Cerpen, Kompas, Sasti Gotama

Kawan Saya

Kawan Saya - Cerpen Sasti Gotama

Kawan Saya ilustrasi Jitet Kustana/Kompas

4.8
(6)

Cerpen Sasti Gotama (Kompas, 02 Februari 2025)

NYONYA Ji menggedor-gedor pintu saya. Terdengar bingar dan begitu mendesak. Meski saya yakin ia melakukan itu sambil tersenyum, karena ia memang selalu tersenyum, saya paham ketukannya itu mewartakan amarahnya. Kemarin ia menyuruh putranya, lalu putrinya, lalu suaminya. Kali ini Nyonya Ji tak sendiri. Ia bersama Bapak RT yang berkumis tipis, seorang satpam ceking, dan sepasukan orang berseragam jingga. Saya tahu maksud dan rencananya tanpa ia membuka mulut mungilnya yang kerap bergincu ungu. Ia dan pasukannya itu akan menyingkirkan dan membinasakan semua kawan saya.

Tentu saja saya tidak akan membukakan pintu. Namun, agaknya kali ini Nyonya Ji tidak menerima pengabaian. Pintu didobrak dari luar, mungkin oleh satpam ceking dibantu Bapak RT yang meski bongsor dan berotot, saya tahu ia lemah di ranjang atau di mana pun yang ada perempuannya. Ia hanya perkasa di dekat lelaki muda yang juga berotot dan berkeringat.

Begitu pintu terbuka, Nyonya Ji langsung menyerbu ke dalam. Kali ini ia sudah bersiap. Ia mengenakan sarung tangan karet dan sepasang sepatu bot yang seluruhnya berwarna merah muda. Tangannya menggenggam ponsel yang kameranya mengarah ke wajah saya. Mungkin dengan itu, ia ingin mengabarkan ke seluruh penjuru dunia bahwa ia akan menyelamatkan saya dari kehidupan yang durjana.

“Santini sayang, biarkan kami membersihkan rumahmu ini. Tidak baik untuk kesehatanmu,” ucapnya dengan lembut yang anehnya seperti panah-panah berujung tajam yang meluncur cepat dan menancap di dada saya.

Sementara ia melangkah sembari berjinjit dengan hati-hati di antara tubuh kawan-kawan saya yang menutup seluruh lantai, saya tetap bergeming di atas sofa merah. Dari jarak dua depa, bisa saya hidu aroma Nyonya Ji: perpaduan permen karet dan jigong anjing yang seumur hidupnya tak pernah sikat gigi. Nyonya Ji diikuti Bapak RT, satpam, dan pasukan yang telah siap dengan karungnya masing-masing.

Nyonya Ji bergidik ketika menatap gorden putih—setidaknya begitulah dulu warnanya sebelum bersenyawa dengan debu—yang ditumbuhi bercak lebam. Harusnya ia lebih peduli kepada kakinya yang menginjak Jani, kawan saya: sepotong keju basi yang berada di dalam perut tikus yang juga telah mampus dan mengering dan menjadi mumi di bawah stirofoam bekas siomai. Keju itu adalah kawan saya berbincang sembari menonton siaran tunda Miss Universe di televisi. Meski basi, keju itu kawan yang baik. Ia tidak menyela perkataan saya apalagi mencela, dan agaknya kami bersepakat bahwa ajang putri-putrian itu semacam upaya kapitalis menetapkan standar kecantikan semesta. Nahasnya, kawan saya itu ditelan si tikus yang tampaknya tersedak dan tewas di bawah kaki saya.

Akhirnya Nyonya Ji menyadari keberadaan tikus yang sekarang gepeng di bawah sepatu botnya dan ia menjerit lantas meminta Bapak RT segera mengambil si tikus dan memasukkan ke dalam karung.

Baca juga  Durian yang Bulat-Bulat Menerobos Kerongkongan

“Aduh, Santini sayang, tikus itu bisa membawa penyakit pes. Setengah populasi Eropa abad 14 musnah karena ini, Sayang. Kalau kau ingin mati seperti mereka, jangan ajak-ajak satu dasawisma,” ucap Nyonya Ji sambil tersenyum.

Wajah Nyonya Ji tampak tulus, tetapi tentu saja saya tidak akan tertipu. Saya pernah mendengar permufakatan jahatnya bersama teman-temannya yang suka memakai baju seragam merah muda dari pucuk kepala sampai kaki ketika arisan di kediamannya. Rumah kami memang bersebelahan, dan dinding tipisnya tak bisa meredam sepenuhnya suara dari mulut mereka yang comberan.

