Cerpen Zahro Syaquilla Ar (Radar Bromo, 23 Februari 2025)
AKU tak bisa hidup tanpa Bapakmu, Nak…. Aku tak akan bisa hidup jika ditinggal Bapakmu….
Aku tahu, Ibu selalu risau saat Bapak tak ada di dekatnya. Setiap kali Bapak pergi, ada keresahan yang dirasa Ibu. Tampak sangat berlebihan, tetapi pada kenyataannya memang demikian.
Wajahnya tampak sedih, seolah ada rasa takut yang tak bisa dijelaskan. Aku paham bahwa Ibu sangat bergantung pada Bapak. Kini aku pun tak pernah menyangka bahwa rasa takut itu telah sampai pada tahap yang membuatnya selalu khawatir, bahkan tak sedikit yang akan khawatir melihatnya.
***
Aku, Rahmi, anak pertama dari tiga bersaudara. Pagi itu, saat aku sedang duduk di teras, aku melihat Ibu berjalan menuju kebun dengan membawa keranjang.
Ibu memang sangat menyukai kebun kecil di seberang rumah. Setiap hari, ia membawa keranjang kosong dan kembali dengan bunga-bunga yang harum dan segar. Mungkin, bunga-bunga itulah yang membuat Ibu semangat menjalani hari-hari senjanya.
Belahan jiwa Ibu adalah Bapak. Bapak adalah orang yang tenang dan sabar. Beliau dulu adalah seorang guru. Setelah pensiun, Bapak lebih banyak menggarap sawah dan sesekali menengok kebun-kebunnya.
Namun, yang paling penting dari semua itu, ia benar-benar merawat Ibu dengan sangat baik. Setiap sore, Bapak pulang dari sawah. Tampak rambutnya yang mulai penuh memutih dan kulitnya yang sudah kendur. Meskipun sudah tua, Bapak masih kuat membawa cangkul di pundaknya.
Saat masuk ke rumah, Ibu langsung bergegas menghampiri dan membantunya membawa cangkul yang dibawa Bapak. Meskipun bagi Ibu sebenarnya cangkul itu cukup berat. Wajah Bapak selalu berseri-seri ketika Ibu menyambutnya.
“Sampeyan memang perempuan yang perhatian, Bu,” kata Bapak tersenyum sembari menatap wajah Ibu.
Ibu selalu berbunga-bunga setiap kali mendengar pujian dari Bapak. Ibu seakan mendapatkan semangat baru setiap pagi, siang, dan malam. Ibu dan Bapak selalu sukses membuat kami iri melihat keromantisan mereka berdua.
Setiap malam, ketika semua sudah terlelap, aku sering mendengar Ibu masih berbincang hangat dengan Bapak tentang cerita semasa muda mereka.
Dari percakapan beliau berdua, aku merasakan kebersamaan Bapak dan Ibu yang benar-benar tak bisa dipisahkan. Bapak dan Ibu memiliki hubungan yang langgeng. Cinta di antara mereka tak akan pernah pudar.
Banyak orang tahu kalau Ibu adalah seseorang yang tak bisa hidup tanpa Bapak. Ini bukan masalah yang mudah, terutama ketika Bapak terkena penyakit yang tak bisa dijelaskan.
Awalnya, aku dan adik-adikku tak pernah mendengar Bapak mengeluh tentang apa pun, tetapi ada saatnya Bapak mulai merasa tak sehat. Bapak sering kelelahan dan lemas. Ibu sangat mengkhawatirkan Bapak. Kalau sudah begitu, Ibu tak akan mau jauh dari Bapak, bahkan hanya sesaat.
“Bu, kamu harus kuat. Kamu harus terus melanjutkan hidup meskipun aku nanti sudah tak ada. Anak-anak masih membutuhkanmu,” kata Bapak dengan nada lembut. Ibu tak percaya.
