Cerpen Ranang Aji SP (Kompas, 09 Februari 2025)
Fragmen 1: Seorang Ksatria di Era Algoritma
Hari itu adalah hari Selasa di Madrid, namun Don Quixote bersumpah bahwa hari itu adalah hari pertempuran. Berbalut aluminium foil yang dipungut dari tempat sampah sembari memegang gagang pel sebagai tombak, ia melangkah melewati Puerta del Sol, matanya berkobar-kobar penuh keyakinan. Di atasnya, sebuah papan reklame berseru dalam kata-kata: “REALITY IS WHAT YOU MAKE OF IT”. Tulisan dalam huruf-huruf yang menyala dalam neon itu berkedip-kedip. Itu adalah kampanye terbaru dari sebuah perusahaan teknologi raksasa.
Sancho Panza mengikuti dari kejauhan dengan hati-hati, bajunya adalah kain kasar berwarna hijau, sangat biasa dan kontras dengan baju zirah sang ksatria. “Tuan, sudah saya katakan ribuan kali, itu drone, bukan naga!” teriaknya sambil menunjuk ke arah sekumpulan robot pengantar barang yang bersenandung di alun-alun. Quixote berhenti, wajahnya yang tirus disinari oleh cahaya dari layar yang melintas. “Drone? Tidak, Sancho! Lihatlah, itu ciptaan penyihir Zuckerberg yang jahat… monster buruk yang dikirim untuk menipu orang banyak dan memperbudak pikiran mereka!”
Fragmen 2: Lady Dulcinea dan Tiktok
Di sebuah kafe kecil, Quixote tiba-tiba melihat sesuatu yang menariknya. Matanya melihat wanita cantik dan montok dalam sebuah ponsel yang dibawa oleh seorang remaja. Lady Dulcinea, wajahnya bersinar dari layar ponsel pintar saat ia menari mengikuti lagu yang sedang tren di Tiktok. Gerakannya seperti dunia lain, semacam keilahian berpiksel dalam putaran 30 detik.
“Dia terjebak, Sancho! Terjebak dalam cermin terkutuk!” Teriaknya terdengar cemas sambil menjatuhkan kursi dan menerjang ke arah ponsel yang dipegang seorang remaja yang matanya berbinar.
“Senor, itu hanya sebuah video,” kata Sancho cepat sambil mencoba menyeretnya menjauh dari bocah itu. Namun, tekad sang ksatria semakin kuat. “Aku akan membebaskannya dari penjara cahaya! Tidak ada pesona lain yang akan bisa menahan putriku!”
Bocah remaja itu ketakutan dan lari. Lalu membuat status: “Ada orang gila!”
Fragmen 3: Monster Kincir Angin
Setelah kejadian itu, di pinggiran kota yang sepi, mereka menemukan kincir angin. Sebuah turbin angin yang menjulang tinggi dan menjulur seperti naga penjaga alien di langit. Napas Quixote memburu melihat itu. “Para raksasa telah kembali, Sancho! Mereka ingin membalas dendam pada kita!”
Sancho menghela napas. Wajahnya masygul. “Itu semua hanya kincir angin, digerakkan oleh energi bersih. Tidak ada raksasa, tidak ada balas dendam. Itu hanya kemajuan teknologi, Tuan.”
Namun sang ksatria, dengan baju besi aluminium foil-nya, dia sudah menyiapkan gagang pelnya untuk menangkap cahaya redup matahari yang mulai tenggelam. Dengan teriakan perang yang menggema ke dalam kehampaan, dia menyerang dengan keberanian seekor singa. Turbin-turbin itu bergeming dari serangannya, terus berputar tanpa suara secara mekanis. Quixote ambruk di bawahnya, pusing tujuh keliling. Lalu matanya melirik Sancho sambil berbisik, “Pertempuran mungkin telah usai, tetapi perang… perang akan terus berlanjut.”
Fragmen 4: Pidato Ksatria dalam Kode Digital
Beberapa bulan kemudian, sebuah unggahan viral muncul. Tampak foto seorang pria acak-acakan dengan baju besi, terbaring di dasar turbin angin, dengan judul: “Orang Gila atau Pahlawan? Ksatria Terakhir di Era Digital”. Tentu saja, dia adalah ksatria Don Quixote!
Sancho menelusuri komentar-komentar yang ada. Beberapa orang menyebut Quixote sebagai orang bodoh; sementara yang lain menyatakannya sebagai seorang nabi. Esai-esai yang dibuat oleh AI memperdebatkan signifikansinya, sementara video-video yang dibuat secara mendalam menggambarkan kembali pertarungannya melawan naga-naga CGI.
