Cerpen, Moh Tsabit Husain, Singgalang

Memori Kepala

Memori Kepala - Cerpen Moh. Tsabit Husain

Memori Kepala ilustrasi Singgalang

4
(3)

Cerpen Moh. Tsabit Husain (Singgalang, 02 Februari 2025)

SIANG itu, kakak iparku membuat heboh seisi rumah. Dia mengobrak abrik laci, lemari, rak buku berikut buku-bukunya, menggeser meja, menjungkirbalikkan kursi, mengobok-obok sofa sampai isinya berhamburan.

Dia juga menurunkan piring dari almari, menuangkan isi tong sampah ke lantai, hingga menyela-nyela rumput di bawah jemuran. Dia mencari sesuatu. Kakak perempuanku, Mbak Ani, istrinya itu bertanya, tapi tak digubrisnya. Dia malah beralih ke beranda dan mengeluarkan bunga dari pot serta mengibas karpet.

“Mas, apa kamu gila? Kau mengobrak-abrik seisi rumah tanpa sebab!!”

Mas Anton, kakak iparku itu terus mencari. Dia kelimpungan serupa induk ayam kehilangan anaknya. Mbak Ani berang. Dia menarik lengan kekar suaminya tapi lelaki berkumis tipis dan berkulit gading itu menepis.

“Mas!! Jawab aku. Apa kamu sudah kehilangan otak?”

“Ya. Aku kehilangan otakku. Memori di kepalaku hilang dan aku tak dapat mengingat masa laluku!”

Mbak Ani merasa jengkel. Dia memanggil Bi Inap. Perempuan yang bekerja selama hampir lima tahun sejak perkawinan kakakku itu datang tergopoh-gopoh. Dia diminta merapikan semua barang-barang yang berserakan.

“Bi, jikalau Bibi menemukan memori kepalaku, berikan padaku,” pinta Mas Anton dan Bi Inap mengangguk.

“Apa mungkin memori itu tersangkut di mesin cuci saat kau mencucinya bersama celanaku?”

Mas Anton berlari menuju dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi. Mesin cuci ada di paling pojok dapur dekat pintu belakang. Mbak Ani membuntutinya. Dia tidak habis pikir, bagaimana bisa memori yang menyimpan seluruh kenangan dan masa lalu bisa hilang dari kepala. Apakah Mas Anton main serudukan sama banteng atau dia ngebut saat pulang kerja dan tanpa dia sadari memori di kepalanya itu jatuh tanpa dia sadari? Dia bertanya-tanya dalam hati, pikirnya.

“Mana mungkin memori kepalamu ada di mesin cuci? Bi Inap pasti tidak menemukan apa pun saat mencuci celana dalammu!”

Ucapan Mbak Ani bagai angin lalu. Aku memerhatikannya dari jauh. Dia melarang Mas Anton membongkar mesin cuci saat suaminya itu memegang obeng. Mas Anton mendelik. Mbak Ani membalas delikan itu.

“Apa kamu sudah gila? Kenapa tidak sekalian kau turunkan genting atau robohkan rumah ini? Siapa tahu memori itu ada di sana?!” sembur Mbak Ani.

Baca juga  Seperseribu Detik Sebelum Pukul 16:00

“Ini memori kepala. Aku bisa amnesia kalau tidak ada itu?”

“Bagaimana bisa memori itu hilang dari kepalamu? Apa jangan-jangan kau?” Mbak Ani tidak melanjutkan kalimatnya.

Mas Anton memasang wajah harimau. Salah-salah, dia bisa diterkamnya. Mukanya merah padam. Mas Anton keluar. Dia menuju garasi dan mencari memori kepalanya di mobil. Siapa tahu jatuh dan terselip di sela-sela tempat duduk. Semua ini bermula saat Mas Anton ditelepon oleh teman lamanya. Seandainya temannya itu tidak meghubungi Mas Anton, mungkin dia tidak akan sepusing ini mencari memori kepalanya.

