Cerpen T Agus Khaidir (Kompas, 02 Mar 2025)
SAAT Nenek bilang ia hendak memasak Anyang Pakis untuk hidangan berbuka, Bapak dan Ibu tertawa. “Mak, ini New York. Mak lupa?” kata Bapak di sela tawanya yang belum betul-betul reda.
Nenek menyunggingkan senyum. Tipis dan dingin. Di sisi lain meja, Naura dan Anamira sebentar menatap heran, lalu meneruskan santap sahur mereka yang tidak terlalu lahap. Anak-anak ini lahir di kota-kota yang jauh dari Indonesia. Jauh dari Sumatra Utara. Naura di London, Anamira di Johannesburg. Mereka tak tahu apa-apa tentang Anyang Pakis. Tak tahu betapa nun di tanah tumpah darah ayah dan nenek mereka, tanah Melayu, dengan kadar asam asin dan pedasnya yang pas, Anyang Pakis telah menjalin persekongkolan dengan Ramadan untuk hadir tiap tiba waktu berbuka.
Di kampungku persekongkolan ini tidak terjadi, tapi aku ingat pernah memasaknya beberapa kali. Sekitar enam tahun lalu di Singapura. Kala itu aku bekerja di rumah perempuan Melayu-Cina yang bersuamikan seorang India.
Pakis tentu bahannya yang utama. Untuk porsi satu mangkuk besar diperlukan setidaknya tiga ikat ukuran sedang. Kemudian kelapa parut; jangan terlalu muda jangan tua pula, terpenting masih segar belum bermalam. Kualitas kelapa yang membaluri sekujur sayur sangat mempengaruhi aroma dan cita rasa.
Berikutnya taoge, bawang merah, bawang putih, cabai merah keriting, kemiri, lengkuas, kunyit, serai, daun jeruk, ketumbar sangrai, garam dan gula secukupnya serta jeruk nipis diambil airnya.
Aku menduga tawa Bapak dan Ibu berangkat dari sini. Memang tidak ada pakis di Trader Joe’s atau Key Food. Tidak ada kelapa parut dan taoge di Stop and Shop. Tidak ada serai di Price Chopper atau Wegmans, apalagi Walmart.
Bapak dan Ibu tak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Beberapa tahun terakhir di New York tumbuh toko-toko kelontong kecil yang menyediakan bahan baku untuk masakan Asia, termasuk dari Indonesia. Barangkali aku bisa membantu Nenek mencarinya di sana. Aku ingat seorang kawan pernah mengunggah foto rak pendingin yang memuat bayam dan sawi manis. Siapa tahu juga ada pakis.
***
HAMPIR satu jam berkeliling. Di toko ketiga kami menemukan kelapa bulat yang telah dilepaskan dari batoknya. “Bisa kita parut di rumah, Nek,” kataku. “Ada parutan kecil yang biasa kupakai memarut kulit lemon.”
Nenek tersenyum lebar. Barisan giginya masih rapi. “Aku jadi teringat Kak Piah, Laila,” ujarnya dengan nada suara yang tiba-tiba kedengaran lebih riang.
“Rumah kami persis bermuka-muka. Dulu, rumah Kak Piah ini bertiang bertangga, berkebun luas dengan beberapa pokok rambutan, jambu air, petai cina, mangga, dan nangka belanda. Teduh sekali. Sayang sekarang tak ada lagi. Pokok-pokok ditebangi. Rumah kayu damar laut yang di kolongnya kami suka duduk berbincang menunggu petang itu, dirombak anaknya sepulang bekerja di Jepang, jadi enam petak rumah batu yang disewa-sewakan. Waktu tersiar kabar Munawar mengajakku ke New York, Kak Piah bilang ke tetanggga-tetangga kalau kota ini tak paten-paten kali. Cuma kelihatan mewah di film dan televisi. Aku tertawa dalam hati. Dia iri. Dari enam anaknya, dua bekerja di luar negeri. Satu di Jepang satu lagi di Saudi, dan seingatku tak sekali pun mereka pernah mengajaknya pergi. Namun sekarang kusadari Kak Piah tidak salah-salah amat, Laila. Dibandingkan Lubuk Pakam, untuk perkara kelapa parut saja New York tak ada apa-apanya.”
Kami bergeser ke rak bumbu dan rempah. Bawang merah, bawang putih, dan jeruk nipis sudah aman dalam keranjang. Cabai diganti paprika walau rasa pedasnya berbeda. Jika demikian bisakah daun jeruk ditukar daun mint pula? Bukankah keduanya sama-sama berfungsi menghadirkan sensasi segar sekaligus menguatkan aroma?
