Cerpen Aveus Har (Kompas, 23 Maret 2025)
“KAKEK mau mendengar cerita?”
Aku sedang memandang kosong ke luar jendela ketika cucuku tiba-tiba bertanya. Aku teringat pertanyaan serupa berpuluh tahun lalu dari Ayesha. Aku masih bisa mendengar suara gadis itu. Aku menyukai suaranya. Suara rendah, hampir seperti gumam.
Kenangan seperti debu-debu halus pada kaca jendela yang selalu saja menempel meskipun telah dibersihkan.
“Kau mau membaca ceritaku?” Begitu Ayesha bertanya.
Waktu itu kami berada di depan gedung redaksi majalah selepas jam kerja. Aku redaktur sastra dan Ayesha mahasiswa magang di kantorku. Malam itu dia menunggu jemputan ayahnya yang entah mengapa terlambat.
Lampu-lampu berpendaran, tetapi semua nyala itu tidak bisa mengalahkan cahaya Ayesha di mataku. Cahaya yang membuat aku urung menuju parkiran alih-alih mendekatinya dan menemaninya menunggu; dan berharap bisa lebih lama, atau bahkan waktu membeku.
“Tentu saja,” sahutku.
“Tapi jangan diketawain.”
“Tidak.”
Ayesha mengulurkan beberapa lembar kertas dari tasnya yang distaples dan dilipat menjadi dua.
“Baca di rumah saja,” katanya.
“Tentang apa?” tanyaku.
“Tentang seorang gadis yang hanya mau menikah dengan laki-laki yang bisa bercerita untuknya setiap malam,” sahut Ayesha sembari sibuk melihat arloji dan melongok ke jalan seolah tak sabar pada jemputan yang belum juga tiba.
“Seperti dongeng ninabobo?” tanyaku.
“Ya, seperti dongeng ninabobo.”
“Seperti Syahrazad?”
“Dalam versi laki-laki.”
“Tapi, mengapa gadis itu menginginkan demikian?”
“Karena sepanjang hidup gadis itu dipenuhi cerita. Cerita telah menjadi napasnya yang harus terus ada untuk hidup.”
“Sepertinya menarik.”
“Jangan diketawain,” dia mengulang kalimat itu. Aku mengangguk.
Lalu dia diam. Dia diam, tanpa menolehiku yang terus memandanginya dari samping. Aku juga diam. Aku menikmati wajahnya seolah baru menyadari keindahan itu padahal sudah dua minggu Ayesha bekerja magang di sini.
Jemputan Ayesha datang dan Ayesha menolehiku, mengucapkan sesuatu yang entah apa. Dia naik ke boncengan motor, lalu kami saling dadah seolah akan lama berpisah, padahal besok pagi kami akan kembali bertemu dan akan terus bertemu selama masa magang gadis itu. Pada kenyataannya, bahkan selepas Ayesha magang itu kami tak lagi terpisahkan, kecuali oleh kematian.
Aku memasukkan kertas pemberian Ayesha ke dalam tas dan beranjak ke motor. Di rumah, di kamar, aku membaca cerita yang ditulis Ayesha, dan tertawa terbahak-bahak; Ayesha tidak tahu tentang itu. Aku juga tidak tahu mengapa tertawa sedemikian itu. Barangkali, terkadang tubuh melakukan sesuatu di luar kendali.
***
“Kakek ….” Suara cucuku mengusik kenangan akan Ayesha. Aku mengalihkan pandangan dari jendela, menolehi cucuku, dan mendapati wajah Ayesha. Wajahnya bundar dan berkilat seperti wajan sehabis dipakai menggoreng. Matanya berpendar di balik kaca mata. Aku lupa berapa usianya, tetapi aku tahu dia masih kelas lima sekolah dasar.
Bocah itu menghadapi laptop. Bibirnya dilengkungkan ke bawah, tanda merajuk. Ayesha juga demikian bila merajuk.
“Apa?” tanyaku.
