Cerpen S Prasetyo Utomo (Solopos, 25 Januari 2025)
DI tepi jalan yang melintasi Lembah Kelelawar berdiri warung kopi Salindri. Warung itu didatangi para pelanggan. Mereka memesan kopi, makan pisang goreng, dan ketan dilumuri serundeng kelapa.
Mereka melepas penat setelah seharian bekerja di ladang. Salindri berdandan agar menarik di mata para lelaki setengah baya yang berkunjung ke warung kopi itu.
Wajah Salindri mengesankan ia sudah melupakan Samsu, anak lelakinya yang dihukum mati karena merampok, menembak mati tiga polisi, dan membunuh seorang napi di penjara.
Ia ramah pada siapa pun yang datang ke warungnya. Begitu juga pada Dul Manan, lelaki muda buron polisi. Salindri menerima kedatangannya di warung, bahkan di rumah, dengan sembunyi-sembunyi.
Menjelang malam, datang tiga lelaki setengah baya, teman berjudi almarhum suami Salindri. Mereka berbincang-bincang, bercanda, memesan kopi.
“Warung ini segera kututup,” kata Salindri dengan senyum menggoda. “Kita lanjutkan pertemuan ini di rumah.”
Tiga lelaki penjudi berumur setengah baya mengikuti langkah Salindri, memasuki ruang tamu rumah kayu. Mereka berjudi, menenggak tuak, ciu, dan mengepulkan asap rokok.
Salindri ikut serta dalam lingkaran orang-orang yang berjudi.
“Kalau suamimu bangkit dari kubur, tentu ia akan ikut dalam lingkaran ini!” kata seorang penjudi.
“Ia akan menghabiskan ciu.”
“Tentu suasana akan seru!”
Tidak sampai pagi mereka berjudi. Pada Subuh dini hari, Salindri mengusir tamu-tamunya pulang. Ia perlu tidur dan menjelang siang membuka kembali warung kopi yang banyak didatangi pelanggan.
Orang-orang yang melakukan perjalanan menyempatkan diri singgah di warung kopinya. Ia menerima tamu tak dikenal yang datang hanya untuk menikmati seduhan kopi yang kental serta ketan berlumur serundeng kelapa.
***
Remang senja ketika Dul Manan diam-diam menyusup ke warung kopi. Warung sepi tanpa pengunjung.
Tersentak, Salindri tak menduga lelaki muda itu menemuinya saat warung kopi senyap. Lelaki muda itu seperti sengaja mencari kesempatan warung sepi tanpa pengunjung.
Jantung Salindri berdegup kencang. Ia bahagia sekaligus takut kalau-kalau orang-orang desa melihat lelaki muda itu. Ia tak ingin polisi menangkap seorang buron itu di rumahnya. Tapi, sebagai janda yang hidup seorang diri, ia tak kuasa menolak ketika lelaki muda itu membisik ke telinga Salindri, “Aku akan menginap di rumahmu malam ini!”
“Kau dikejar polisi?”
“Aku ingin istirahat dari perjalanan jauh,” kata Dul Manan yang dikenal orang suka membegal, mencuri, dan merampok. Lelaki muda itu selalu singgah di rumah Salindri pada malam hari sebelum melakukan perjalanan lagi.
“Istirahatlah di kamar kita! Aku segera menyusul,” bisik Salindri genit dan bergairah.
Bergegas Dul Manan meninggalkan warung, memasuki rumah Salindri yang senyap, memasuki kamar janda itu. Ia menanti janda setengah baya itu segera menemaninya.
Buru-buru Salindri menutup warung kopi. Ia tak perlu menunggu malam. Ia tak lagi menerima pelanggan. Senyap Lembah Kelelawar menjadi terasa sangat wingit. Tanpa senda gurau orang-orang yang minum ciu, tuak, kopi, dan berbincang-bincang sampai larut malam.
Kelelawar-kelelawar berkerosak di dahan-dahan pohon rambutan, mangga, dan jambu.
***
Dengan hati-hati lima polisi turun dari mobil patroli. Lima orang polisi itu bergegas memasuki warung kopi. Mereka bergerak ke rumah Salindri dan memeriksa kamar-kamar yang kosong. Tak ditemukan Dul Manan yang bersembunyi di rumah kayu itu. Tetapi, kelima polisi itu tak segera meninggalkan rumah yang senyap.
Mereka memburu Dul Manan hingga ke tanah kapur yang ditumbuhi hutan jati. Dimasuki pula goa-goa kelelawar yang terdapat di tebing-tebing hutan jati. Tiap mulut goa terasa lembap dan tercium pekat kotoran burung-burung malam itu.
