Cerpen Ahimsa Marga (Kompas, 23 Februari 2025)
SEMUA sudah kupersiapkan rapi. Niatku bulat. Tahun ini aku mau nyekar lebih awal, sebelum ritual nyadran [1] berlangsung, supaya waktunya lebih longgar.
Setidaknya empat-lima kali dalam setahun aku menengok Ibuku yang tertidur abadi di makamnya yang sunyi. Namun nyekar sebelum Ramadhan, juga dikenal sebagai ziarah kubur, sangat penting bagiku karena selalu mengingatkan tentang batas usia raga, tentang keniscayaan yang alamiah.
Makam Ibuku terletak di leher bukit, yang harus dicapai dengan kondisi tubuh yang prima karena jalannya menanjak mencapai kemiringan hingga 45 derajat.
Aku sudah membayangkan akan menghirup udara yang bersih dari ketinggian. Biasanya aku berhenti agak lama, berdiri tegak menghadap langit, memejam mata, menghirup nafas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan-pelan, sambil membuang sisa endapan kesedihan dan kekhawatiran.
Setelah itu baru aku bersimpuh di makam Ibuku, membersihkan bagian yang masih tertutup tanah, menyirami dengan air mawar dari atas ke bawah, lalu menebar mawar merah, putih, melati, bunga kantil, kenanga dan pandan, menyapu kepala makam dengan pelukan, lalu mendaras doa.
Baru membayangkan saja, hatiku sudah merasa sangat nyaman, meski kakiku terasa beku karena kedinginan. Kaus kaki seperti tidak berfungsi. Jaket yang kukenakan tidak mampu mengusir hawa dingin yang mengepung dari mesin pendingin di gerbong kereta api eksekutif bersuhu 20 derajat celsius itu. Freezing. Aku memang tidak tahan udara dingin. Apalagi di luar pun udara terasa sangat dingin. Musim penghujan mencapai titik tertingginya di beberapa wilayah pada bulan Februari.
Tubuhku bergetar ketika kereta berhenti di stasiun tujuan: Tugu, Yogyakarta. Aku segera mencari mobil yang sudah kupesan dari tetangga baik untuk segera mengantarku sampai ke rumah peninggalan Ibuku. Oooh aku harus berhenti sebentar di supermarket di jalan searah untuk membeli kyuri, teman sarapan pagiku.
Semua terasa baik-baik saja, sebelum tiba-tiba aku merasa energi gelap menyerang, memberi tekanan negatif yang kuat ke ulu hati. Nafasku tersengal. Aku seperti mau tumbang.
Setiba di rumah, Yu Tinah membantuku berjalan supaya aku tidak jatuh. Dia sudah lebih 14 tahun mengurus rumah itu sementara aku lebih banyak tinggal di Jakarta. Dia menuntunku untuk duduk dan memberiku teh encer hangat dengan sedikit gula, memijat tengkukku pelan, membantuku ke kamar mandi dan membaluri tubuhku dengan minyak kayu putih, lalu menyelimutiku.
Aku menolak makan malam. Aku hanya ingin berbaring.
“Sugeng saré, Mbak,” ujarnya, pelan.
***
Aku terbangun pada pukul 02.15. Biasanya aku langsung ke kamar mandi, mencuci muka, bersih-bersih, mengganti bajuku, lalu aku duduk, diam, menjalani ritual pagiku dan mendaras syukur. Tapi pagi ini aku tidak sanggup duduk. Jadi aku kembali berbaring.
Tubuhku tidak kuat. Dalam kondisi seperti ini aku tidak akan sanggup mendaki untuk tiba di makam Ibu yang terletak 70 kilometer dari kota ini. Sakit seperti ini butuh setidaknya tiga-empat hari untuk pulih. Aku tidak butuh obat, aku cuma butuh istirahat. Hari kelima aku sudah harus kembali ke Jakarta karena masa cutiku selesai.
Malam itu aku tertidur pulas selama empat jam. Waktuku di sepertiga malam hanya terisi kekosongan, membuat rasa di dalam diriku bergejolak.
‘Kenapa aku tidak diijinkan nyekar? Kenapa Ibu seperti menolak kedatanganku? Adakah yang salah dengan diriku?’
Tetapi otakku mendadak mencampuri segala yang mengusik pergulatanku dan menyodorkan jawaban yang begitu rasional.
‘Kau memang belum terlalu sehat, tubuhmu masih belum kuat, tetapi kau memaksa pergi. Lagipula kau tak tahan hawa dingin AC.’
