Cerpen, Kompas, Muhammad Ramadhan Batubara

Pesan dari Seorang yang Bernama Presiden

Pesan dari Seorang yang Bernama Presiden - Cerpen Muhammad Ramadhan Batubara

Pesan dari Seorang yang Bernama Presiden ilustrasi Putu Fajar Arcana/Kompas

4.5
(2)

Cerpen Muhammad Ramadhan Batubara (Kompas, 16 Maret 2025)

PESAN pertama dari seorang yang bernama Presiden sampai ke telingaku saat tidur. Ketika itu seperti mimpi, suara-suara terdengar sayup, tapi terasa benar. Katanya, tanamlah cabai rawit karena dari sana semuanya bermula. Lewat pedas, manis dan asin lebih terasa. Pun peluh, dia mengalir mengalahkan keringat olahraga.

Aku percaya. Buktinya, begitu bangun tidur aku langsung ke dapur mengambil sebuah dua buah cabai rawit, memotongnya untuk mengeluarkan biji dan kemudian menjemurnya di terik matahari. Lalu besoknya, saat biji-biji kering, aku mengorek lahan sekadarnya di samping rumah untuk menanam.

Pesan kedua dari seorang yang bernama Presiden sampai ke telingaku saat pagi. Kali ini tidak seperti mimpi, lebih mengarah ke nyata. Suara-suara terdengar jelas. Katanya, buatlah sambal cabai rawit dari pohon yang telah berbuah itu. Jangan pakai bawang putih, pakai yang warna merah. Pun tidak perlu tomat, cukup garam saja. Setelah terulek—tidak harus halus—siram dengan minyak panas, bagusnya sisa goreng ikan asin.

Aku ikuti. Dan, benar. Peluh mengalir mengalahkan olahraga. Nasi lebih manis pun sensasi asin sambal menyambar lidah. Benar juga si Presiden, pikirku.

Pikiranku juga sama dengan orang-orang sekampung. Para tetangga memang kerap mendapat pesan yang sama dari Presiden. Dan biasanya, ragam pesan itu masuk melalui dua pintu, pertama melalui alam bawah sadar seperti mimpi dan kedua secara sadar, persis yang kurasakan. Tapi yang jelas, si Presiden ini bukan hantu, dia nyata. Dia hidup. Dia manusia. Dia punya rumah, tinggalnya di atas bukit agak jauh dari permukiman warga. Sesekali dia muncul di pasar, duduk di warung kopi sambil berbincang atau sekadar jalan-jalan sore berteman beberapa anjingnya yang bertubuh besar. Anjing-anjing yang menarik, meski bertampang garang dan air liur yang terus menetes, binatang setia itu terlihat lucu karena memakai seragam yang nyaris sama yakni rantai tali bertuliskan: tidak galak. Kami para warga kampung melihatnya seperti paradoks, berarti majas yang contohnya hidup seperti mati; kata guru pelajaran sekolah. Ya, bagaimana mungkin binatang bertaring itu tidak menyerang? Tapi itu tadi, persis binatang peliharaannya si Presiden memang juga paradoks: hadir bak hilang, ada pun tiada, wujud juga maya.

Baca juga  Dilema

Secara umum, kami tidak ada yang kenal baik dengan Presiden, sekadar tegur sapa saja, jarang pula terlibat perbincangan panjang. Presiden ini anak Jenderal sekaligus cucunya Kapiten. Jenderal adalah tokoh kampung zaman awal kemerdekaan, sementara Kapiten merupakan sosok pejuang era kolonial.

Nama asli Kapiten sebenarnya tidak diketahui karena dia memang lahir tanpa akta. Namun, sejak dia memimpin beberapa orang melawan Belanda, dia kemudian dipanggil Kapiten. Nama belakangan ini terus melekat hingga di batu nisannya pun tidak tertulis nama asli. Saat punya anak, Kapiten memberikan nama Jenderal. Tentu, dia ingin anaknya lebih hebat dari dia. Begitu pun si Jenderal, memberikan nama Presiden untuk anaknya dengan alasan itu.

Nyata si Presiden memang berada di tempat tinggi, di bukit sana. Pesan-pesannya selalu hadir, bukan dari mulutnya, tapi dari ingatan kami. Misalnya, aku teringat cara buat sambal cabai rawit saat pagi karena pernah dengar dia berucap di warung kopi. Atau, aku pernah melihatnya meminta biji cabai rawit pada pedagang di pasar yang katanya untuk ditanam setelah sebelumnya dijemur terlebih dahulu di bawah terik matahari hingga terbawa mimpi olehku. Dan, masih banyak contoh lain, yang dirasakan warga kampung lainnya. Dan, karena itulah kami merasa asing sekaligus akrab dengan sosok itu. Paradoks, seperti anjingnya.

Namun, baru-baru ini Presiden bikin pesan berbeda. Tidak sekadar dia sampaikan langsung, mengumpulkan warga di tanah lapang, isinya juga aneh. Katanya, kami semua harus pindah ke atas bukit tempat dia tinggal. Kampung akan tenggelam, beberapa waktu ke depan hadir air bah mahadahsyat. Dan, yang paling aneh, kami semua diperbolehkan bangun rumah di tanahnya itu, tidak perlu bayar tapi wajib tanam bahan pangan untuknya. Ternak pun diperbolehkan, bahkan dia siap menyediakan bibit sapi atau kambing. Namun setiap hewan ternak itu melahirkan dua anak, maka satu ekor adalah haknya. Jadi, kalau melahirkan empat, dua ekor miliknya. Melahirkan enam, tiga ekor untuknya. Begitu seterusnya, sesuai kelipatan yang ada. Dan, yang memelihara adalah kami.