Membaca semua komentar itu, di dalam kamar sewaan mereka, Sancho memandangi gagang pel Quixote yang disandarkan di dinding. “Mungkin, di dunia yang penuh dengan kebohongan, kegilaan tuan adalah satu-satunya kebenaran,” gumamnya.
Fragmen 5: Pengawal Silikon
Suatu pagi, ketika sedang berjalan-jalan di distrik teknologi, Quixote menemukan sebuah ruang kerja bersama perusahaan rintisan. Dia mengira interiornya yang diterangi lampu neon seperti kastil, dengan dinding kaca yang berkilauan seperti pembatas ajaib. Seorang programmer muda, berkacamata dan tampak lelah, menyambut mereka.
“Selamat datang di Virtua Nova! Ada yang bisa saya bantu?”
Quixote membungkuk rendah. “Pelayan yang pemberani,” katanya, “aku ingin bertemu dengan penyihir yang memenjarakan jiwa-jiwa di dalam kubus-kubus bercahaya ini.” Quixote menunjuk ke arah deretan monitor komputer. Si pemrogram mengangkat alisnya.
“Maksudmu… CEO?”
“Ya! Bawalah aku pada iblis itu. Dia harus mempertanggungjawabkan kejahatannya!”
Melihat itu, Sancho buru-buru turun tangan, meminta maaf sebesar-besarnya, tetapi sang programmer, yang tertarik, mempersilakan mereka duduk. Sambil menikmati secangkir latte kedelai, ia menjelaskan bagaimana algoritma mendikte keinginan, kebutuhan, dan bahkan kepercayaan dunia. Quixote mendengarkan dengan saksama, matanya terbelalak.
“Aku mengerti sekarang,” katanya, “algoritma ini bukan sekadar alat bantu, melainkan penyihir di zaman kita, yang merapal mantra untuk membengkokkan pikiran manusia!”
Sang programmer melihatnya sejenak, lalu beralih pada Sancho, lalu mengangkat bahunya.
Fragmen 6: Perang Suci Melawan “Influencer”
Malam itu, terinspirasi oleh wahyu yang baru ditemukannya, Quixote bersumpah untuk membebaskan umat manusia dari para penguasa digital. Target pertamanya adalah para influencer yang tumbuh subur dengan pemujaan kosong.
Di sebuah bar di puncak gedung, Quixote berhadapan dengan sekelompok bintang Instagram yang sedang melakukan pemotretan. “Hentikan kesia-siaan ini!” teriaknya sambil mengarahkan gagang pelnya ke sebuah lampu. “Kalian memperbudak para pengikut kalian dengan ilusi, menenun mimpi palsu tentang kecantikan dan kekayaan!”
Seorang influencer yang kaget dengan situasi itu segera menyiarkan secara langsung pertemuan itu. “Lihatlah ada pria cosplay di sini.” Dia merekam Quixote sembari terkikik. Tak berapa lama kemudian kolom komentarnya dibanjiri emoji.
Quixote tetap tidak terpengaruh, dia dengan gemas lalu menghancurkan lampu ring dengan gagang pelnya.
“Pesona kalian akan hancur karena beban kebenaran yang rusak!”
Begitu dia selesai berucap, seorang petugas keamanan datang dan segera menyeretnya keluar. Sementara Sancho sendiri masih di dalam, mencoba meminta maaf berkali-kali.
Fragmen 7: Ksatria di Atas Awan
Pertarungan Quixote selanjutnya terjadi di sebuah ladang server di pinggiran kota. Percaya bahwa server yang berdengung itu menampung jiwa-jiwa yang tersihir, dia menyatakan perang terhadap “awan”.
“Sancho,” katanya sambil mengikatkan bandana di helmnya, “ini mungkin pertempuran terakhirku. Jika aku gugur, katakan pada Dulcinea bahwa aku mati demi kehormatannya.”
Sancho menangis. “Senor, mereka ini hanya mesin!”
Tapi, Quixote tetap bersikeras. Dia tetap menyerang dengan gagang pelnya hingga memercikkan bunga api di permukaan lemari baja. Benturan itu tidak saja membuat lemari baja itu berbunyi, tapi juga membuat alarm keamanan berbunyi. Suara lengkingan alarm itu berbaur dengan teriakannya. Saat pihak berwenang tiba, Quixote sudah tergeletak di lantai, memegang kabel Ethernet yang terputus seperti leher ular yang dipenggal. Saat mereka menyeretnya pergi, dia bergumam tanpa henti, “Aku telah menghancurkan ilmu sihir di zaman kita. Dunia mungkin belum mengerti, tetapi suatu hari nanti, mereka akan mengerti.”
Fragmen 8: Kuda Listrik
Suatu malam, di tempat parkir yang berliku-liku di sebuah pusat perbelanjaan, Quixote menemukan sebuah skuter listrik. Dia mengamati mesin-mesin ramping itu dengan penuh kekaguman, mengira cahaya biru neonnya sebagai aura surgawi.
