Cerpen Khairul A El Maliky (Waspada, 23 Februari 2025)
TERMOTIVASI oleh semangat solidaritas sesama pecinta salawat nabi di kampung halamannya masing-masing, membuat Rozik dan Akbar bercita-cita untuk mengadakan jamiyah salawat di kota perantauan mereka, Pekanbaru. Keduanya dipertemukan oleh nasib secara tidak sengaja bertemu di lampu merah.
Rozik tiba di kota bertuah lima tahun yang lalu. Ia diempaskan oleh takdir ke lampu merah lantaran belum menemukan pekerjaan. Sedangkan Akbar diseret oleh takdir setelah ia berkenalan lalu menikah dengan gadis asal Minang yang berprofesi sebagai loper koran di lampu merah.
Keduanya ingin melestarikan dan mengenalkan jamiyah salawat kepada masyarakat Pekanbaru yang berada di Sri Meranti supaya rasa rindu pada kampung halaman sedikit terobati. Akhirnya mereka berdua pun menemui salah satu pengurus takmir musalla yang kenal baik dengan Rozik.
“Apakah di sini ada jamiyah salawat, Pak?” Ujar Rozik bertanya mengawali perbincangan.
“Jamiyah salawat macam mana, Mas?” Pak Sutan Namun yang rabun jamiyah salawat mengernyitkan dahinya.
Lalu, Akbar mencoba menjelaskan dengan detail apa yang barusan dikatakan oleh teman sesama dari Jawa itu.
“Begini, Pak. Di kampung-kampung dan di kota-kota yang ada di Jawa itu sejak setelah masanya Wali Sanga selesai, terdapat sebuah dakwah berupa jamiyah salawat yang bertujuan untuk mengajak orang-orang Jawa memeluk agama Islam. Nah, isi dari jamiyah tersebut adalah menyanjung Nabi Muhammad dengan iringan ‘terbang’,” jawab Akbar dalam bahasa Indonesia berlogat Jawa medoknya.
Mungkin karena ia terlalu lama menghabiskan masa kecil hingga dewasanya di Malang, bahasa Jawanya susah dihilangkan. Apa jangan-jangan ketika ia membaca ayat-ayat suci Al Quran langgam Arabnya campur Jawa?
“Terbang? Apa terbang itu, Mas?” Pak Namus mengernyitkan dahinya karena semakin bingung dengan apa yang dikatakan oleh dua pemuda asal Jawa itu. “Terbang di angkasa maksudnya?”
“Rebana, Pak,” Rozik yang bijak karena orang yang sedang mereka ajak bicara adalah Minang tulen, ia pun menjelaskan arti dari kata terbang.
“Ooo… rebana? Terbang itu bahasa Jawanya rebana?” Pak Namus manggut-manggut. “Jadi mas-mas berdua ini ingin mendirikan sebuah jamiyah rebana? Bagus-bagus. Di sini nggak ada macam itu, Mas.”
“Jadi, apakah kami bisa meminta bantuan dari Bapak agar bisa memperkenalkan seni jamaah salawat itu kepada masyarakat?” Tanya Rozik menyampai kan maksudnya.
“Dengan senang hati bisa. Tentu saja.”
“Apalagi Pak Namus sudah memiliki jamaah Yasinan. Kita masukkan salawat di dalam jamaah tersebut. Pasti jamaah Pak Namus menerimanya karena ini adalah hal baru yang belum pernah ada di sini. Kalau nanti banyak masyarakat yang menerimanya, maka jamiyah kita adalah jamiyah yang pertama di bumi Melayu.”
Pak Namus manggut-manggut. Rozik mengenal Pak Namus sejak kali pertama nasib mempertemukannya dengan pria parobaya itu untuk pertama kali di sebuah musalla yang berada di kampung Nelayan. Pak Namus merupakan pendiri musalla yang juga menjabat sebagai ketua RT. Keduanya kenal baik seolah telah saling kenal bertahun-tahun lamanya.
“Jadi, apa saja yang dibutuhkan untuk mendirikan jamiyah salawat itu, Mas?”
“Kami membutuhkan rebana tadi, Pak.”