“Kakek mau dengar cerita?” Cucuku mengulangi pertanyaannya.
“Mau.”
Bocah itu tersenyum lebar dan memindahkan kursinya ke depanku, duduk menghadapiku seperti seorang guru TK.
“Suatu hari,” katanya, memulai cerita, “kucing-kucing memakan rumput.”
“Ya, kucing terkadang memang makan rumput,” kataku, menyela. “Itu untuk memuntahkan ketika salah makan.”
“Bukan yang semacam itu,” tukas cucuku. “Ini benar-benar makan rumput seperti kambing.”
“Mengapa kucing makan rumput seperti kambing?” tanyaku.
“Karena tidak ada ikan,” sahut cucuku.
“Mengapa tidak ada ikan?”
“Karena tidak ada lagi yang menangkap ikan.”
“Mengapa tidak ada lagi yang menangkap ikan?”
“Karena ….”
***
Dalam cerita pendek yang ditulis Ayesha, gadis penyuka cerita itu kemudian menikah dengan seorang laki-laki yang menyanggupi syarat bercerita setiap malam. Demikianlah, setiap menjelang tidur sang suami bercerita untuk istrinya. Mereka hidup bahagia, sampai suatu ketika perempuan itu tahu bahwa cerita-cerita yang diceritakan suaminya bukanlah cerita milik laki-laki itu. Suaminya seorang redaktur sastra dan dia hanya menceritakan cerita yang didapatnya dari para pengirim karya.
Cerita Ayesha tidak lucu, tetapi aku tertawa terbahak-bahak. Sampai sekarang aku masih belum tahu mengapa tertawa ketika membaca itu. Apakah karena aku seorang redaktur sastra? Apakah karena aku menduga bahwa Ayesha sengaja menulis cerita itu untukku? Apakah dua pikiran itu layak menjadi alasan aku tertawa? Aku tidak tahu.
Yang aku tahu, cerita pendek yang ditulis Ayesha belum mempunyai akhiran. Setelah klimaks, cerita berhenti begitu saja. Tidak ada kemarahan sang istri. Tidak ada kekecewaan karena dikibuli. Tidak ada pertengkaran yang pecah. Ceritanya berhenti begitu saja seperti mobil yang tiba-tiba mogok. Apakah memang dia sengaja?
Mungkin, seperti Syahrazad yang menunda penyelesaian cerita demi menyematkan rasa penasaran suaminya, Ayesha sengaja membuatku penasaran dan menunggu penuntasannya esok hari.
Malam itu aku tidur serupa Shahryar yang menyimpan penasaran, tetapi keesokan harinya Ayesha tidak masuk kerja. Aku bertanya pada sekretaris redaksi dan katanya Ayesha mengirimkan surat keterangan dokter untuk pemeriksaan rutin atas penyakitnya.
“Sakit apa?” tanyaku.
“Tidak dijelaskan.”
Merasa cemas, aku menelepon, tetapi ponsel Ayesha tidak aktif. Itu menjadikanku gelisah seharian.
Menjelang sore, Ayesha mengirimi pesan singkat; aku tidak masuk kerja hari ini. Mengapa dia merasa perlu mengirim pesan semacam itu? Aku toh pasti tahu soal tidak masuk kerjanya ini. Namun, pesan singkat itu membuatku merasa lega dan aku meneleponnya kemudian.
“Kau sakit apa?” tanyaku, setelah perbincangan ringan basa-basi.
“Lupus,” sahutnya.
“Parah?”
“Tidak juga. Hanya perlu rutin cek kesehatan.”
“Semoga lekas sembuh.”
Ayesha tertawa. Aku tidak tahu mengapa dia tertawa.
Kami tidak berbincang panjang, tetapi Ayesha berjanji besok bisa berangkat kerja.
Ketika bertemu keesokan harinya, aku memuji gaya bercerita pada cerita pendek yang dia tulis, dan bertanya mengapa cerita itu belum mempunyai akhiran. Aku melupakan soal penyakitnya. Lagi pula, Ayesha tampak sehat bugar saat itu. Dan, aku tidak pernah mencari tahu soal lupus.
