentuh lelaki mana pun jua. Tetapi tunggu! Aku sudah sering memangku Rajab. Bukankah dia juga sebenarnya lelaki? Meski ia sendiri tak pernah mau mengakui itu. Katanya ia hanya terjebak di raga yang salah. Sama seperti aku yang nyatanya adalah sebatang lengkeng “bujang”.
“Rajab kada handak kawin!” [1]
Kudengar suara manusia perpaduan itu terisak. Langkahnya menghempas hamparan kulit kemiri yang menjadi pelindung tanah agar tak berlumpur jika terkena hujan. Ia berlari ke arah ayunan di dahanku yang tumbuh rendah. Tangisnya pelan seperti air sungai yang mengalir lambat di bawah kami. Mungkin agar tak didengar Abah yang masih berteriak memarahinya dari atas tangga rumah panggung gajah baliku berusia puluhan tahun itu.
“Rajab, ikam lain binian, jangan manangis! Ini pang marga rancak main dakuan jadi minda kadada tagahnya. Balalu kaya bancir haja!” [2] Abah mengumpat anak lelaki satu-satunya itu lalu berjalan memasuki rumah dengan wajah merah padam.
Di dahanku Rajab tertunduk. Kurasakan sesuatu yang hangat dari matanya membasahi tubuhku. Aahh…. Selalu begini. Abah terlalu keras padanya. Tidakkah lelaki paruh baya bertubuh tambun itu dapat memahami perasaan yang dimiliki Rajab? Sebab perasaan itu sama dengan yang dimiliki oleh tiga kakak perempuannya. Aku iba. Tak sadar beberapa daunku berguguran ke sungai bersama air mata manusia perpaduan yang terus menangis.
***
“Rajab kada handak dikawinakan lawan Hayatun….” [3] Lirih Rajab berujar pada lelaki yang menyandarkan kepala manusia perpaduan itu di pundaknya.
Landung menatap pilu. Lalu mengusap beberapa bulir bening yang berebut hendak jatuh dari mata sang kekasih. Kekasih yang bagi banyak orang bukanlah sesuatu yang wajar. Sebab secara raga mereka adalah sama. Meski bagi Rajab dan Landung, jiwa mereka berbeda. Dan hanya Landung sajalah yang memahami hati Rajab. Rajab, lelaki yang raganya terlalu ringkih untuk disebut sebagai lelaki.
“Kalau Rajab mau, besok biar ikut Landung ke Nagara, bagaimana? Sebelum subuh lanting [4] Amang [5] dari Loksado akan tiba di sini untuk dijual ke Nagara,” ucap Landung dengan usapan di rambut panjang milik Rajab. Rambut yang berkali-kali pernah Abah coba potong secara diam-diam.
Rajab menatap ragu. “Apa tidak akan ada yang tahu?”
Landung menggeleng. Tapi aku berteriak dalam diamku. Aku tahu Rajab, aku tahu rencana kalian. Hanya saja aku tak mampu mengatakannya. Daun-daun berguguran itu sajalah yang berbicara meski mungkin kau tak memahaminya. Duhai Rajabku, sebegitu teganyakah engkau padaku? Bertahun-tahun kutemani engkau, menjadi tempat berayunmu, melindungi dari teriknya raja siang yang membakar, juga “pundak” apabila kau menangis tanpa Landung.
Lalu kini kau akan meninggalkanku dan pergi bersama lelaki itu? Aku bukan cemburu Rajab. Karena kutahu kau akan lebih bahagia bersamanya, takkan lagi diperbincangkan di warung sedari pagi hingga malam, bahkan tiada lagi yang akan memarahimu seperti Abah. Tetapi, aku tak ingin sendiri, Rajab. Pohon di sini tidak ada yang senasib denganku seperti dirimu. Mereka telah berbuah bahkan beranak. Sekarang aku yang terisak, Rajab….
Di senja yang perlahan membias langit dengan semburat tembaga itu kusaksikan kalian berbincang dengan bahagia. Siluet Landung yang menggenggam tanganmu tampak begitu indah terpantul di atas jembatan kayu ulin itu Rajab. Kembali tangisku pecah dibuatnya.
“Kemasi barangmu setelah ini. Kita akan pergi besok sebelum orang datang untuk memasak di pernikahanmu…,” ujar Landung sembari merengkuh tubuh Rajab.