Nama teman lama Mas Anton itu Mamat. Dia mengaku sebagai teman kecilnya di kampung. Namun, dia mengaku tidak ingat siapa Mamat, alamatnya dan tidak mengaku kala dia memiliki kenangan masa kecil bersamanya.

“Apa kamu gegar otak? Sama aku kamu tidak kenal?” gerutu temannya itu dari seberang sana.

“Sungguh!! Aku tidak ingat siapa-siapa dan masa kecil. Aku tidak pernah punya teman bernama Mamat.”

“Tidakkah kau ingat saat kita mencuri timun di sawah atau saat melempar kerikil ke Mbok Rah yang mandi di sungai?”

Mas Anton mangut-mangut. Dia tidak ingat sesuatu. Di kepalanya hanya ada memori mini dan penyimpanannya terbatas pada rutinitas kesehariannya seperti pekerjaan, jam olahraga dan semacamnya. Semua dia atur demikian. Dia memaksa mengingat kembali tapi kosong. Tak ada ambaran apa-apa. Hitam.

Semakin keras dia mengingat, kepalanya berdenyut-denyut. Lambat laun, dia sadar kalau memori big data yang menyimpan seluruh masa lalunya hilang dari tempatnya. Dia menyudahi pembicaraan di telepon secara sepihak.

Dia mengingat-ingat kembali tapi memori mini di kepalanya tidak cukup membantu. Sekeras bagaimanapun dia mengingat, yang muncul hanyalah pekerjaan dan rutinitas hariannya.

Mbak Ani mendatanginya ke garasi. Dia membongkar seluruh isi mobil. Mesin-mesinnya berhamburan. Pintu-pintunya lepas dan tempat duduk dalam mobil itu terjungkir. Dia sedang berusaha melepas setir dan rem.

“Ya ampun, Mas!! Kenapa tidak sekalian mobil ini kau hancurkan, hah?” geramya.

Tak ada jawaban. Beberapa jenak kemudian, Mbak Ani menurunkan tensi darahnya. Wajahnya tak lagi merah. Dia rasa sandiwaranya sudah cukup. Dia sendiri yang bakal kewalahan jika terus dilanjut.

“Coba kau ingat kembali, di mana dan seperti apa bentuk memori yang hilang dari kepalamu itu?”

Baca juga  Muazin Pertama di Luar Angkasa

“Entahlah,” balasnya.

“Bagaimana mungkin kau akan menemukannya sedang kau sendiri tidak tahu bagaimana bentuknya?”

“Agaknya,” terkanya, “memori kepalaku itu berwarna merah seukuran memori kamera, lebih besar sedikit. Bentuknya persegi empat dan pipih.”

“Berwarna merah? Banyak isinya, dong?” tanya Mbak Ani. Tatapannya menukik dan membuat Mas Anton kikuk.

“Mungkin.”

“Atau banyak virusnya?”

“Entahlah.”

“Apa saja isinya?”

“Masa lalu, kenangan.”

“Sama siapa?”

“Kamu,” jawabnya, ragu.

“Yang bener?”

“Suwer!!”

“Yakin?!”

“Yakin!”

“Bukan dengan perempuan lain?!”

“Kalau aku selingkuh, biar geledek menyambarku di siang bolong.” Balasnya sembari menelan ludah. Matanya awas.

Mbak Ani berlalu. Dia menatap Mas Anton sejenak dan melewatiku begitu saja sembari membuang napas, berat. Mas Anton memintaku mencari memori itu bersama. Aku khawatir akan terjadi bencana di keluarga ini.

Akhirnya, dia menyerah. Dia tidak menemukan apa yang dia cari. Dia memutuskan untuk membongkar kepalanya ke dokter bedah dan hasilnya dokter mengamini kalau memori big data kepalanya yang menyimpan seluruh kenangan dan masa lalunya tidak ada di tempatnya.

***

Prediksiku benar. Suamiku memiliki perempuan simpanan. Dia bermain serong di belakangku. Sebenarnya, saat Mas Anton kelimpungan mencari memori kepalanya, aku lebih dulu menemukannya, sehari yang lalu, saat dia ganti celana dalam. Ada benda yang jatuh dari sana. Benda itu kecil, seukuran memori kamera—agak besar sedikit—bentuknya persegi empat, pipih, warnanya merah menyala.