Ayesha memandangku, dan bertanya, “Apakah laki-laki itu layak dimaafkan?”
“Karena tidak mempunyai cerita sendiri?”
“Ya.”
“Aku pikir, dalam hidup, setiap orang mempunyai tugasnya masing-masing dan seorang redaktur memang tidak bertugas menciptakan cerita.”
“Tapi, gadis itu ingin cerita yang benar-benar diciptakan sendiri oleh suaminya.”
Kami bertatapan. Aku ingin bertanya apakah ini tentang aku dan dia, tetapi aku merasa itu terlalu dini karena kami tidak sedang berpacaran.
“Apakah tidak ada kompromi?” tanyaku.
“Mungkin ada kompromi,” sahutnya.
Demikianlah Ayesha menyelesaikan cerpennya; sebuah kompromi, sebuah janji dari sang suami tokoh perempuan penyuka cerita itu bahwa kelak dia akan menulis sendiri cerita untuk istrinya.
Itu adalah cerita pendek, adalah fiksi, dan bukan cerita tentang kami, tetapi di luar cerita pendek itu, di luar fiksi itu, adalah aku dan Ayesha yang menikah tiga bulan kemudian, dengan sebuah janji bahwa pada suatu saat nanti aku harus memberi Ayesha cerita yang aku karang sendiri.
Aku berjanji akan membuatkan cerita untuknya jika ada luang nanti.
Kemudian Ayesha hamil, melahirkan anak laki-laki, sementara di dunia, perubahan peradaban sedang berlangsung saat itu, dan perhatianku disedot oleh segala ini-itu sehingga melupakan janjiku menulis ceritaku sendiri untuk Ayesha.
***
Pada masa itu digitalisasi melanda industri media dan majalah sastra tempat kerjaku limbung. Banyak media daring terbit dan digitalisasi menjadi tren dalam masyarakat; demikian pula dalam sastra.
Sirkulasi majalah kami menurun tajam seiring tumbuhnya media-media digital itu. Pihak manajemen memutuskan beralih dari majalah cetak menjadi majalah daring.
Masalahnya, pemasukan perusahaan kami tidak bisa lagi mencukupi. Pekerjaanku bertambah karena pengurangan karyawan. Manajemen menurunkan nominal honorarium bagi penulis; aku menangis untuk itu.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun perusahaan harus berkompromi, meskipun menyakitkan.
Media-media daring yang bermunculan memudahkan naskah dimuat membuat penulis enggan mencari kebaruan karena honor yang semakin mengenaskan. Aku menyadari pada akhirnya banyak naskah yang masuk terkesan asal jadi dan aku berada dalam dilema ketika menyeleksi.
Aku harus berkompromi, kata manajemen, dan menurunkan standar kualitas karya yang dimuat. Aku menangis untuk kali ke dua.
Aku terempas oleh kemajuan teknologi, tetapi aku tahu bahwa penulis-penulis itu sedang bersuka cita merayakan kemudahan publikasi. Aku hanya segelintir bidak masa lalu yang pada akhirnya akan tersingkir oleh peradaban baru.
Aku tidak tahan membaca naskah-naskah itu dan memuatnya tanpa membaca. Memuatnya hanya berdasarkan nama-nama yang aku kenal. Memuatnya hanya dengan pemilihan acak.
Di masa itu, Ayesha pergi ke surga setelah penyakitnya memburuk. Aku dihantam gelombang duka yang paling keras. Aku mundur dari pekerjaanku dan membuka toko.
Waktu itu aku masih sesekali menengok cerita-cerita yang dimuat. Aku berharap sastra akan kembali mencari pencapaian-pencapaian estetika selepas euforia. Namun, aku manusia purba yang ngeri menatap zaman digital.
