Suamiku memiliki kebiasaan sebelum tidur. Ia harus makan malam lengkap dengan sambal cobek di atas ranjang. Kebiasaan ini dilakukannya sejak kami menikah. Seminggu setelah malam pertama, ia memintaku segera menyiapkan makan malam dengan sambal, di atas ranjang.
Aku sebetulnya agak kewalahan dengan kebiasaan ini. Tapi, sebagai istri, aku harus menuruti keinginan suamiku. Aku membeli meja kayu kecil untuk menempatkan cobek-cobek kecil agar ia bisa makan di atas ranjang tanpa mengotori seprai dan selimut.
Aku awalnya tidak begitu bisa membuat sambal. Sambal pertama yang kubuat adalah sambal tomat dan rasanya keasinan. Kedua kali membuat sambal, aku mencoba membuat sambal terasi, tetapi malah terasinya kebanyakan dan suamiku membuangnya. Akhirnya suamiku membelikan buku resep aneka sambal. Setiap hari aku belajar mengulek sambal berdasarkan resep. Lama-kelamaan aku hafal satu per satu resep sambal itu dan aku mulai mahir membuatnya tanpa bantuan resep. Ditambah lagi, ibuku sengaja datang untuk mengajariku mengulek sambal dengan baik dan benar saat suamiku bekerja.
“Istri idaman adalah perempuan yang pandai membuat sambal,” begitu pernah ibuku berpesan saat aku remaja. Kata-kata itu kemudian diulangnya ketika mengajariku sekarang, “Ibu kan sudah pernah bilang, istri idaman adalah perempuan yang pandai membuat sambal.”
Ibu mengatakan, sambal yang baik tidak hanya berasal dari bahan-bahan berkualitas dengan komposisi tepat. Di luar semua itu, proses mengulek adalah hal paling menentukan dalam menciptakan rasa sambal yang enak. Jika kamu ikhlas, rasa sambalmu pasti lezat karena semuanya tergerus sempurna. Tangan yang berbeda akan menghasilkan rasa sambal yang berbeda. Maka kamu harus bisa membuat sambal yang khas, yang membuat suamimu selalu kangen sambalmu. Aku percaya kata-kata ibuku.
Sambal tomat, sambal bajak, sambal terasi, sambal matah, sambal mangga, sambal belut, sambal dabu-dabu, hingga sambal bawang. Setiap hari, apa pun lauknya, aku akan menghidangkan sambal dalam cobek kecil di atas ranjang, dengan variasi yang berbeda. Jika Senin kuhidangkan sambal matah, Selasa berganti sambal mangga. Aku tak pernah tahu kalau sambal juga termasuk afrodisiak. Suamiku mengaku, setiap kali melahap sambal buatanku, ia selalu ingin bercinta denganku.
Maka setiap kali bertugas ke luar kota dan aku tak bisa ikut, suamiku akan memintaku membuat sambal dan memasukkannya ke dalam wadah kaca bekas selai. Untuk mengobati kerinduannya kepadaku, ia akan memakan sambal sebelum tidur. Hanya saja, jika ia terbiasa bercinta setelah memakan sambal, kalau ke luar kota, aku jadi khawatir bagaimana cara suamiku melampiaskan libidonya?
Tapi, aku berusaha untuk memberinya kepercayaan. Selama masih meminta dibuatkan sambal setiap kali akan ke luar kota, itu berarti ia masih menganggapku spesial. Tapi, semakin tinggi jabatannya, suamiku semakin sering ke luar kota, bahkan luar negeri. Aku pun berinisiatif untuk membangun bisnis kuliner agar tak kesepian di rumah.
Awalnya aku hanya membuka warung kecil-kecilan di garasi rumah yang kosong karena kami belum memiliki mobil. Tapi, karena sambal buatanku ternyata memikat lidah siapa pun yang berkunjung, sambalku semakin terkenal dari mulut ke mulut. Suatu hari, seorang pengusaha muda mendatangi warungku dan menawarkan kerja sama untuk membangun rumah makan dengan sambal buatanku sebagai andalannya. Tentu saja ini kesempatan tak terduga yang tak boleh dilewatkan. Tetapi, saat aku mendiskusikannya dengan suami, aku tak menyangka ia menolaknya.
“Aku tahu siapa pengusaha itu,” ujar suamiku saat aku menyebut nama pengusaha yang mendatangiku. “Aku sebetulnya mengidolakan dia, tetapi aku tidak rela kamu bekerja untuknya.”
“Bukannya bagus? Bukankah Mas seharusnya bangga kalau istri Mas bisa berkolaborasi dengan pengusaha idola Mas?”