Aku memang baru saja sembuh dari flu berat, ditambah dahsyatnya gempuran energi dari fenomena lima planet sejajar yang terdekat dengan Bumi, menjelang akhir bulan Januari. Untuk beberapa waktu, tubuhku terasa sangat lemah. Seorang teman ahli astrologi selalu mengingatkan supaya aku ekstra berhati-hati terhadap setiap fenomena astronomi. Katanya tubuhku bersifat absorber, mudah menyerap energi apa pun yang disebabkan oleh peristiwa itu, termasuk bulan purnama.
Namun batinku mengingatkan, bahkan dalam kondisi kaki yang masih belum sepenuhnya baik setelah cedera parah akibat terjatuh, aku bisa naik ke atas makam dengan ringan. Malah setelah itu kakiku sehat, seperti tidak pernah cedera. Itu terjadi ketika aku mau meminta restu Ibu untuk melakukan peziarahan dengan berjalan kaki selama 10 hari di belahan bumi yang lain, beberapa tahun lalu.
Sesuatu di dalam diriku mendorongku mencari tahu lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa suhu di gerbong kereta api eksekutif itu sangat dingin? Mengapa keluhanku tidak juga direspons oleh petugas? Bukankah selama ini biasanya sangat nyaman dengan suhu berkisar antara 27-30 derajat celsius? Apakah tubuhku sedemikian lemah sehingga energi gelap berhasil melumpuhkanku?
Aku yakin, tidak ada yang kebetulan.
Yu Tinah memeriksa suhu badanku setiap tiga jam. Kakiku yang sedingin es dia pijat pelan-pelan, membalurnya dengan minyak kayu putih sampai kembali hangat. Ketika mulai dingin lagi, dia sudah masuk lagi ke kamar, memijat lagi kakiku dengan lembut sampai kembali menghangat.
Begitu yang dia lakukan setiap tiga jam dan begitu pula yang selalu dia lakukan kalau aku sakit. Saat mataku terpejam dia berbisik, “Mbak, kami menumpang hidup pada mbak. Cepat sehat lagi yaaa.…”
Ujung mataku menghangat.
Malam itu tampaknya Yu Tinah juga tidak bisa tidur dengan baik.
Yu Tinah sangat gemati. Aku bisa merasakan ketulusannya melalui masakannya, sentuhannya, dan seluruh kepeduliannya. Aku pun memperlakukannya sebagai bagian hidupku, meski dia selalu tahu di mana dan bagaimana menempatkan diri.
“Saya titip Tinah sama anaknya ya Mbak. Tolong biarkan dia ndhèrèk sampai Mbak tidak membutuhkannya lagi,” begitu pesan simboknya, tujuh tahun lalu, ketika suami Yu Tinah meninggalkannya bersama anak semata wayangnya. Laki-laki itu tergulung utang karena judi online dan memusnahkan semua yang sempat ditabung pasangan itu.
***
Dua hari kemudian, entah dorongan apa yang membuatku mengajak Yu Tinah dan anaknya, Kiran, 9 tahun, untuk makan di luar. Semula aku hanya ingin membeli selimut ringan di mal untuk jaga-jaga di kereta saat kembali ke Jakarta.
Anak itu suka sekali es krim. Kadang kubelikan es krim dari pasar swalayan sebagai oleh-oleh. Maka, ketika melewati lapak es krim gelato di lantai dasar, aku berhenti.
“Mau?” Dia mengangguk cepat.
Siang itu, dia memilih gelato oreo, lalu menikmatinya sampai matanya terpejam.
“Enak sekali Budhe, terimakasih,” katanya, terbata.
Entah kenapa dadaku berpasir melihat anak itu menjilati es krimnya dengan sepenuh hati.
Aku juga singgah di restoran untuk membelikan bakmi goreng.
“Mahal, Budhe, jangan beli di sini,” bisik Kiran, yang kujawab dengan senyum.
Kiran suka sekali bakmi goreng, kubungkuskan untuk nanti malam. Dia mengangguk dengan mata berkerjap-kerjap. Siang ini kami mau makan lesehan dengan ayam ingkung, masakan tradisional khas kota itu.
Makan siang itu terasa berbeda. Aku melihat Yu Tinah dan Kiran makan dengan lahap. Berkali-kali Yu Tinah mengucap ‘matur nuwun’. Wajahnya semringah.