“Rebana kalau orang sini menyebutnya kompang.”
“Kompang, Pak?”
“Rencananya butuh berapa buah kompang?”
Sepertinya pria itu akan mendanai pembelian rebana.
“Lima buah, Pak. Tapi, apakah bentuk kompang dan rebana itu sama, Pak?”
Lalu, Pak Namus menyalakan hape jadulnya dan memutar salah satu kesenian kompang. Terdengarlah bunyi alat musik kompang yang saling bersahut-sahutan yang mengiringi salah satu lagu legendaris: Perdamaian dan Suasana di Kota Santri, Nasida Ria!
“Beda kayaknya bunyi antara kompang dan rebana,” ujar Rozik.
“Bagaimana bunyinya rebana, Mas?”
Akbar memutar salah satu lagu salawat nabi yang ia download secara ilegal dari albumnya Habib Syaikh, Yaa Nabi Salam Alaika. Ternganga Pak Namus saat menonton salah satu acara majelis salawat yang tengah diadakan di sebuah lapangan stadion. Suara salawat nabi membahana sehingga hampir membuat atap tribun stadion hendak runtuh. “Ooo… jadi rebana macam itu.”
***
Dengan bantuan pria bernama Pak Risman, akhirnya Rozik dan Pak Namus mendatangi seorang perajin alat musik kompang terkenal di perbatasan kota. Pria perajin kompang itu menyambut mereka dengan ramah. Ia pun juga menyodorkan beberapa karya kompangnya di hadapan Rozik.
“Bisa membuat yang seperti ini, Pak?” Tanya Rozik sambil memperlihatkan gambar rebana yang ada di hapenya. Dan pria itu langsung berseru, “Ini terbang, Mas!”
“Terbang apa, Zul?” Pak Risman bertanya pada kawannya si perajin kompang.
“Terbang kalau orang Jawa bilang untuk rebana, Ris. Kalau kata orang sini namanya kompang. Kompang dan rebana nyaris sama tapi bentuk dan bunyinya beda. Kalau kompang agak cembung, sedangkan rebana ramping. Kompang berasal dari Melayu dan rebana dari Arab. Keduanya sama-sama dibid’ahkan oleh kelompok salafi karena biasanya orang-orang Arab pada zaman dahulu melantunkan syair dengan iringan rebana. Tapi, di Indonesia, para ulama itu bijak. Mereka menggunakan alat rebana untuk dakwah dan diisi dengan salawat nabi.” Pak Risman dan Pak Namus manggut-manggut mendengarkan penjelasan dari kawannya itu.
“Jadi, rencananya mau bikin berapa buah, Mas?” Tanya si perajin kompang.
“Lima buah, Pak. Bentuknya macam ini ya, Pak.”
“Satu bijinya harga pembuatannya berapa?” Pak Namus bertanya dalam bahasa Minang.
“Seratus lima puluh ribu rupiah. Soalnya kayunya pakai kayu jati asli dari Jepara.”
“Deal.”
Untuk berlatih, orang itu mengizinkan Rozik agar membawa kompang miliknya. Dan sejak itu, semangat untuk mendirikan jamiyah salawat di perantauan semakin menggebu-gebu. Rozik dan Akbar berlatih menabuh kompang. Pulang dari kerja seharian menjual koran di lampu merah, keduanya berlatih nada-nada kompang sehingga warga di sekitar rumah Akbar menyebut mereka sebagai lelaki penabuh kompang. Sedangkan malam harinya, Rozik melatih Pak Namus dan punggawa jamaah Yasinan yang digawanginya membaca syair-syair salawat.
Awalnya bunyi yang mereka hasilkan terpontal-pontal. Tapi, setelah telapak tangan merah, benjol-benjol, sakit, keseleo, akhirnya nada-nada yang mereka hasilkan pun enak didengar. Begitu juga dengan latihan salawat. Setelah mengalami kesalahan macam anak TK A beratih menyanyikan lagu Balonku Ada Lima, akhirnya salawat nabi bukan hal yang asing lagi buat Pak Namus dan para sahabatnya.