Baca juga  Mencumbu Gadis Penunggu Serambi Masjid

Tentu saja pesan langsung si Presiden tidak kami hiraukan. Bagaimana mau hirau, dia bukan kepala kampung. Pun, kampung kami jauh dari sungai dan laut, jadi sulit dibayangkan akan hadir air bah.

Masalahnya, tak berapa lama pesan itu terbang bersama angin, anjing-anjingnya si Presiden mulai turun bukit. Awalnya bergerombol, menyuarakan gonggong yang nyaring. Lalu mulai berpencar, menyasar rumah warga, menyalak keras tanpa peduli siang atau malam. Setelah itu, anjing-anjing itu semakin banyak, tidak hanya yang berseragam kalung saja. Bahkan, ada anjing yang mulai mengejar anak-anak kami. Ada pula warga yang jadi korban, betisnya digigit hingga positif rabies.

Presiden kembali turun bukit, memberikan pertolongan untuk biaya pengobatan bagi warga yang tergigit anjingnya di rumah sakit di kota. Seketika tidak ada yang menyalahkannya. Presiden adalah pahlawan, mau bertanggung jawab meski itu adalah ulah anjing-anjingnya. Bukan soal nilai uang yang dikucurkan, tapi ini soal karakter Presiden yang penuh rasa peduli. Bantuan telah membuang keluhan warga sebelumnya soal anjing pengganggu, peneror, dan penyakit. Warga seperti lupa, terlenakan.

Presiden mengambil panggung itu. Presiden pun kembali menyuarakan pesan, katanya, kami memang harus pindah ke tempatnya. Ini bukan soal anjing, tapi air bah akan hadir.

Kami yang sebelumnya tak hirau mulai goyah. Beberapa warga malah sudah berpikir untuk pindah ke bukit. Mereka melihat tawaran Presiden adalah sebuah jalan keluar dari masalah yang mereka sendiri tidak tahu itu apa. Sedang yang lain, yang masih punya kesadaran diri, ada yang mau pindah kampung, setidaknya hingga anjing-anjing itu tidak mengganggu lagi.

Aku? Aku hanya bertanya dalam hati, bukankah pesan awalnya adalah air bah? Kenapa harus pindah, sementara hujan saja jarang hadir. Aku menjadi sibuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi; ke mana arahnya. Untung dan rugi, hitungan itu, memenuhi kepala. Seharusnya sesuatu yang gampang, tapi kenapa menjadi sulit.

Lalu, anjing-anjing itu kenapa semakin banyak? Seperti ada pembiaran pun perintah dari Presiden atau anjing tanpa seragam kalung itu hanya ikut-ikutan? Sepertinya aku tak tahu dan memang tidak tahu. Yang jelas, setelah itu memang jumlah anjing bertambah banyak tanpa sekali pun air bah datang. Warga kampung satu dua orang mulai tumbang karena rabies. Anak-anak mulai tak nyaman ke sekolah atau sekadar bermain di luar rumah.

Baca juga  Cintaku Jauh di Komodo*

Di bukit mulai terbangun beberapa rumah, Presiden yang membangun dengan uangnya sendiri dan warga yang mau pindah ke sana wajib bayar tanpa menghilangkan pasal harus tanam bahan pangan. Pun, soal ternak tetap berlaku.

Dan beberapa hari yang lalu, pesan dari seorang yang bernama Presiden kembali sampai ke telingaku saat tidur. Seperti mimpi, suara-suara terdengar sayup, tapi terasa benar. Katanya, di atasnya hanya ada Tuhan.

Pagi hari ini, pesan dari seorang yang bernama Presiden juga datang lagi. Kali ini tidak seperti mimpi, lebih mengarah ke nyata. Suara-suara terdengar jelas. Bilangnya, itu pun kalau Tuhan ada.

Ah, sepertinya, sebelumnya aku tak pernah dengar itu semua; terserah itu di warung kopi, pasar, maupun tanah lapang. ***

.

.

 Muhammad Ramadhan Batubara, pengarang berdarah Batak dan Bengkulu. Kelahiran Limapuluh, Batu Bara, besar di Langsa, Aceh, tumbuh di Yogyakarta, kini tinggal di Deliserdang dan ber-KTP Medan.

Putu Fajar Arcana lahir di Bali. Selama masa Covid-19 mendalami teknik melukis dutch pour dengan menggunakan alat-alat yang tak biasa. Ia kemudian mengembangkan teknik ini dengan konsep melukis yang melibatkan lima unsur alam, seperti: padat, cair, api, angin, dan gas. Pertama kali berpameran dalam pameran Lukisan Bukan Pelukis (1999) di Bali Mangsi Denpasar, Mencuri Waktu (2000) di Kompas Denpasar, pameran seni rupa Lindu (2006) di Bentara Budaya Yogyakarta, dan pameran Grateful Dead (2013) di Bentara Budaya Jakarta.

.
.
Pesan dari Seorang yang Bernama Presiden. Pesan dari Seorang yang Bernama Presiden.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!