“Menjijikkan! Benar-benar penampungan sampah. Yang punya juga sama sampahnya. Sampah masyarakat. Bayangkan, gara-gara satu rumah itu, dasawisma kita tak jadi juara pemukiman sehat. Belum lagi kalau nanti belatung-belatung dari situ merayap ke rumahku. Hiiiih! Kalau tak memikirkan risikonya, ingin aku bakar saja rumah sebelah beserta isinya,” ucap salah satu suara yang saya yakin berasal dari bibir Nyonya Ji. Saat itu saya sedang bersandar ke dinding sembari melekatkan kuping karena saya tengah berbincang dengan cipratan saus tomat di tembok.

Mengapa ia yang jijik? Kegemaran saya untuk berkumpul dengan kawan-kawan saya tidak pernah merugikannya. Seharusnya saya yang jijik kepadanya. Ia pikir saya tidak tahu bahwa ketika suami dan anak-anaknya telah berangkat keluar rumah menembus kemacetan Jakarta, ia memasukkan seekor anjing betina belia yang ekornya kopat-kapit kesenangan setiap Nyonya Ji menjejalkan duit dan ponsel dan perhiasan mahal ke selangkangannya yang gatal. Saya juga tahu kegemaran Nyonya Ji dan anjing belia itu untuk saling menjilat dan itu menjelaskan perihal aroma Nyonya Ji.

Suara keras Nyonya Ji ketika memerintah satpam untuk mengambil sekop di luar menyadarkan saya. Ia berdiri bersedekap di samping Bapak RT, tetap sembari merekam, sementara petugas berseragam jingga memasukkan kawan saya, Bien si botol kecap kosong, Dusi si stirofoam bekas spageti, Lulu si buku berkutu, Mimo sang selebaran minimarket, Boti si potongan burger, dan kawan-kawan saya lainnya. Kawan-kawan saya itu punya nama, bukan sampah, jadi jangan pisahkan saya dari mereka, lolong saya kepada Nyonya Ji yang memandang saya seperti pengemis yang minta uang receh, tentu saja sembari mengarahkan kamera ponselnya ke wajah saya. Namun, Nyonya Ji hanya tersenyum lantas berkata, bahwa ini semua demi kebaikan saya. Kebaikan saya? Kebaikan apa? Dan setiap kali mereka memasukkan kawan-kawan saya ke dalam karung, semua kenangan yang saya habiskan bersama mereka membombardir kepala hingga membuat hati saya pedih.

Nyonya Ji memandang saya dengan tatapan kasihan yang saya yakin palsu—karena ia mengarahkan kamera ke wajahnya sendiri, mungkin agar dunia tahu betapa ia penuh welas asih. Padahal yang perlu dikasihani adalah dirinya sendiri. Saya mengasihani Nyonya Ji karena ia kesepian, karena ia tak bisa menampakkan dirinya yang sesungguhnya yang mencintai anjing betina. Tentu keduanya paham bahwa mereka tak bisa bersama selama dunia masih ditata dengan kitab Tuhan dan aturan manusia sehingga hanya di balik pintu mereka bisa bercinta dan menjilati luka satu sama lain.

Baca juga  Boikot

Satpam datang membawa sekop dan Bapak RT berganti menjadi mandor. Nyonya Ji berjalan ke dapur dan tentu saja bertemu kawan-kawan saya lainnya yang berkelonan di sana. Dari sofa, saya menatap Nyonya Ji yang berkacak pinggang. Dari belakang, postur Nyonya Ji mengingatkan saya kepada seseorang di masa lalu yang melahirkan saya. Gumpalan di sana-sini menunjukkan betapa tubuhnya telah terkorbankan sedemikian rupa demi meluncurkan makhluk baru ke dunia.

Ibu saya meninggalkan saya begitu selesai masa nifas. Karena ia tidak tahu siapa bapak saya, semasa kecil saya hidup berpindah-pindah dari satu bibi ke bibi yang lain. Setiap tanggung jawabnya selesai, wajah mereka tampak lega dan dengan tidak sabar mengoperkan saya yang tak ubahnya tongkat estafet ke bibi yang lain. Ketiga bibi saya itu, kakak-kakak dari ibu saya, membesarkan saya sampai usia SMA, karena hanya itu pendidikan yang ditanggung oleh negara. Setelah itu mereka berlepas tangan. Ketika saya bertanya, di mana ibu saya, mereka hanya memberi selembar foto dengan alamat di belakang.