Ibu tak akan bisa percaya pada dirinya sendiri. Ia benar-benar tak bisa membayangkan hidup tanpa Bapak. Semua perkataan Bapak dianggapnya sebagai cerita kosong yang hanya untuk menghindari kenyataan.
Waktu berjalan begitu cepat. Bapak semakin lemah dan tak bisa melakukan banyak hal. Ibu menjadi lebih sibuk merawat Bapak. Tak ada yang menyangka bahwa kehidupan kami akan sampai pada titik ini.
Segala tampilan kuat yang selama ini ada dalam diri Ibu mulai runtuh. Aku bisa melihat kesedihan yang dalam di setiap gerak-geriknya.
Setiap malam, Ibu selalu duduk di samping Bapak, mengelus kepalanya, dan membisikkan kata-kata penuh kasih sayang. Aku tahu bahwa Ibu benar-benar belum siap menghadapi saat di mana ia harus hidup tanpa Bapak. Kesedihan itu semakin dalam. Aku hanya bisa melihat tanpa bisa melakukan apa-apa.
Ketika Bapak semakin lemah, kami semua harus mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan yang akan datang. Namun, di tengah-tengah kekhawatiran yang semakin besar, sesuatu yang tak pernah kami duga terjadi. Saat semua perhatian tertuju pada Bapak, Ibu tiba-tiba jatuh sakit.
Aku masih ingat pagi itu. Ibu tiba-tiba tergeletak di dapur. Saat itu, aku dan adikku langsung berlari menghampiri Ibu. Tubuhnya lemas. Namun, Ibu berusaha tersenyum dan berkata, “Aku hanya lelah, Nak.”
Keadaan Ibu semakin memburuk. Ibu kembali terjatuh di kamarnya dan tak bisa bangun. Aku dan saudara-saudaraku panik. Kami benar-benar tak menyangka bahwa hal seperti ini akan terjadi.
Bapak yang juga dalam keadaan lemah, tak bisa melihat Ibu dengan leluasa. Ketakutan terlihat dari raut wajah Bapak.
“Aku mungkin tak akan lama lagi, Bu. Namun, Ibu harus tetap ada. Anak-anak membutuhkanmu,” kata Bapak dengan penuh kesungguhan dan cinta yang mendalam.
“Aku tak bisa menghadapi hidup tanpamu, Pak,” jawab Ibu dengan suara yang sangat lirih.
Setelah itu, Ibu terlelap dalam angin malam yang menusuk. Kami semua tak bisa melakukan apa-apa selain merapal doa-doa. Ibu berpulang.
Aku merasa segalanya terjadi tanpa aba-aba. Bapak tak sanggup menahan kesedihan dan tak sadarkan diri di samping Ibu. Kami semua menangis, tak tahu bagaimana cara menghadapi rasa kehilangan ini.
Di tengah-tengah kesedihan ini, ada sesuatu yang menyadarkanku. Ibu memang tak bisa hidup tanpa Bapak. Mungkin inilah yang selama ini Ibu cari dan hanya ini cara baginya untuk merasa damai.
Tak berselang lama, Bapak menyusul Ibu menuju keabadian.
***
Hari-hari setelah kepulangan Ibu dan Bapak, aku dan saudara-saudaraku harus menerima bahwa hidup memang tak bisa ditebak. Aku mengerti bahwa Ibu dan Bapak memiliki cinta yang tak bisa dipisahkan oleh apa pun, bahkan oleh kematian yang mendadak.
Semua kesedihan yang kami alami adalah bagian dari memahami bahwa cinta sejati tak akan pernah sirna. Dan harapan Ibu telah terwujud, bersemayam bersama Bapak. ***
.
.
Zahro Syaquilla Ar. Pendidik Bahasa Indonesia dan penulis.
.
Bersemayam. Bersemayam. Bersemayam. Bersemayam. Bersemayam.
Anonymous
Cinta yang mempertemukan mereka di keabadian.
Nurhayati
Cinta abadi