Saat kutanyakan, Nenek tertawa keras sampai bahunya terguncang. Sejumlah pebelanja di dekat kami menoleh ke arahnya, menunjukkan sorot mata separuh risih separuh geli. Nenek tak peduli.
“Daun jeruk dan mint, ya? Alahai, tadinya, soal siasat-bermuslihat begini kukira tak ada yang lebih paten dari Marjili Samsuri,” katanya setelah surut tawa. “Aku salah lagi. Walau tak persis sama, kau pun ternyata punya bakat serupa.”
Marjili bungsu Mainunah, karib Nenek yang lain. Seorang lajang tua; 40-41 tahun, pemabuk, tapi seingat Nenek tak pernah bikin onar di kampung sendiri. Paling-paling, saat mabuknya sudah tiba di batas, Marjili akan terhuyung menyeret langkah sembari berceracau dan menyanyi keras-keras. Kukenang lagi saat menjelang perpisahan, kau menangis di pangkuanku….
Ini bentuk pelampiasan sedih dan kecewa. Mungkin marah juga. Marjili tadinya periang dan panjang akal, tapi cinta yang ambruk dan pecah berkeping sangat membekas di hatinya. Bilang Nenek, ayah perempuan yang ia suka, seorang pensiunan komisaris polisi, menampiknya lantaran meyakini Marjili bergajul komunis antek PKI. Saat masih aktif, Pak Komisaris sering mengawal demonstrasi. Sebaliknya Marjili hampir selalu berada di tengah barisan massa aksi. Dia mengepalkan tangan, meneriakkan slogan dan berorasi. Namun jangan silap! Jangan kira dia sebangsa aktivis idealis yang selalu menjunjung tinggi prinsip dan ideologi. Tidak sama sekali. Marjili berunjukrasa untuk sekadar bergaya-gaya; memikat wanita, dan terutama, memburu upahnya.
“Marjili tak ingat mereka pernah bertemu, tapi polisi itu ingat. Dia hapal wajah Marjili lantaran berulangkali kena maki. Bahkan sekali waktu Marjili pernah melemparnya dengan plastik keresek berisi tai,” kata Nenek seraya terkekeh.
Perihal Marjili berhenti di sini. Setelah sebentar bergeser ke Pak Gelowo, kepala lingkungan yang disebutnya sebagai lelaki baik, menyenangkan, dan masih menyisakan sedikit ketampanan, Nenek melipir ke Haji Zainuddin Tambi dan Mira Marcela. Kami sudah berpindah toko lagi, bergerak dari rak ke rak, dan aku merasa Nenek lebih semangat bercerita ketimbang mencari bahan yang ia perlukan untuk membuat Anyang.
Bagi anak-anak, sebut nenek, pernah ada masa Ramadan terasa kurang afdal tanpa Haji Zainuddin. Persisnya, tanpa meriam bambu bikinannya.
“Rumah-rumah kami diapit dua kompleks elite, Laila, berbatas tembok tinggi yang dalam gurau-gurau senda sering kami sebut Tembok Berlin dan Tembok Cina. Haji Zainuddin pernah bermasalah dengan warga kompleks ini. Mereka, yang merasa terganggu suara meriam, mengadukannya dengan tudingan membuat kegaduhan. Haji Zainuddin masuk bui, seingatku sampai tiga kali, tapi tetap dibikinnya meriam-meriam bambu itu. Katanya, dia senang melihat anak-anak senang. Belakangan suara-suara meriam surut jauh. Anak-anak lebih suka main perang-perangan di ponsel mereka. Berteriak penuh semangat tanpa berkeringat. Haji Zainuddin kecewa tapi apa mau dikata. Kehendak zaman mana bisa dilawan. Kuharap dia baik-baik saja. Mira juga. Anak ini, hmmm…. Banyak yang jengkel padanya, Laila, tapi aku suka. Dia sungguh tak pandai berpura-pura.”
Mira Marcela adalah nama panggung Nur Aisyah binti Jamal. Nenek bilang, dia lahir berselang dua bulan setelah Bapak pergi ke Thailand untuk menjalani tugas pertama sebagai diplomat. Selepas kuliah, kedua orang tuanya ingin dia ikut seleksi PNS, tapi Nur Aisyah malah menyanyi dangdut, dan dalam tempo singkat melejitkan Mira Marcela meraih ketenaran di seantero Lubuk Pakam dan kota sekitar. Nyaris tidak ada panggung tanpa Mira Marcela. Namun dia memang selalu kesulitan tiap kali Ramadan tiba.
Panggung dangdut tak pernah sepenuhnya digulung di bulan puasa. Panggung-panggung tetap berdiri dengan sekian kompromi yang mesti ditaati. Tak boleh ada rok mini, kaus ketat, atau blus dengan belahan dada kelewat rendah. Tak boleh ada goyang. Tak boleh bergenit-genit memancing. Tidak boleh ada lenguh dan desah.
