Cerpen Nuzul Ilmiawan (Kompas, 06 April 2025)
SUATU malam ketika Jena selesai mengepak dan berjalan pulang dari pabrik, secara tak terduga Tuan Jin muncul menghampirinya di sekitar area pekuburan yang sempat terendam banjir pekan lalu.
Tentu Jena terkejut, seumur-umur ia tak pernah bertatapan langsung dengan makhluk gaib. Dia hampir saja terkena serangan jantung dan mati di tempat. Lebih-lebih badannya sedang tak enak akibat kelelahan malam itu. Wajah Jena memutih, tungkainya melemas, sesaat Jena terjatuh, untungnya Tuan Jin sempat menangkap tubuhnya dan meminta maaf banyak-banyak.
“Aku tak bermaksud menakutimu,” kata Tuan Jin seraya mengipas-ngipas wajah Jena dengan telapak tangannya yang besar. “Ayolah jangan pingsan, jangan pingsan!” Tuan Jin merasa panik melihat wajah Jena yang kian terpucat pasi dengan seluruh persendian yang bergetar hebat dalam dekapannya.
Tuan Jin kian kencang mengipas wajah Jena. “Tarik napas dalam-dalam, ya, terus, embuskanlah!”
Jena mencengkeram pergelangan tangan Tuan Jin, “Kumohon jangan apa-apakan aku,” melas Jena. Lalu Tuan Jin melepaskan tubuhnya dari dekapan. Perempuan itu kemudian mundur beberapa langkah dengan deru napas yang terengah-engah.
“Maafkan aku, aku tak ada niat menyakitimu,” kata Tuan Jin.
“Lalu kau mau apa?”
“Aku hanya ingin berterima kasih karena kau telah menyelamatkanku.”
“Aku tak melakukan apa-apa,” balas Jena.
Tuan Jin mengerutkan dahinya. “Jangan bercanda. Kau pasti sudah melakukan sesuatu. Kalau tidak, tak mungkin aku dapat selamat keluar dari kutukan tali pocong keparat itu.”
“Sumpah aku tidak tahu.”
“Sudahlah, jangan berendah hati begitu. Sebagai jin yang murah hati, tentu aku akan membalas kebaikanmu. Aku akan menawarkan tiga pilihan kepadamu, perempuan mulia,” Tuan Jin mulai melayang rendah mengitari Jena. Sedangkan Jena yang masih ketakutan memasang kuda-kuda seandainya Tuan Jin berkehendak tiba-tiba.
“Kau hanya boleh memilih satu saja. Cinta? Anak? Atau kekayaan? Ayo… cepatlah apa keputusanmu???”
Jena belum kuat berpikir. Selain cemas, dia juga masih bingung terhadap apa yang sedang terjadi. Diam-diam Jena mencubit pahanya, mencakar bantalan tangannya sendiri, dan dia merasakannya sungguh-sungguh bahwa ini semua bukanlah mimpi ataupun khayalan.
“Bagaimana? Bagaimana? Cepat, cepat, aku tak punya banyak waktu!” Tuan Jin berbadan tinggi dan gempal itu menyilangkan kedua tangannya dan tersenyum-senyum di hadapan Jena.
Jena diam, perlahan-lahan ia mulai berhasil mengusir rasa takutnya. Andaikata Tuan Jin memang ingin membunuh Jena, sudah pasti ini semua akan berakhir sekarang juga. Tetapi, nyatanya tidak. Jena lantas bertanya, “Kau sungguh akan mewujudkan permintaanku secara cuma-cuma?”
“Sungguh. Aku tidak membohongimu, apalagi memanfaatkanmu. Hanya saja kau cuma boleh pilih satu. Cinta? Anak? Atau kekayaan? Pilihlah dengan bijak.”
Tawaran Tuan Jin membuat Jena merasa bimbang. “Duh, susah juga,” gumamnya. Kemudian ia mengusap kedua bola matanya dan merenung.
Kupikir, keluargaku terbilang sempurna. Kami tumbuh bersama dalam keadaan cinta.