“Aku tidak ingin sambal buatanmu jadi pasaran. Sebaiknya kamu berhenti berjualan sambal. Cukup aku saja yang menikmati sambalmu, Dik.”
“Tapi, Mas, kalau aku menerima tawaran pengusaha itu, aku bisa membantu ekonomi keluarga. Bukankah sejak pacaran kita memimpikan punya usaha makanan? Ini kesempatan buat kita, Mas.”
“Aku ingin punya food truck yang menjual milkshake, terutama milkshake vanila, bukan restoran yang menjual sambal.”
“Aku tahu, Mas sangat menyukai milkshake vanila, minuman yang tidak ada cocok-cocoknya dengan sambal tradisional itu. Tapi, kalau kita mulai dulu dengan usaha restoran sambal, nanti kita bisa beli food truck impianmu, Mas.”
“Aku ingin beli food truck dari tabunganku sendiri, bukan dari hasil usahamu dengan pengusaha itu! Sekali aku bilang tidak, ya tidak!”
Aku tak menyangka suamiku akan menolak tawaran pengusaha itu. Saat kusampaikan hal ini kepada pengusaha yang bernama Dimas itu, ia menjadi heran.
“Suamimu menolak karena dia tidak ingin sambal istrinya jadi pasaran? Bukankah seharusnya ia malah bangga karena sambal buatan istrinya terkenal dan disukai banyak orang?” tanya Dimas.
“Suamiku malah ingin agar sambal buatanku menjadi eksklusif karena hanya dia sendiri yang menikmatinya,” jelasku sambil menunduk. Aku tak berani menatap wajah Dimas.
“Bagaimana dengan dirimu sendiri? Apakah kamu ingin membangun restoran makanan dengan sambalmu sebagai andalan, atau ingin sambalmu hanya dinikmati suamimu?”
“Aku awalnya tak bisa membuat sambal. Justru suamiku yang ingin aku menyajikan sambal sampai membelikan buku resep. Berkat suamiku, aku jadi bisa membuat sambal enak. Aku membuka warung tadinya hanya agar tidak bosan ditinggal suami bekerja bahkan sering ke luar kota. Aku tidak menyangka kalau akhirnya banyak yang menyukai sambalku. Aku sebetulnya bangga, sambalku membuat orang ketagihan. Dan aku mau menerima tawaran untuk buka usaha restoran agar sambalku makin banyak yang menikmati. Tapi, kalau suamiku tidak mengizinkan, aku harus berhenti. Sebab, urusan sambal ini kan bermula dari suamiku juga.”
“Rumit ya. Aku juga tidak bisa memaksa kalau ini soal rumah tangga. Sebagai istri, kamu tentu harus patuh pada suami dan aku tidak bisa mengganggu itu. Tapi, aku akan coba bicara dengan suamimu. Bisa bantu aku bertemu dengannya?”
“Tentu saja. Dia mengaku fans beratmu.”
“Oh ya? Bagus dong. Jadi aku lebih mudah untuk membujuknya.”
“Tidak semudah yang dibayangkan. Suamiku cukup tegas orangnya. Sekali dia bilang tidak, ya tidak. Tapi kita bisa coba.”
Ternyata, suamiku tak mau bertemu dengan Dimas.
“Sebetulnya di antara kalian ini ada apa? Kenapa ngotot harus jadi restoran itu? Kalau aku bilang tidak, ya tidak. Masih mau usaha negosiasi lagi?”
“Aku hanya ingin mencoba, Mas. Ini kan bukan hal yang negatif. Kenapa Mas melarangku berkembang?”
“Aku tidak melarangmu berkembang, tapi aku tidak ingin sambal buatanmu jadi dinikmati banyak orang. Aku ingin aku saja yang menikmatinya. Masih kurang jelas?”
“Tapi, ini hanya sambal, Mas. Bukan hatiku. Hatiku pastinya hanya untuk Mas. Tapi, relakanlah sambalku dijual bebas. Toh nanti kalau sukses, kita bisa beli food truck impian Mas itu. Sekarang bayangkan, butuh berapa puluh tahun menabung gaji Mas untuk bisa beli food truck dibandingkan dari hasil usaha restoran yang mungkin saja akan laku keras. Tidak ada salahnya kan aku coba dulu, Mas?”
“Kamu meremehkan penghasilanku?”
“Bukan begitu, Mas. Maksudku ….”
“Belum bangun restoran saja sudah meremehkan penghasilanku. Apalagi nanti kalau restoranmu sukses. Belum lagi kalau banyak lelaki yang mendekatimu, termasuk si Dimas itu. Jangan-jangan kamu memang sebetulnya mengincar itu.”
“Aku tidak bermaksud meremehkan penghasilan Mas. Tolong juga jangan berpikiran negatif bahwa aku akan selingkuh. Aku tidak serendah itu, Mas.”
