Cerpen Petam Marpaung (Waspada, 29 Desember 2024)
PAGI itu orang-orang berdasi, dengan sepatu mengkilat dan jas yang mentereng, mulai memasuki ruang sidang. Setiap anggota diwajibkan menempati kursi yang telah ditetapkan oleh panitia.
Anggota yang satu dengan yang lain tidak diperkenankan duduk bercampur baur. Maksudnya, komisi 1 mesti duduk di kelompok komisi 1, komisi 2 di kelompok komisi 2, kelompok komisi 3 di komisi 3, demikian seterusnya.
Dalam suasana yang tertib, Ketua Sidang memulai acara. Dia menyampaikan agenda yang akan dibicarakan.
“Saudara-Saudara yang saya hormati, masalah yang akan kita bahas hari ini adalah masalah calon gubernur, yakni calon gubernur yang berasal dari mantan narapidana. Oknum gubernur tersebut pernah divonis 5 tahun penjara karena dia melalukan korupsi. Dan, masalah ini sekarang sudah menjadi viral. Menghebohkan. Karena apa? Karena, Komisi Pemilihan Umum meloloskan dia menjadi Calon Gubernur.”
Wah! Salah seorang langsung menanggapi masalah ini.
“Ketua Sidang yang mulia, fraksi kami tidak menyetujui calon gubernur seperti ini. Seratus persen, kami sudah sepakat untuk menolak calon pemimpin yang track record-nya koruptor.”
“Betul! Betul!” Sambut teman-temannya.
“Bagaimana pendapat yang lain?” Kata Ketua Sidang.
Dalam hal ini, lima belas orang berdiri secara serentak. Masing-masing menyodorkan diri untuk bicara.
“Sabar! Sabar! Saya mohon agar satu per satu mengemukakan pendapat. Silakan! Yang berdasi merah,” Kata Ketua.
Lalu anggota yang berdasi merah bicara.
“Kami tidak menolak. Kami tidak merasa keberatan atas keputusan KPU untuk meloloskan mantan narapidana itu menjadi calon gubernur. Karena apa? Karena dia sudah menjalani hukumannya secara penuh. Sekarang, dia sudah bebas. Berarti haknya untuk mencalonkan diri menjadi gubernur sama dengan hak kandidat yang lain.” Tutur si Dasi Merah.
Sekejap terjadi pro-kontra. Anggota yang lain nyinyir. Sebahagian berbisik-bisik. Berbisik ke kiri, berbisik ke kanan. Sebahagian bercakap-cakap. Bercakap ke kiri, bercakap ke kanan, bercakap ke depan, bercakap ke belakang. Tidak ada keteraturan. Suasana menjadi ribut. Bising!
“Yang Mulia!” Seru yang Berdasi Biru. “Kami sependapat dengan pembicara pertama. Bahwa seorang mantan nara pidana tidak boleh diberikan kesempatan untuk mencalonkan diri menjadi pimpinan suatu daerah. Perlu kami tegaskan di sini bahwa seekor tikus tidak pernah akan berubah menjadi seekor harimau. Tikus, ya tetap tikus. Koruptor, ya tetap koruptor. Jadi, kalau kita bercita-cita untuk memajukan pembangunan di negara ini, para koruptor harus kita hanguskan hingga ke akar-akarnya.”
“Betul!! Betul!” Sambut yang lain dan bertepuk tangan.
Si Dasi Merah geram. Dia tampil lagi.
“Calon yang kami usung adalah putra terbaik bangsa, Saudara-saudara! Partai kami tentunya akan menjamin, sekali lagi, akan menjamin bahwa beliau, o, maksud saya, Cagub kami, tidak akan mengulangi perbuatan jahatnya lagi jika dia nantinya terpilih menjadi gubernur,” katanya meyakinkan para peserta sidang.
Tetapi yang terjadi apa? Botol minuman mineral melayang dari belakang mengenai pundak si Dasi Merah. Dia tersentak. Tak ada yang menduga bahwa di dalam pertemuan seakbar ini, ada aksi lempar-melempar. Mungkin orang itu adalah golongan yang tidak setuju dengan Cagub mantan koruptor. Namun, tidak jelas siapa oknum yang melemparkan botol minuman itu.
Si Dasi Merah marah. Dia berteriak-teriak. Dia membentak-bentak menghadap ke belakang, ke arah pelempar itu. Terjadi momen sorak-menyorak di antara peserta. Insiden ini mengundang pimpinan sidang untuk melerai persoalan melalui corong pengeras suara.
“Saudara-saudara yang saya hormati, mohon kita menjaga etika. Mohon tenang. Sidang kita ini sekarang ditonton oleh jutaan masyarakat melalui siaran langsung beberapa TV. Kita malu saudara-saudara. Saya mohon kita tertib, saya mohon agar setiap peserta kembali ke tempat duduk masing masing,” ajak Ketua Sidang.
Tapi, ajakan ini kurang diperhatikan. Si Dasi Merah terus-menerus ngotot. Terus mengecam si pelempar botol. Terus berjuang untuk mempertahankan agar Cagub mereka tidak dibatalkan.