Manusia perpaduan itu mengangguk dengan seulas ceruk bulan sabit di wajahnya. Sekilas ia memang lebih pantas disebut galuh [6] dengan rupa yang begitu cantik. Berpadu manis dengan kulit sewarna kulit langsat. Pantas saja Landung, lelaki Dayak dari Loksado itu, jatuh hati kepadanya. Sayang, Tuhan mana pun takkan pernah merestui cinta keduanya. Sebab itu sebuah kenistaan yang nyata.
***
Tirai langit malam belumlah terbuka dengan sempurna saat dua manusia itu mulai menuruni anak tangga menuju titian ulin di sebuah batang. Tangan mereka tampak bergenggaman erat. Aku dapat melihat itu dari pantulan cahaya suluh [7] yang tergantung di samping jamban. Mataku sebenarnya masih terasa berat, tetapi mendengar suara kaki melangkah di hamparan pecahan kulit kemiri itu jelas membuatku terganggu. Tetapi, mataku seakan dipaksa terbuka ketika mengetahui dua orang itu adalah Rajab dan Landung.
Bergegas kugugurkan beberapa daun. Tetapi, itu rasanya tak cukup membantu untuk membuat Abah dan Umbui [8] terbangun. Menyadari sang pengantin akan pergi dengan mempelai lain, aku kalap. Kubangunkan pohon kelapa dengan mematahkan beberapa ranting yang kemudian jatuh mengenai mayangnya. Kelapa marah bukan kepalang menyadari bakal buahnya rusak tak beraturan. Walhasil ia tak bersedia membantuku untuk membangunkan Abah dan Umbui. Meski sudah kubujuk agar ia mau menjatuhkan sebiji saja buahnya yang telah tua sehingga bisa menghadirkan suara gaduh ketika menghunjam hamparan pecahan kulit kemiri.
Kulihat lanting milik Amang Landung yang dibawa dari aliran Sungai Amandit di Loksado telah menepi. Tak lama mereka mulai menjauh, membelah pekatnya kabut jelang subuh. Aku terisak nyaring bersama daun yang terus gugur juga ranting yang sengaja kupatahkan. Pohon tigarun, nangka, dan lua menatap iba. Aku tak peduli. Dalam benakku hanya ada kepedihan setelah ditinggal sendiri di sini oleh manusia perpaduan itu.
Tepat ketika cahaya sang raja siang mulai menelusup di balik rimbun dedaunan, Lok Lua bergeliat nyaring. Mendadak permukiman di tepi aliran Sungai Amandit itu gempar. Pengantin yang hendak dikawinkan raib tak berjejak. Hanya gadang [9] pisang dan umbut kelapa serta kawah [10] yang tersisa di halaman. Juga tangis Umbui di beranda rumah panggung gajah baliku. Seperti tangisku tadi saat melepas Rajab pergi bersama Landung.
“Itai [11]-ku hilang dibawa pergi orang … Aluh… Ke mana kau, Nak?” Umbui berujar lirih menatap aliran Sungai Amandit dari beranda rumah panggung.
Berkali-kali ia menyebut kata Aluh [12], sebuah panggilan yang sejak dulu diminta oleh Rajab. Namun, tak pernah ia dapatkan. Picingan mata Abah selalu mampu merejam hasrat itu. Sebab Rajab adalah Utuh, bukan Aluh. ***
Keterangan:
[1] Rajab tidak mau menikah!
[2] Rajab, kamu bukan perempuan, jangan menangis! Ini pasti gara-gara terlalu sering bermain congklak jadi seperti tidak gagah. Malah seperti banci!
[3] Rajab tidak ingin dikawinkan dengan Hayatun.
[4] Rakit bambu
[5] Paman
[6] Panggilan kesayangan bagi anak perempuan dalam bahasa Banjar
[7] Obor dari bambu
[8] Ibu
[9] Gedebong
[10] Wajan besar
[11] Panggilan kesayangan dalam bahasa Banjar
[12] Aluh (Galuh) merupakan panggilan kesayangan untuk anak perempuan.
Miranda Seftiana, lahir di Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Kesehariannya diisi dengan menulis di beberapa media baik cetak maupun daring (online). Salah satu buku karyanya berjudul Senandung Cinta untuk Bunda diterbitkan Leutika Prio pada tahun 2011. Selain sebagai penulis, ia juga bekerja di salah satu penerbit buku yang berlokasi di Yogyakarta sebagai proofreader.
Leave a Reply