“Jawabanku tetap tidak. Mulai besok, aku juga ingin warungmu itu ditutup. Karena aku mau beli mobil dan garasi itu akan terpakai. Aku mau tunjukkan bahwa penghasilanku tidak sekecil yang kamu pikir.”
Keesokan harinya suamiku memang serius membeli mobil. Aku tak berani bertanya apakah mobil itu dibayar lunas atau dicicil. Aku tak ingin suamiku tersinggung lagi. Aku sudah membongkar warungku sejak pagi dengan hati yang kecewa, namun tak bisa berbuat apa-apa. Suamiku bahkan tidak memberikan pilihan ke mana warung itu harus dipindahkan. Ia betulan ingin aku tidak menjual sambalku lagi.
Menjelang senja, aku membuatkan milkshake vanila kesukaannya, sedangkan untukku sendiri aku lebih memilih wedang jahe. Untuk minuman, selera suamiku memang tidak cocok dengan kesukaannya akan sambal tradisional, tapi itu soal selera dan tak perlu didebat.
“Kalau memang Mas tidak mengizinkan aku menjual sambal, apakah aku tetap boleh membangun restoran dengan Dimas tanpa harus menjual sambal?”
“Sore ini aku ingin membahas mobil yang baru kubeli dan kamu malah membuka percakapan dengan menyebut nama Dimas?”
“Mas, ada apa dengan Dimas?”
“Seharusnya aku yang bertanya padamu. Ada apa dengan Dimas? Kenapa kamu begitu ingin bekerja dengannya? Kamu ini sebetulnya mau jual sambal atau mau kolaborasi dengan Dimas?”
“Justru aku juga ingin tahu, Mas melarangku hanya karena tak ingin sambalku jadi pasaran atau tak ingin aku bekerja dengan Dimas?”
“Dua-duanya.”
“Mas cemburu?”
“Aku tak boleh cemburu?”
“Boleh, Mas. Tapi, bukan begini caranya.”
“Bagaimana cara cemburu yang baik dan benar? Sudah, hilang nafsuku menikmati senja sambil minum milkshake vanila dan membicarakan mobil baruku. Kamu sama sekali tidak peduli akan diriku dan pencapaianku. Sejak kenal Dimas, di kepalamu hanya Dimas dan obsesimu menjadi pengusaha.”
Suamiku masuk ke rumah sambil membanting pintu.
Aku hanya bisa menghela napas berat, lalu membereskan dua gelas minuman yang belum tersentuh.
Malam hari kami tidur saling memunggungi. Pagi harinya pun suamiku mendiamkan aku sampai ia masuk ke dalam mobil dan pergi ke kantor tanpa pamit.
Hatiku kosong. Hari-hari berikutnya suamiku tak pulang. Aku mencoba menghubungi ke kantornya, tapi selalu tak ada di tempat. Hal ini berlangsung sampai dua minggu. Ponselnya juga tak pernah aktif. Bagaimana mungkin orang sesibuk dia bisa mematikan ponsel sampai dua minggu?
Aku terpaksa menemui atasannya di kantor dan mendapat informasi bahwa suamiku ditugaskan ke luar kota selama satu bulan. Aku segera membeli tiket pesawat dan mencari hotel tempat suamiku menginap, sesuai dengan data dari perusahaan tempatnya bekerja.
Jantungku berdebar kencang saat aku mengetuk pintu kamar hotelnya. Aku tahu, pintu hotel dilengkapi lubang kecil untuk mengintip sehingga suamiku bisa saja tidak membukakan pintu saat melihatku di depan pintu. Ternyata ada yang membuka pintu, tapi bukan suamiku yang membukanya. Seorang perempuan berbalut baju tidur tampak heran memandangku. Dengan nekat, dalam hitungan detik aku terus melangkah masuk ke dalam dan menemukan aneka sambal di atas ranjang, lengkap dengan cobek-cobek kecil untuk setiap sambal. Di atas sofa yang tak jauh dari ranjang, ada dua orang perempuan mengenakan lingerie sedang duduk memegang gelas berisi milkshake vanila. Mungkin tadi salah satu dari mereka membukakan pintu karena berpikir aku adalah bagian dari mereka, yang akan bergabung malam itu.
Aku tak butuh penjelasan apa pun. Aku akan membangun restoran sambal bersama Dimas, dengan atau tanpa persetujuan suamiku. ***
Tenni Purwanti. Lahir 2 Mei 1986, berprofesi sebagai wartawan sejak 2011 hingga sekarang. Pernah menerbitkan kumpulan cerpen bertajuk Luka (2010) secara self-publishing. Cerpennya pertama kali masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2014.
Leave a Reply