Aku sudah menduga kalau itu memori kepalanya sebab benda itu terjatuh dari celana dalam miliknya. Lagi pula, dia tidak memiliki kamera. Sekalipun ada, memori kamera tidak merah menyala seperti itu. Aku menduga memori itu banyak isinya atau paling tidak terkena virus. Sewaktu aku memegangnya, benda itu terasa hangat. Aku penasaran. Setelah adu mulut dengannya sore itu, aku pergi ke dokter bedah dan membiarkan dia kebingungan mencari memori kepalanya.

Aku meminta Elga, dokter bedah yang sekaligus temanku itu untuk memasangkan memori yang kutemukan di kepalaku. Dia membedah tengkorak kepala belakang dan memasukkan memori kepala milik suamiku ke kepalaku setelah sebelumnya membuka memori kepalaku sendiri.

Aku terpejam. Ketika itu, seluruh kenangannya tertayang di kepala. Aku mencari-cari kemungkinan memori itu hilang pada jam, tanggal berapa dan harinya sekaligus tempatnya. Aku memilih. Banyak kenangan di dalamnya dan kebanyakan berisi perempuan. Brengsek.

Baca juga  KAYU LAUT

Kemudian, aku tertarik memutar kenangan bergambar perempuan yang tak asing di mataku. Kenangan itu baru dilaluinya beberapa minggu sebelumnya. Aku memutarnya laiknya memilih film yang kusuka di laptop. Aku tercengang, mual dan muntah-muntah. Kuhentikan tayangan yang baru kulihat barusan dalam kepalaku. Aku bilang pada Elga bahwasanya aku lebih baik melihat bangkai tikus dikerbung ulat daripada aku melihat tayangan itu.

“Apa maksudmu? Kau baik baik saja, kan?”

“Jijik. Ternyata suamiku bedebah. Laknat. Dia pantas dijebloskan ke neraka paling bawah,” cercaku. Napasku naik turun dibuatnya.

Aku meminta Elga mencopot memori kepala milik suamiku. Dia melakukannya. Aku telungkup dan dengan pelan dia mencopotnya. Dia memasang kembali memori kepalaku. Aku bisa merasakannya. Geli. Dia memintaku untuk tidak bangun dulu.

“Jangan terpengaruh emosi. Turunkan tensimu. Kalau tidak, memorimu akan pecah.”

Aku tak bisa menuruti saran Elga. Api tersulut dan membakar sekam di dada. Elga menyuntikkan obat bius ke padaku. Aku tidak sadarkan diri selama beberapa jam. Setelahnya, kepalaku terasa ringan. Dia menyarankanku untuk meminum obat.

“Sebagai penenang saja.”

Obat itu hanya bekerja beberapa jenak saja. Amarahku kembali naik. Aku langsung pulang dan tak menghiraukan Elga yang melarangku berkali-kali. Kepalaku agak pusing. Tapi kepalaku akan pecah ketika ingat tayangan yang terputar tadi. Itu sudah cukup membuktikan kalau suamiku brengsek! Sebelum pulang, aku pun berniat menghancurkannya namun Elga melarang.

“Apa kau mau suamimu amnesia?”

“Biar dia tahu rasa!”

“Biarkan dia mengakui kesalahannya. Apa kau mau dianggap gila dengan menuduh suamimu selingkuh sedang dia tidak ingat apa-apa dan kau tidak mempunyai bukti?”

Aku membenarkan ucapan Elga. Aku tidak jadi menghancurkannya. Namun, amarahku tetap menyala-nyala ingin membakarnya. Sesampainya di rumah, dia tercengang dan menanyakan kemana saja aku hari itu. Aku tidak membalasnya. Aku melempar memori berubungkus plastik steril ke hadapannya.

“Dari mana kau menemukan memori ini?” tanyanya ketika plastik dibuka.

“Katakan, apa yang telah kau perbuat dengan adik perempuanku di kamarnya?” ***

.
.
Memori Kepala. 
.
.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!