“Lihatlah, Sancho,” katanya, “tunggangan mulia di zaman ini, secepat angin, tak kenal lelah seperti matahari!”
Sancho menyipitkan matanya, lalu menatap tuannya. “Tuan, itu adalah skuter. Anda bisa menyewanya melalui aplikasi.”
Tapi, Quixote tak peduli. Dengan gairah yang meluap, dia mendekati sebuah skuter yang penyok dan setangnya sedikit miring. “Yang satu ini berbicara padaku,” katanya dengan sungguh-sungguh sambil mengusap-usap catnya yang lecet. “Ini adalah binatang yang setia, terluka oleh banyak pertempuran, namun tidak patah semangat. Aku akan menamainya… Rocinante.”
Dengan kegembiraan yang riang, ia menaiki skuter tersebut. Sancho, sambil menahan tawanya, mengaktifkannya dengan menggunakan telepon genggamnya. Dengungan skuter itu nyaris tak terdengar, namun bagi Quixote, skuter itu meraung-raung seperti kuda perang.
“Berlarilah bersamaku, Rocinante!” teriaknya sembari berjalan goyah di tempat parkir. “Malam ini, kita akan menyerbu ke jantung kegelapan!”
Sancho berlari di belakangnya, menggelengkan kepalanya. “Tuan, jika kita tidak mengembalikan benda ini dalam lima belas menit, mereka akan menambahkan denda.”
Fragmen 9: Bersama Rocinante
Tunggangan baru Quixote menghadapi ujian pertamanya di sebuah jalan raya. Melihat papan iklan kolosal yang mengiklankan sebuah mobil mewah, ia mengira kendaraan berkilauan itu adalah musuh mengerikan yang memperbudak masyarakat dengan janji-janji palsu tentang status dan kebahagiaan.
“Rocinante, mantap! Hajar dia!” Teriaknya sambil memacu skuternya sekencang mungkin. Tanpa ampun, dia menabrak papan reklame itu dengan gagang pel terangkat tinggi-tinggi. Skuter itu membentur, tapi tidak terlalu keras, tapi tetap saja membuat skuter itu terjungkal. Sementara Quixote terlempar dan tergeletak di atas beton, Sancho bergegas membantunya berdiri. Matanya membelalak kesal. “Rocinante rusak lagi, Tuan,” ujarnya. “Berapa harga yang satu ini?”
Tapi, Quixote seperti tak mendengar. Mukanya menunjukkan tidak peduli dengan keluhan Sancho. Sambil menepuk-nepuk skuternya yang penyok, dia berkata: “Jangan takut, teman setiaku. Kau bertarung dengan gagah berani. Binatang jalang itu gemetaran karena perlawanan kita.”
Mendengar itu, mata Sancho berputar satu arah. Dengan mengkal dia berkata: “Ya, tentu saja. Gemetar. Seperti daun yang tertiup angin topan.”
Fragmen 10: Berakhirnya Perjalanan
Saat perjalanan mereka hampir berakhir, Rocinante menyerah. Baterainya habis di tengah jalan. Don Quixote turun. “Kudaku yang pemberani, terima kasih telah setia menemaniku,” katanya sambil meletakkan tangannya di atas setang skuter. “Semoga kamu menemukan kedamaian di sini.”
Sancho terduduk lemas. Setelah itu, dia mengomel tentang denda yang akan mereka tanggung. Don Quixote sendiri hanya berdiri diam. Tubuhnya yang tegak membungkuk untuk memberi hormat pada tunggangannya yang roboh. Saat mereka pergi, skuter itu teronggok beku, menjadi saksi di bawah cahaya lampu jalan, bahwa ada seorang ksatria berkelana untuk menegakkan kebenaran. Tapi gagal. ***
.
.
Catatan:
CGI: computer-generated imagery
.
.
Ranang Aji SP menulis cerpen ini dengan gagasan sastra pascakebenaran. Di dalamnya ada teknik fraksionasi dan pastiche.
Rahardi Handining lahir di Semarang, 27 Februari. Tinggal di Jakarta. Tahun 2004-2018 bekerja sebagai desainer grafis dan ilustrator di harian Kompas. Aktif mengikuti kegiatan seni sampai sekarang. Mendapatkan beberapa penghargaan dari dalam dan luar negeri, antara lain The 4th Shanghai International Contemporary Art, China, pada 2019, dan Special Prize Mellow Art Award, Japan, 2020.
.
.
Pertempuran Don Quixote. Pertempuran Don Quixote. Pertempuran Don Quixote. Pertempuran Don Quixote.
iim
cerita tentang masa depan