Langit gelap. Kelima polisi yang berpencar memburu Dul Manan meninggalkan goa-goa kelelawar. Mereka berkumpul di warung Salindri. Di tangan mereka masih tergenggam pistol.
Mereka berbincang-bincang serius. Orang-orang kampung berdatangan. Berdiri tak jauh dari warung kopi.
Dengan gugup Salindri berkata, “Sudah kukatakan, Dul Manan tak singgah di sini.”
“Mungkin ia bersembunyi dalam goa!”
“Bukankah dia tak ditemukan di sana?”
“Kami perlu memeriksanya kembali. Perampok itu pandai bersembunyi!”
Dada Salindri berdetak lebih kencang. Ia menyembunyikan rasa terkejut. Dalam hati ia berpikir apa memang Lembah Kelelawar ini menjadi sarang rampok yang diburu polisi? Ia tak ingin peristiwa tembak-menembak seperti saat penangkapan Samsu, anak lelakinya yang merampok nasabah bank di kota, akan terulang kembali.
Lima polisi itu masih belum beranjak dari depan warung kopi Salindri. Mata mereka tajam menyelidik, mencari-cari sosok Dul Manan yang terus-menerus lari dan bersembunyi. Salindri melayani pembeli dengan ramah, menyembunyikan kegugupannya karena kelima polisi tak beranjak meski hari menjadi gelap dan kelelawar-kelelawar berkitar-kitar beterbangan di antara dahan pohon mangga, rambutan, dan jambu air.
Salindri berdiri di dalam warung kopi dengan kecemasan yang getir. Ia tahu, Dul Manan tak akan setangguh Samsu yang berani berhadap-hadapan dengan polisi dan siapa pun yang memburunya.
Samsu dengan gagah tanpa rasa takut menghadapi siapa pun pemburunya hingga ia menerima hukuman mati. Dul Manan selalu lari dan bersembunyi.
***
Dalam gelap malam, lima polisi itu berpencar, menyusup Lembah Kelelawar, memasuki hutan jati dan kembali memasuki goa-goa di tebing. Salindri menyeduh kopi dan menyuguhkan kepada para pelanggan.
Tampak benar wajahnya memendam kecemasan. Perempuan setengah baya itu menumpahkan air panas, memecahkan gelas, dan lambat menyeduh kopi.
Terdengar suara-suara tembakan dari dalam kegelapan hutan jati. Pelanggan di warung kopi terdiam, saling pandang, dengan berpasang mata bertanya-tanya. Tak seorang pun berbicara. Mereka menyimak suara tembak-menembak yang gencar jauh dari dalam hutan jati.
Tembak-menembak itu terdengar jauh di mulut goa, tempat kelelawar bergelantungan tidur pada siang hari.
Suara tembak-menembak dari dalam hutan jati itu terhenti. Salindri menghambur ke pelataran. Memandang hutan jati. Menanti lima polisi muncul dari kegelapan. Orang-orang mengikuti langkah Salindri. Terpukau melihat lima polisi itu menyeret mayat Dul Manan dari goa, melintasi hutan jati, mencapai pelataran rumah Salindri.
Mayat Dul Manan dilempar begitu saja ke mobil patroli. Tak ada percakapan. Orang-orang yang melihat mayat diseret seperti bangkai binatang buruan memalingkan muka. Ada juga seseorang yang terpana. Yang lain melihat mayat itu dengan sepasang mata jijik. Yang lain lagi menatap mayat perampok itu diseret dengan bersyukur.
Terdengar suara mobil patroli meninggalkan Lembah Kelelawar. Orang-orang memasuki warung, menikmati kopi, memuja keberanian polisi, mengutuki Dul Manan, dan sebagian yang lain merendahkan perampok itu.
Tubuh Salindri bergetar di pelataran rumahnya. Serupa pohon tumbang, ia bersimpuh di tanah. Mengusap-usap perutnya. Tatapannya kosong. Dari bibirnya terdengar suara, serupa ancaman, “Jangan cemas. Aku sedang mengandung benihmu! Akan kurawat bayi ini dengan penuh cinta!”
Orang-orang terkesima. Mulut mereka terbungkam. ***
.
.
Pandana Merdeka, November 2024
S Prasetyo Utomo menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa, seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia, Suara Karya, Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabasi, sejak 1983. Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen Cermin Jiwa yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
.
.
Warung Kopi Salindri. Warung Kopi Salindri.
Leave a Reply