Cerpen, Puti Raudhatul Jannah, Singgalang

Terminal Akhir

Terminal Akhir - Cerpen Puti Raudhatul Jannah

Terminal Akhir ilustrasi Singgalang

4
(1)

Cerpen Puti Raudhatul Jannah (Singgalang, 02 Februari 2025)

NEO menatap antrian yang tiada habisnya, kembali mengecek nomor miliknya. 70001. Menghembuskan napas, laki-laki itu terus maju hingga sampai pada nomornya.

“Nomor 70001, benar?”

“Benar!”

Neo terkejut mendengar suara yang ikut membenarkan. Menoleh, Neo mendapati seorang gadis berkuncir kuda juga tengah menatapnya dengan heran.

Bagaimana bisa?

Belum sempat Neo mencerna, petugas yang berdiri di hadapan mereka dengan segera bertindak.

“Kendala sistem nomor 45. Ulangi. Kendala sistem nomor 45!”

Detik berikutnya Neo dan gadis itu segera dibawa pergi oleh beberapa petugas keluar dari antrian.

***

“Namaku Lize,” suara nyaring gadis itu membuyarkan lamunan Neo, tanpa sadar pemuda itu memperkenalkan namanya kemudian tersenyum canggung.

“Jadi, kau mati karena apa?”

Neo hampir saja tersedak batuk mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Lize tanpa rasa sungkan. Pemuda itu sendiri bingung harus menjawab apa. Melihat Neo yang tidak memberi balasan apa pun, Lize hanya tersenyum.

“Maaf, itu terdengar kasar, ya?”

“Tidak….”

Hening sesaat.

Sejujurnya Neo tidak begitu ingat bagaimana ia menghadapi kematian. Pemuda itu hanya teringat dengan cahaya terang dan kemudian semuanya lenyap. Ia tiba-tiba saja telah tiba dalam antrean tak berujung dengan nomor 70001.

“Padahal sebentar lagi aku bisa bertemu dengannya,” gumaman Lize membuat Neo menoleh sedikit, penasaran dengan maksud perkataan gadis itu. Namun, ia tak berniat untuk menanyakan.

Salah seorang petugas yang membawa mereka pergi kembali datang, kali ini dengan membawa sebuah berkas.

“Kami minta maaf atas kesalahan sistem kali ini, mungkin ini akan memakan sedikit waktu hingga kalian bisa mendapatkan nomor yang baru,” suara berat petugas itu bisa menandakan bahwa tidak sekali dua kali hal seperti ini terjadi.

Baca juga  Dia yang telah Kubunuh

Yah, Neo tak bisa menyalahkannya karena mau bagaimanapun tidak akan ada orang yang bisa mengerjakan segalanya dengan sempurna. Bahkan terkadang kematian pun tidak berjalan dengan begitu mulus. Selalu ada kecacatan.

“Bagaimanapun juga, Anda berdua sebaiknya menunggu di Kota Perbatasan selagi menunggu nomor baru,” lanjut petugas tersebut dengan datar.

Perbatasan, ya?

Yah, Neo tak masalah dengan hal itu. Namun, tampaknya Lize sedikit keberatan dengan saran tersebut.

“Tak bisakah kalian langsung memperbaikinya sekarang? Aku hanya ingin segera ke Terminal Akhir secepatnya,” ucap Lize bersikeras.

Petugas itu hanya diam memandangi Lize selama beberapa saat sebelum kemudian melayangkan senyum tipis.

“Kami mengerti, hanya saja kendala sistem seperti ini tak bisa diselesaikan hanya dalam waktu sehari,” Lize tak bisa membalas, gadis itu mengangguk lemah.

Petugas kemudian mengantarkan kami menuju gerbang Kota Perbatasan. Sejujurnya aku sedikit takut ketika memasuki gerbang besar berwarna abu-abu tua tersebut. Namun, untungnya Lize terlihat dapat diandalkan. Gadis itu berjalan dengan tenang, menyapa beberapa orang yang berlalu lalang. Seakan-akan ia telah mengenal mereka dan tempat ini dengan baik.