“Kenapa aku butuh cinta?” pikir Jena. “Apakah aku mencintai suamiku? Tentu aku mencintainya. Lebih dari itu justru aku yang terlebih dulu jatuh cinta padanya ketimbang ia yang jatuh cinta padaku. Lagi pula suamiku seorang laki-laki yang tampan. Sepanjang pernikahan ini, sama sekali aku tak pernah berpaling pada jenis ketampanan yang lain karena dia memang begitu tampan. Begitupun suamiku terhadapku. Dia selalu bilang aku cantik, tak ada perempuan yang lebih cantik daripada aku. Dan dia mencintaiku, dia pasti mencintaiku. Dan meskipun keuangan kami belum cukup stabil, kami jarang berdebat. Kecuali perihal kerja malamku. Dia tak suka aku bekerja, apalagi bila aku mengambil shift malam. Tapi mau bagaimana? Tak mungkin aku menolak dengan alasan suami melarangku. Bagusnya, kami tak pernah sampai berkelahi selama ini. Kupikir, keluargaku terbilang sempurna. Kami tumbuh bersama dalam keadaan cinta. Maka telah kuputuskan, bahwa aku telah memiliki cinta yang belum tentu semua orang dapat merasakannya seumur hidup mereka.”
Lantas Jena menimbang persoalan anak. Sungguh Jena sangat ingin memiliki anak. Sedari awal mereka menikah, Jena berharap dapat cepat mengandung. Begitupula dengan suaminya. Mereka telah berupaya beragam macam cara, mulai dari minum obat kuat, memperbaiki gizi, minum jamu penyubur, hingga didoakan belasan ustad dari berbagai kampung yang berbeda, dan dijampi-jampi sejumlah dukun sesat. Tapi, calon anak masih belum juga berhasil menghinggap di rahim Jena.
Namun, setelah ia pikir-pikir, memiliki anak memang membutuhkan tanggung jawab besar. Bukan semata-mata hasrat ingin mempunyai anak atau merasa memiliki cinta yang banyak untuk dibagi, dan bukan pula perasaan di mana seseorang telah merasa layak menjadi orang tua, tetapi juga perihal kesiapan tanggungan hidup.
Jena dan suaminya menyadari bahwa keuangan mereka belum bisa dibilang aman untuk memiliki anak. Terlebih masa yang akan datang itu kian bertambah gelap saja rasanya. Kesannya krisis itu tepat di seberang pelupuk mata negara. Oleh sebab itu, tidak hamilnya Jena akhirnya tak terlalu membuat suami-istri itu merasa sedih. Lagi pula pemeriksaan di rumah sakit menyatakan bahwa kesuburan keduanya baik-baik saja, tidak mandul. Hanya belum rezeki, ucap dokter kandungan.
Jadi, Jena takkan memilih anak. Dan kini tinggal satu pilihan lagi, yaitu kekayaan. Oh, siapa pula yang bersedia menolak kekayaan yang diberikan secara cuma-cuma? Sedari awal penawaran diajukan, pikiran Jena sebetulnya sudah terpusat pada pilihan yang ketiga ini.
“Ini zaman serba pelik,” pikir Jena, “orang kini bahkan dapat mati hanya karena tak memiliki uang.”
Persoalan hidup dan rumah tangga Jena senantiasa berkisar pada keuangan. Tentang bulan depan yang akan datang, tentang gaji dan kontrak pabrik yang belum tentu akan disambung, atau sekadar uang yang mendadak keluar akibat ditilang polisi atau bocor ban yang rasanya sungguh merepotkan. Alhasil, tanpa perlu berpikir terlalu panjang, Jena menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa dia memilih kekayaan.
“Itulah keinginanku!” tegas Jena pada Tuan Jin.
“Kau yakin? Sediakah jawaban itu kukunci dan takkan bisa engkau tarik kembali?” kata Tuan Jin.
“Yakin!”
“Asyik, asyik!” ucap Tuan Jin seraya meloncat dan bertepuk tangan riang gembira.
“Baiklah, pertama-tama pejamkan matamu, Sayang! Bersiaplah untuk kehidupan mentereng yang tiada habisnya!”
Jantung Jena kembali berdegup kencang. Pandangannya yang menghitam di balik kelopak sekonyong memperlihatkan kemilauan yang samar-samar tatkala Tuan Jin memainkan tangannya, melambai, dan mengayun-ayun ke langit malam yang penuh bintang, sementara debu-debu berwarna-warni yang cahayanya terang seperti kunang-kunang itu mulai terbang mengawang-awang di sekeliling tubuh Jena. Mendadak badan Jena merinding, bulu kuduknya berdiri, dan ada satu perasaan yang menggeliat di balik ulu hatinya.
“Taraaaaaa!” kata Tuan Jin yang membentangkan kedua tangannya lebar-lebar di hadapan Jena. “Bukalah matamu, Sayang!”
Senyum lebih dulu tercerahkan di wajah Jena bahkan sebelum ia melihat langsung hadiah pemberian Tuan Jin. Jena membuka mata dengan perlahan. Ia mencuri-curi intip, lalu tatkala merasa bahwa ia telah tak salah melihat, mendadak Jena membeliakkan kedua bola matanya secepat ia berkedip-kedip selepas itu.