Makanannya memang sangat enak. Bumbunya pas. Piringku tandas. Mungkin aku lapar karena jam makan siang sudah hampir terlewati, tetapi aku mencecap rasa enak yang berbeda dalam segunduk nasi, sepotong ayam dan arèh [2], dilengkapi sambal; enak bukan pada indera perasa, tetapi nikmat yang menyatukan seluruh inderaku sampai sulit menggambarkannya.
Entah apa yang kurasakan, tetapi mataku basah….
Suasana hati seperti itu pernah kualami beberapa tahun lalu, ketika menikmati makan siangku hanya dengan oseng tempe cabe hijau buatan Yu Tinah, sambil memandang hujan jatuh dari jendela kaca di siang yang senyap. Aku merasakan nikmat luar biasa dan rasa syukur yang tiba-tiba menyergap.
Peristiwa sesederhana itu membuat hatiku diselimuti kebahagiaan. Terasa cinta yang penuh membungkus seluruh diriku, sampai aku tak mampu menahan agar air mataku tidak jatuh.
***
Kenikmatan itu tinggal sampai malam hari, juga suasana hatiku, seperti menetralkan pikiranku yang kusut karena tidak jadi nyekar. Juga serangkaian ‘mengapa’ yang belum kutemukan jawabannya.
Tiba-tiba kudengar suara lembut.
“Pernahkah kamu mengajak Yu Tinah dan anaknya makan bersama di luar?’
Aku terhenyak. Batinku menjawab, “Aku selalu membeli makanan yang kumakan di luar untuk Yu Tinah dan anaknya.”
“Pernahkah kamu mengajak Yu Tinah dan anaknya makan bersamamu di luar?”
“Aku memberi Yu Tinah tambahan uang untuk jajan,” aku menjawab lagi.
“Pernahkah kamu mengajak Yu Tinah dan anaknya makan bersamamu di luar?”
Ah, pertanyaan sama untuk ketiga kalinya.
Kujawab lirih, “Tidak.”
Tak ada lagi pertanyaan. Kutangkap kelebat senyum Ibuku dari ekor mataku.
Kepalaku mendadak terang benderang.
Aku membaca pesan dalam sasmita itu. Sepertinya Ibu mau aku memberikan diriku untuk Yu Tinah dan anaknya, memperlakukannya dengan ketulusan dan menguatkan perasaan dianggap. Aku sudah memperlakukannya dengan sangat baik, tetapi itu masih jauh dari cukup. Aku hanya memeluknya dengan kedua tanganku, sementara hatiku masih membeku di dalam sana.
Selapis kulit bawang yang menyelimuti tabir hati telah terkupas. Dinding-dinding tinggi yang selama ini kokoh membentengi lapis terdalam ruang diriku diruntuhkan oleh pendar mata ibu dan anak yang memancarkan rasa syukur.
Aku sudah nyekar. Bukan ke makam Ibu, tetapi ke diriku, ke dalam jiwaku yang kerontang…. ***
.
.
Yogya-Jakarta, Februari 2025.
.
Catatan:
[1] Nyadran: tradisi dalam masyarakat Jawa untuk mendoakan roh leluhur, sekaligus mengingatkan akan akhir kehidupan manusia itu dilakukan melalui serangkaian upacara yang berlangsung turun-temurun pada bulan Ruwah kalender Jawa atau bulan Sya’ban kalender Hijriah, untuk menyongsong bulan suci Ramadhan.
[2] Arèh: santan kental, dimasak dengan bumbu-bumbu, dituangkan di atas gudeg, nasi liwet atau ingkung. Arèh merupakan pelengkap masakan tradisional khas Yogyakarta.
.
.
Ahimsa Marga adalah Maria Hartiningsih, wartawan senior yang pada masanya dikenal gigih memperjuangkan hak asasi manusia, terutama bagi anak, perempuan, dan kelompok yang dimarjinalkan. Tahun 2003, ia menerima penghargaan Yap Thiam Hien, sebuah penghargaan di bidang edukasi HAM yang pertama diterima oleh wartawan di Indonesia.
Saskia Gita Sakanti, sarjana lulusan Seni Murni Institut Teknologi Bandung tahun 2022. Sebagai ilustrator, pernah memenangi AMI Awards 2021 untuk kategori cover album. Tertarik dengan segala yang terkait seni visual.
.
.
Nyekar. Nyekar. Nyekar. Nyekar.
.
.
💭
aku suka banget sama alurnya yang ringan ini, tapi maknanya dalam, jadi pas diakhir aku jadi paham maksud dan tujuan tulisan ini dibuat.