Sore itu, mendung kelabu menggantung di mata langit. Angin berembus dengan kencang dan menyapu apa saja yang ada di muka bumi. Kilat saling sambar-menyambar dan membentuk akar serabut di kejauhan. Lalu, guntur bersahutan. Dalam hitungan detik, langit yang berduka pun menumpahkan air matanya.
Rencananya, Rozik dan Akbar hendak berlatih menabuh kompang dan salawat nabi di musalla karena nanti malam akan tampil di rumahnya Bang Jais. Setelah setengah jam hujan menguyur kota, mereka berdua pun langsung pergi ke rumah Bang Paiman untuk mengambil kompang. Tapi, sesuatu seolah telah menyambar otak Rozik. Ia lupa bahwa tadi siang sebelum berangkat ke rumahnya Akbar, ia menjemur kedua kompang tersebut, dan ia lupa mengangkatnya.
Setiba di rumah Bang Paiman, Rozik mencari kompang-kompang itu, dan betapa terkejutnya ia saat melihat keduanya menggigil kedinginan setelah berendam dalam banjir.
“Bar!” Rozik memperlihatkan kedua kompang kepada temannya.
Kulit kompang-kompang itu terlepas dari cangkangnya sebab ia tidak dipaku cuma direkatkan dengan lem.
Bubarlah impian mereka berdua untuk mendirikan jamiyah salawat di kota perantauan menjadi berkeping-keping. Mereka mundur secara teratur sebelum maju untuk berperang. Mereka gugur sebelum berbunga.
“Apakah kamu bisa memperbaikinya, Bar?” Tanya Rozik.
Seketika perasaan cemas disertai takut merayapi hati mereka. Dan Rozik sepertinya mendapatkan sebuah pencerahan dari peristiwa tersebut agar ia tidak boleh teledor sebab tanggung jawabnya besar.
Dibawalah kedua kompang itu ke rumah Akbar. Siang setelah pulang kerja keesokannya, keduanya berusaha untuk menyelamatkan nasib kompang. Mereka menjemurnya selama berhari-hari sampai kulit kambing dan kayu cangkang kompang mengering.
***
Setelah berbulan-bulan rencana mulia itu dihancurkan berkeping-keping oleh hujan deras sore itu, kini tidak ada yang tahu nasib kedua kompang tersebut. Rozik yang sudah rindu kepada istrinya memilih pulang ke kampung halamannya. Alasannya ia pulang selain rindu kepada istrinya, ia juga menghindar dari tawaran dari Bang Zulmansyah yang akan menjodohkannya dengan adik iparnya.
Takdir yang sama juga menimpa Akbar. Ia pulang ke kampung halamannya karena rindu kepada neneknya yang hidup sebatang kara. Ibunya merantau ke Malaysia dan tak pulang-pulang. Istrinya tidak mau ikut dengannya sehingga ia nekat pulang seorang diri.
Dua tahun kemudian, nasib kembali mempertemukan keduanya di kota. Sambil menghabiskan secangkir kopi cappucino, Rozik mencoba mengingatkan kisah soal kompang yang terendam banjir itu.
“Sebulan setelah sampeyan pulang, Pak Namus nanya ke aku soal kompang itu, Mas.”
“Lalu?”
“Aku bilang tidak tahu.”
Sampai kini tidak seorang pun yang tahu nasib dan keberadaan kedua kompang itu. Termasuk Pak Namus. Kompang-kompang tersebut sudah diperbaiki oleh perajin kompang lain, dan ternyata dialah pemilik sebenarnya. Kompang itu dicuri oleh seseorang yang hendak memesan kompang. Akhirnya, dipinjamilah kompang itu dan rusak karena terendam banjir. Bukannya diserahkan kepada pemiliknya untuk diperbaiki justru diserahkan pada perajin lain. Karena lagi butuh uang, orang tersebut menjualnya ke perajin kenalan Pak Risman. ***
.
.
2024
.
.
Lelaki Penabuh Kompang. Lelaki Penabuh Kompang. Lelaki Penabuh Kompang. Lelaki Penabuh Kompang. Lelaki Penabuh Kompang.
Leave a Reply