“Kebanyakan kawan-kawannya berkompromi. Mira tidak. Ketimbang berpakaian tertutup dan menyanyi lagu religi, dia lebih memilih menepi,” ucap Nenek seraya meneliti harga pada kemasan botol kemiri.
Nenek terus bercerita dan kelihatan berbahagia. Seperti di hari-hari awal kedatangannya enam bulan lalu. Aku tahu, Nenek berupaya keras mendekatkan diri pada Ibu, Naura, dan Anamira. Namun dunia mereka terlalu jauh dari jangkauannya. Ibu, anak-anak, memang tak pernah mematahkan ucapan-ucapan Nenek. Mereka mendengarkan dia, menunjukkan wajah manis, ikut tertawa, sesekali balik bertanya kala ia bercerita. Mereka membiarkannya memasak. Tak melarangnya menjemur pakaian di balkon sembari memutar lagu India. Rangkaian basi-basi cantik, halus, tapi pelan-pelan terkuak juga. Nenek jadi irit bicara, lebih sering menyendiri di kamarnya, atau duduk memandang lalu lalang kendaraan dari balik jendela.
“Ayo, Nek, kita keburu waktu.”
Kami di toko kelima, dan sejauh ini, tiga item dalam daftar belanja belum kami dapatkan: serai, taoge, dan pakis.
Alamak! Apa jadinya Anyang Pakis tanpa pakis?
“Kau tak usah risau,” ujar Nenek seolah tahu pikiranku.
“Andai pun nanti terhidang, kukira, hanya aku yang akan menikmatinya. Menantu dan cucuku? Aku ragu. Munawar? Ini perkara lidah, Laila. Serupa ayahnya, mendiang suamiku, Anyang dulu membuat nasi di piringnya menggunung, lalu menambah tak cukup sekali. Pun dengan Gulai Patin, Bubur Pedas, Pajri Nenas, Nasi Lemak, Kari Kambing Roti Jala. Apakah sekarang masih begitu? Aku tidak tahu.”
***
AKHIRNYA memang tidak ada Anyang Pakis di meja makan. Hampir petang ketika kami tiba di rumah dan aku tak sempat memasak yang rumit-rumit. Jadi cukuplah Burrito, Nachos, dan Quesadilla. Tinggal dipanaskan dan siap santap. Kutambahkan Ramyeon dan Tteokbokki supaya ada yang segar-segar.
“Hei, apa kabar Anyang Pakis?” tanya Bapak.
Dari ujung meja Nenek menjawab datar. “Aku berubah pikiran.”
Bapak tertawa. Ibu juga. Naura dan Anamira tersenyum, lalu memaku tatap kembali ke layar ponsel. Aku buru-buru beranjak ke dapur. Ada rasa haru yang mendadak menyelinap di dadaku. Terutama lantaran teringat pada kalimat Nenek yang dilontarkannya saat kami meninggalkan toko terakhir tadi, yang kukira merupakan jawaban kenapa sepanjang hari ini ia begitu riang.
“Munawar janji membelikan aku tiket pulang, Laila.”
“Pulang? Bukankah Nenek akan menetap di sini?”
“Siapa yang bilang?” ***
.
.
Medan, 2024
T Agus Khaidir, lahir di Bima, Nusa Tenggara Barat, 1977. Lewat jagat maya, bisa berinteraksi di akun Facebook T Agus Khaidir, Twitter/X @aguskhaidir, dan Instagram @khaidir46. Sejumlah cerpen pernah dimuat di media massa, cetak maupun daring, serta sejumlah antologi bersama. Cerpen “Ihwal Nama Majid Pucuk” dipilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas 2022. Belum lama menerbitkan novel Kekalahan Keempat (Basabasi, 2024), Taksi Malam (Penerbit Buku Kompas, 2024), dan teranyar, kumpulan cerpen Waktu Itu Hujan Rintik dan Aku Merasa Asing dan Sendiri (Penerbit Buku Kompas, 2025). Saat ini tinggal di Medan, Sumatra Utara. Bekerja sebagai wartawan dan fotografer.
Bonie Sudarso, lahir d Bandung 1974, lulus di Kriya Seni Textil STISI Bandung. Menjadi vendor untuk beberapa brand distro dan menggarap design motif Textil juga fashion sejak awal tahun 2000-an. Pada akhir 2018 memulai project digital painting untuk kebutuhan interior. Pernah beberapa kali ikut pameran tunggal dan bersama.
.
.
New York, Hampir Petang. New York, Hampir Petang. New York, Hampir Petang. New York, Hampir Petang. New York, Hampir Petang. New York, Hampir Petang
Leave a Reply