“Kau kenal mereka?” pertanyaan itu akhirnya tercetus juga dari mulut Neo yang tidak bisa menahan rasa penasarannya. Tak disangka jawaban Lize berhasil membuat Neo tercengang.

“Iya, aku pernah tinggal di sini.”

***

Terminal Akhir, begitu orang-orang menyebutnya (walau bagi Neo sendiri kata tersebut tidak sesuai dengan penempatannya. Namun, biar bagaimanapun begitulah) adalah tempat penantian Mors. Di situlah Kereta Abadi mengangkut orang-orang untuk dibawa menuju Ujung, yang dipercayai sebagai tempat pemberhentian terakhir manusia. Ujung Kehidupan.

Sementara Kota Perbatasan adalah tempat tinggal bagi mereka yang akan menemui ajalnya. Singkatnya, Kota Perbatasan adalah tempat tinggal bagi mereka yang tengah sekarat. Mereka yang berada di ambang kematian sekaligus kehidupan.

Baca juga  Perempuan yang Menikahi Tubuhnya Sendiri

Lize menjelaskan panjang lebar kepada Neo mengenai banyak hal. Jujur saja, Neo tidak begitu tahu mengenai hal hal tersebut karena selama ini ia tidak pernah diceritakan mengenai detail dari Terminal Akhir.

“Apa itu artinya Lize koma?” tanya Neo ragu-ragu. Lize terlihat diam sejenak sembari menopang dagu kemudian mengangguk.

“Yah, bisa dibilang begitu.”

“Sudah berapa lama?”

“Lima tahun atau mungkin tujuh tahun. Entahlah, aku tidak begitu ingat,” Neo tidak tahu harus membalas apa. Pemuda itu hanya mengusap jemarinya dengan canggung.

“Aku hanya berharap kesalahan sistem ini cepat diselesaikan,” ujar Lize tenang.

Neo mendongak, menatap sorot mata Lize yang terlihat lelah.

“Uhm, apa kesalahan seperti ini sering terjadi?”

“Ya? Tidak juga, hanya beberapa kali.”

“Apa ada alasannya?”

“Alasan?” ulang Lize pelan. Gadis itu mengerutkan keningnya, berpikir keras.

“Itu ada banyak hal, biasanya karena kesalahan input data seperti nama, tanggal atau waktu kematian.”

“Memangnya kita tidak bisa punya nomor yang sama walau waktu kematian kita sama?” Neo bertanya dengan raut bingung yang segera ditukar Lize dengan tegas.

“Yah, tentu saja itu tidak bisa!”

“Kenapa?”

Kenapa? Lize mengernyit bingung, gadis itu heran bagaimana caranya ia harus menghadapi pertanyaan polos milik Neo. Setelah berpikir sejenak, barulah Lize menjelaskannya dengan lamat-lamat kepada Neo.

“Begini, anggap saja kau mengantri untuk menaiki Kereta Api. Di stasiun kau akan membeli tiket dengan nomor bangkumu, bukan? Kira-kira mirip begitulah. Tidak mungkin sebuah bangku diduduki oleh dua orang sekaligus.”

Ah, Neo mengangguk paham. Akhirnya mengerti maksudnya.

“Apa itu artinya kita mati di saat bersamaan sehingga data yang diinput salah?”

“Bisa jadi.”

Baca juga  Linea

Manggut-manggut, Neo akhirnya menghabiskan waktunya dengan bertanya banyak hal kepada Lize yang dijawab oleh gadis itu dengan sabar.

Mereka sesekali memandang sejenak kepada Kota Perbatasan yang entah bagaimana terlihat hidup.

Itu lucu, bagaimana mereka sebenarnya tak lebih bagaikan seonggok daging yang terombang-ambing di tengah lautan.

Tetap mengapung atau tenggelam.

Hanya ada dua pilihan.

Hidup atau mati.

Neo menghembuskan napas, melirik Lize. “Lize, apa kau ingin hidup?” pertanyaan itu akhirnya terlontar juga dari mulut Neo.

Wajah Lize tampak tenang mendengarnya, ia kemudian memandang mata Neo dalam dalam dan tersenyum hangat.

“Tidak.” ***

.
.
Terminal Akhir. 
.
.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!