Saya tak langsung menemui ibu. Sembari kuliah, saya bekerja di minimarket agar kelak, ketika bertemu ibu, ia akan bangga dan merasa menyesal telah meninggalkan saya. Baru pada tahun kelima, ketika telah lulus dan bekerja sebagai admin di kantor pengacara dan mencicil rumah sederhana yang saya tempati sekarang, di suatu siang, saya menemui ibu. Bukannya memeluk, ia berteriak kepada saya dan menyuruh saya segera hengkang. Ia tak ingin suami barunya, juga anak-anaknya, juga para tetangga, mengetahui keberadaan saya. Saya merasa menjelma tumpukan sampah yang bau dan berbelatung begitu ia memutar tubuhnya, membelakangi saya, seperti yang dilakukan Nyonya Ji saat ini.

Mungkin karena itu saya merias wajah dan membalurkan wewangian dan mendandani tubuh saya agar indah demi meyakinkan diri saya sendiri bahwa saya bukan sampah. Tapi kawan-kawan perempuan di kantor agaknya melihat saya sebagai perempuan jalang yang bisa merebut pasangan mereka, dan karena itu membuang saya dari pergaulan. Saya merasa sendiri. Dan mungkin karena itu saya mudah jatuh hati dan melemparkan diri ke setiap lelaki yang agaknya tertarik kepada saya. Akan tetapi, mereka hanya ingin merasai tubuh saya dan dengan mudahnya mencampakkan saya lewat pesan teks atau menghilang begitu saja. Mungkin, saya memang ditakdirkan untuk tak diinginkan. Karena itu, saya memilih kawan-kawan saya sendiri yang setia hingga kini.

Baca juga  Lima Belas Juta untuk Juto

Nyonya Ji mulai menjerit-jerit di dapur gegara membuka lemari yang dulunya tempat piring yang telah berubah menjadi kerajaan kecoak dan kecoak-kecoak itu adalah kawan-kawan setia saya yang menemani setiap saya menyiapkan makanan yang saya beli di luar. Dan kini mungkin kecoak-kecoak itu juga ingin berkenalan dengan Nyonya Ji sehingga menghambur untuk memeluknya. Saya melihat Nyonya Ji yang menandak-nandak sambil menggoyangkan tangannya seperti badut sirkus yang menggelikan. Meski begitu ia adalah bajingan yang beruntung karena punya dan dipunyai seseorang, entah si suami yang menungganginya malam-malam atau si anjing betina yang menjilatinya kala siang. Mendengar teriakan Nyonya Ji, Bapak RT dan satpam berlari ke dapur dengan membawa sapu dan sekop, dan mereka segera diserbu sekawanan kecoak teman saya. Sepasang lelaki itu juga memiliki satu sama lain, setidaknya hampir setiap malam mereka bergadang bersama di pos ronda entah ngopi atau bergibah tentang kebusukan pemerintah. Semua memiliki dan dimiliki seseorang, tetapi tidak dengan saya.

Saya hanya punya kawan-kawan saya yang satu demi satu mereka bunuhi, punguti, dan masukkan ke dalam karung goni.

“Ayolah, Santini sayang, jangan menangis. Ini demi dirimu. Setelah ini, berjanjilah untuk hidup lebih baik,” ucap Nyonya Ji, lalu ia membalik kamera ponselnya hingga menyorot wajahnya sendiri, “kami melakukan ini semua karena sayang dan peduli kepadamu.”

Peduli? Dasar liur anjing kurapan! Jika ia peduli, harusnya ia tahu bahwa saya tidak bisa hidup tanpa kawan-kawan saya. Apakah ia tahu rasanya jika dipisahkan dari si anjing betina? Karena saya peduli kepadanya, saya tak pernah mengadukan tingkah sundalnya ke sang suami. Mengapa orang seperti Nyonya Ji berpikir dari sudut tengkoraknya yang sempit? Mengapa tak mencoba berandai-andai menjadi saya? Mengapa tak membiarkan saya bahagia dengan cara hidup yang saya pilih?

Malam ini, lantai rumah saya mengkilat. Peralatan di dapur telah digosok bersih. Kasur di kamar telah dipasang seprai dan wangi. Namun, saya merasa sendiri. ***

.

.

Sasti Gotama. Buku terbarunya yang telah terbit berjudul Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-kupu dan Ingatan Ikan-ikan.

Jitet Kustana, kartunis lepas kelahiran Januari 1967. Menjuarai berbagai lomba kartun tingkat dunia hingga mendapat penghargaan Muri atas prestasinya itu. Kini dia tinggal di Kalipancur, Ngaliyan, Semarang.

.
.
Kawan Saya.

Loading

Average rating 4.8 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!