“Kalau ada yang keberatan atas Cagub kami, tolong rekan-rekan tidak bertindak ala preman. Jangan lempar botol sembunyi tangan. Bersikap dewasalah. Bersikap kesatrialah. Mari beradu argumentasi. Jangan seperti banci,” kata si Dasi Merah sambil menuju kursinya.
Kemudian, setelah situasi aman, sidang pun dilanjutkan. Namun, entah kenapa, tiba-tiba muncul lagi insiden. Perhatian pimpinan sidang tertuju pada insiden itu. Dari balik kacamatanya, dia melihat bahwa gerak-gerik anggota yang duduk di bagian tengah agak lain. Tampaknya mereka bertengkar. Rusuh! Tuding-menuding.
Ada apa lagi ini? Pikir Ketua. Dia ingin tahu apa yang sedang diperdebatkan di sana. Oleh karena itu, dia bangkit dari kursinya untuk menemui secara langsung kelompok yang sedang kasak-kusuk.
Akan tetapi, tiba-tiba seseorang mencekal.
“Jangan datang ke sini, Pak! Di sini bau petai. Mungkin ada yang kentut!”
Hahah! Ketua Sidang tertawa. “Janganlah bercanda,” katanya. “Tidak mungkin kaum elit sembarangan kentut di ruangan semegah ini,” katanya lagi.
Lalu, dia menghirup udara dalam-dalam untuk merasakan aroma udara di saat itu. Dan, peserta lain pun turut menghirup udara seperti yang dilakukan Ketua Sidang setelah mendengarkan bahwa ada anggota yang kentut.
Heh! Tolol! Sudah dikatakan bahwa ada bau kentut, malah para peserta tidak percaya. Bahkan para peserta termotivasi untuk menciumnya. Ratusan lubang hidung kembang kempis silih berganti hanya untuk membuktikan apakah memang ada kentut itu atau tidak.
Hahah! Dan ternyata: Betul. Ternyata kentut itu benar-benar ada. Cuma nggak tahu entah siapa orangnya. Tak seorang pun mengetahui dari selangkangan siapa bau petai itu terlepas. Hanya Baunya yang menyengat. Aromanya sangat lama bertahan di udara. Lama sekali nyang kutnya di rongga hidung.
“Tolong Pak, AC-nya dimatikan. Supaya bau busuk tidak mutar-mutar di ruangan ini,” usul yang satu.
AC pun dimatikan. Seketika suhu ruangan berubah. Ruangan jadi gerah. Pengap! Panas! Para peserta mulai berkeringat. Bau ketiak pun menguap. Peserta resah! Ada yang buka jas. Ada yang buka dasi. Ada yang buka kancing baju. Sementara bau petai tidak jua menghilang.
Aroma kentut tetap bertahan di dalam ruangan. Dan anehnya, muncul pula aroma lain, yakni bau durian dan bau jengkol. Aroma kentut semakin merasuk ke segala penjuru. Perpaduan antara bau kentut petai, kentut durian dan kentut jengkol, bikin anggota sidang makin panik. Mereka tak tahan. Mereka menyelidiki asal-usul bau itu, tapi tidak ada yang mengaku.
Bahaya! Pikir si Baju Putih. Masa bau kentut diselidiki berjam-jam. Masa sebab musabab kentut dibahas berjam-jam? Kok perbincangan lebih fokus pada kentut daripada masalah calon gubernur mantan narapidana? Apa gunanya? Pikirnya sambil melihat seorang teman sedang muntah-muntah di bawah pohon ketapang kencana!
Ah, ini tidak boleh dibiarkan, pikir si Baju Putih. Lalu, dia pergi menghidupkan AC. Ya, dia menghidupkan AC dengan volume maksimal. Kemudian semua jendela dan pintu gedung dia buka lebar-lebar agar polusi udara yang kotor terbuang secara bebas dari ruang persidangan. Cara ini pasti akurat untuk menanggu langi permasalahan, pikirnya.
Tindakannya berhasil. Suasana sekarang sudah kondusif. Ruangan kembali normal seperti semula. Jendela-jendela pun sudah ditutup. Volume AC pun sudah dinormalkan. Seluruh anggota sidang pun sudah memasuki ruangan. Mereka menempati tempat duduk yang sudah diatur oleh panitia.
Pimpinan sidang berpesan: “Saudara-saudara yang saya hormati, lupakanlah kejadian tadi. Marilah kita fokus untuk membahas masalah calon gubernur yang background-nya mantan Narapidana Korupsi. Namun, karena waktu kita sudah habis tersita oleh insiden tadi, maka sidang hari ini kita tutup dan kita lanjutkan bulan depan,” kata Pimpinan sidang sambil mengetok meja dengan palu tiga kali.
Peserta bubar tanpa kesim pulan. Wah, kecewa setengah mati. ***
.
.
Sipagimbar, 18 November 2024
.
.
Kentut.
.
.
Leave a Reply