Kemunculan aplikasi kecerdasan buatan mengubah cara menulis cerita. Sastrawan bukan lagi tuhan bagi karyanya, melainkan sekadar pekerja yang mengejar banyak karya untuk banyak penghasilan.
Sejak itu aku meninggalkan sastra. Aku skeptis. Aku apatis.
Waktu bergulir; aku menua.
Satu hal yang sekarang aku ingat, aku belum menulis satu pun cerita untuk Ayesha.
***
Cucuku telah selesai mendedahkan ceritanya dan bertanya apakah ceritanya bagus. Aku geragapan, terbetot dari masa lalu, merasa retak seolah ada dunia yang bertabrakan.
Aku menghadapi bocah itu, seperti aku menghadapi Ayesha selepas membaca cerita pendeknya, dulu, dulu sekali, dan aku memuji imajinasi bocah itu, tetapi aku katakan kepadanya bahwa kucing-kucing itu seharusnya tidak memakan rumput.
“Seseorang harus menangkap ikan,” kataku.
“Tidak ada yang mau, Kek,” tukas cucuku.
“Berarti kau harus melakukannya! Kau harus menangkap ikan. Kucing-kucing itu harus makan ikan!”
“Itu hanya cerita, Kek!”
“Meskipun hanya cerita, kucing-kucing tidak boleh memakan rumput!”
Bocah itu mengentakkan kakinya ke lantai, seperti Ayesha jikalau kesal.
Dari jendela tampak mobil anakku memasuki garasi. Cucuku menghambur menyongsong ayahnya—anakku dan Ayesha, satu-satunya—yang baru pulang kerja. Aku mengekor, dengan langkah pelan, tetapi aku membawa sesuatu yang penting untuk kusampaikan.
“Ada apa, Yah?” tanya anakku sambil menggendong bocah yang masih merajuk dengan muka ditekuk; seperti Ayesha.
“Aku akan menerbitkan majalah sastra,” kataku
“Tidak ada lagi yang menulis sastra, Yah. Itu masa lalu.”
“Tetapi kucing tidak boleh makan rumput.”
“Apa hubungannya?”
“Aku akan menangkap ikan.”
“Ayah ….”
“Aku akan menulis cerita setiap hari untuk Ayesha.”
Angin dari jendela melambaikan tirai. Cahaya sore terbias, jatuh ke lantai. Aku merasakan kehadiran Ayesha di ruangan itu.
“Kau mau membaca ceritaku?”
“Tentang apa?” ***
.
.
Aveus Har tinggal di Pekalongan. Kesehariannya adalah seorang pedagang mi ayam sembari bereksperimen di Laboratorium Ide dan Cerita (Labita). Cerpen-cerpennya telah dimuat di berbagai media. Ia telah menerbitkan beberapa buku dan memenangi beberapa lomba nasional. Cerpennya yang berjudul “Istri Sempurna” terpilih sebagai “Cerpen Pilihan Kompas 2023”.
Fatih Jagad Raya Aslami, lulusan Seni Rupa Universitas Pendidikan Bandung yang menggeluti animasi tiga dimensi. Sedikitnya telah berpameran 26 kali di dalam maupun luar negeri.
.
.
Kucing Tidak Memakan Rumput. Kucing Tidak Memakan Rumput. Kucing Tidak Memakan Rumput. Kucing Tidak Memakan Rumput.
Pong
Tak semua media daring kurang kualitasnya sebagaimana tak semua media cetak, termasuk koran no.1 (honornya), bagus kualitas sastranya 😉
Anonymous
Gilaaaaaaaaa
Oom Gemoy
Ini adalah cerpen yang menyoroti dunia sastra yang terjadi saat ini. Menarik.
1. Menurunkan standar pemuatan di beberapa media cetak (karena sudah tidak berhonor), lalu berimbas pada kualitas cerpen karena hanya mengejar kuantitas.
2. Media-media cetak besar mulai tumbang dan beralih ke media digital, menghapuskan honor yang tadinya ada