Tidakkah seratus juta jumlah yang sedikit untuk takaran jin ajaib.
Jena merasa tak percaya, malam itu, Tuan Jin hanya memberinya sebuah koper kecil.
“Hanya ini?” tanya Jena keheranan.
Tuan Jin tak kalah heran. “Apa maksudmu? Ini seratus juta.”
“Tidakkah seratus juta jumlah yang sedikit untuk takaran jin ajaib? Tanpa sekalipun aku berfoya-foya, ini semua akan habis dalam tiga tahun,” kata Jena.
“Kau perempuan tak bersyukur dan boros!” tegur Tuan Jin. “Seratus juta itu jumlah yang sangat banyak. Kau bisa berlibur, membeli rumah mewah di pusat kota, atau berbelanja sesuka hati.”
“Kata siapa?” timpal Jena. “Tolong jangan salah paham dulu, Tuan Jin, seratus juta itu memanglah jumlah yang banyak. Hanya saja bukankah terlalu sedikit untuk janji-janji kemewahanmu? Kupikir kau akan memberiku paling sedikit lima triliun.”
“LIMA TRILIUN?! APA KAU GILA!” Tuan Jin sekejap terbang berpusing-pusing di sekitar dahan pohon, lalu turunnya ia merasa pening. “Kau memang perempuan yang tak tahu diri.”
“Maaf, Tuan Jin, tapi seratus juta itu jumlah yang terlalu sedikit untuk berfoya-foya di zaman yang serba mahal dan pelik ini, tidakkah kau tahu itu?”
“Ah, maafkan aku. Aku memang tak bersyukur,” sambung Jena. “Ekspektasiku saja yang terlalu tinggi.”
Tuan Jin masih terheran. Dia menggaruk dagunya yang lebar. “Yang aku tahu, seratus juta adalah impian semua orang,” bisiknya pada diri sendiri.
“Tahun berapa sekarang?” tanya Tuan Jin pada Jena.
“2025.”
“Ah, sial! Sudah begitu lama aku dikutuk rupanya!” Tuan Jin menepuk jidatnya. Pipinya tiba-tiba memerah meredam malu.
“Lihat itu!” seru Tuan Jin yang menunjuk batang pisang di belakang Jena. Lantas sewaktu Jena menoleh, Tuan Jin buru-buru mengucapkan selamat tinggal. Tubuhnya seketika menghilang dalam sekali jentik jemari dan asap tebal menguar di sekeliling mengubur pelariannya.
Untuk beberapa saat, Jena menengok ke seluruh arah dan tak menemukan apa-apa selain bayangan dirinya sendiri dan sebuah koper yang tergeletak di atas rumput basah. Jena mengembuskan napas panjang.
“Paling tidak aku tak perlu khawatir perkara uang selama setahun ke depan,” katanya. Jena lantas mengangkut koper yang berisi uang seratus juta itu dan lanjut melangkah pulang.
Seratus juta jumlah yang banyak sekali bagi perempuan yang pulang dua jam kelewat malam.
Namun tak berapa lama, Jena telah berhenti lagi. Ia kembali menjatuhkan kopernya ke tanah lalu berjongkok.
“Seratus juta jumlah yang banyak sekali bagi perempuan yang pulang dua jam kelewat malam,” batin Jena. “Apa yang akan dipikirkan suamiku setibanya aku di rumah? Jika ia betul-betul mencintaiku, mestinya ia bakal percaya. Akan tetapi, tak sengaja bertemu jin di tengah jalan adalah alasan paling konyol yang bisa kuberikan padanya. ”
Jena menopang dagunya, dan dengan murung ia merenung lama sekali.
“Bagaimana ‘kan kubawa pulang uang-uang ini? Sementara aku perempuan dan seorang istri.” ***
.
.
2025
Nuzul Ilmiawan, alumnus Sastra Indonesia Universitas Andalas. Lahir di Bireuen, Oktober 2001.
Setiyoko Hadi lahir di Solo. Mulai belajar melukis di Himpunan Budaya Surakarta (HBS), dibimbing pelukis Soemitro. Bergabung dengan Studio Seni Rupa Bandung asuhan pelukis Jehan. Belajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Aktif berkarya dan berpameran hingga sekarang.
.
.
Seratus Juta dari Tuan Jin. Seratus Juta dari Tuan Jin. Seratus Juta dari Tuan Jin. Seratus Juta dari Tuan Jin.
Udin
Min, ga memuat cerpen tempo lg? Pusing pala baca cerpen2 kompas skrg.
Anonymous
Kenapa bisa pusing?
Agus Antoni
Terima kasih cerpen ini, menambah wawasan dan kosa kata