Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 18 Oktober 2015)
SETELAH aku mati, diriku adalah sebuah nomor dalam telepon genggam.
MEMANG benar setelah jantung pada tubuh tempatku bermukim berhenti berdetak, dan pemilik tubuh itu menghembuskan napas yang penghabisan, aku yang sudah bukan diriku terleburkan ke dalam ruang dan menyatu bersama waktu. Setelah aku mati keberadaanku tidak terhapuskan, tetapi diriku tetap saja tiada, tidak terlacak, tidak tertunjuk, dan tidak terpetakan. Bagaimanakah caranya mencari udara di antara udara? Betapapun, karena tidak lagi merasa dan tidak lagi berpikir, terpisahnya roh dari tubuh itu tidaklah menjadi masalah bagiku. Bagaimana caranya menjadi masalah jika ada dan tiadanya diriku tiadalah dapat kuketahui pula bukan?
Aku memang sudah tidak ada lagi di dunia, tetapi di dunia ini ternyata nomorku pada telepon genggam masih ada! Meskipun diriku sudah almarhum, begitu terdapat jari memijit tombol yang membuat nomor itu dipanggil-panggil, diriku yang sudah tiada kembali ada—tetapi menjadi ada bukanlah soalnya.
Panggilan itu bagaikan undangan bagi triliunan butir-butir pasir, yang tersebar dengan keterpisahan sejauh-jauhnya dalam keluasan semesta lain. Panggilan yang akan membuat setiap butir pasir itu seketika melesat lebih cepat dari cahaya—meski tidak ada sebutir pasir pun di sini, ukurannya tentu lebih kecil, sepersetriliun dari sebutir pasir, dan setiap butir yang sepersetriliun dari sebutir pasir ini masih dibagi sepersetriliun lagi. Namun, tiada sesuatu pun yang dapat disebut butir, karena tiada benda padat, tiada pula yang cair, bukan pula semacam udara. Hanya sesuatu, yang hanya bisa dikenali orang mati, sebagai keberadaan dari kematian itu sendiri, yang ternyata bukanlah kematian sama sekali!
Tidak ada butir, hanya ada titik, tetapi titik ini tidak dapat dipegang dan dirasakan, tidak berbau dan tidak berwarna, bahkan tiada pula titiknya. Hanya a-d-a. Semburat dalam semesta yang berbeda.
Dalam sekali pencet bertriliun-triliun titik yang tersebar menyatu kembali menjadi diriku.
Zzzzzzaaaaaaapppp!!!
Panggilan itu membuat diriku masuk ke dalam telepon genggam. Aku terhisap sampai ke batas dunia. Kubilang batas, karena seperti terdapat selaput tak terlihat dan tak terasa yang menahanku hanya sampai di situ. Perempuan itu memandang ke arahku, artinya memandang ke layar telepon genggamnya, mungkin ia membaca sebuah nama dan menatap sebuah wajah, tetapi jelas tidak sedang mengamatiku. Tidak dukun, tidak sinar inframerah bisa membuat diriku terlihat. Semua itu cuma omong kosong.
Di balik layar, akulah yang mengamatinya. Tentu saja aku tidak bermata dan tidak berotak lagi, tetapi dalam kenyataannya diriku mengetahui dan memahami, setidaknya aku dapat bertanya-tanya, apakah kiranya yang sedang dipikirkannya?
Apakah ia mengenali nama dan wajah pada layar telepon genggam ini?
“Orang ini sudah mati!” katanya.
“Kenapa kamu meneleponnya?”
Wah, ada orang di sebelahnya, suaranya suara pria.
“Karena aku penasaran,” jawab perempuan itu, “seperti kenal namanya, tetapi wajahnya tidak terlalu jelas, jadi kutelepon saja. Hanya teman-teman dekat yang namanya ada di sini.”
“Jadi kamu mengenalnya?”
“Kurasa tidak. Jika iya, aku sudah mengenali namanya!”
“Bagaimana kamu tahu bahwa orang ini sudah mati?”
“Lho, bagaimana kamu bisa tidak tahu, waktu itu beritanya dimuat di mana-mana. Semua koran, televisi, internet, dan media sosial memuat tampangnya!”
“Aduh! Aku lupa! Terlalu banyak orang mati yang juga dimuat tampangnya di mana-mana!”
“Seharusnya ingat! Memang sudah lama sekali, tetapi kematiannya yang sangat misterius sepertinya selalu diperingati!”
“Sama saja! Terlalu banyak orang yang kematiannya sangat misterius dan setiap tahun diperingati dengan tampang yang dimuat di mana-mana! Aku tidak bisa ingat semua! Terlalu banyak berita!”
“Tapi mengapa nomornya bisa ada di sini ya?”
“Barangkali karena sebetulnya pernah dekat denganmu.”
“Tidak mungkin.”
“Mungkin saja.”
“Nyatanya aku lupa.”
“Hmm, kamu beli telepon bekas ya?”
“Tidak, ini dari ibuku.”
“Kalau begitu hubungannya dengan ibumu.”
“Tapi ibuku dapat telepon genggam ini dari kakekku!”
“Hmm. Aku baru sadar, kalau kita terima warisan, rupanya kita juga mewarisi semua persoalannya.”
“Ah, ini tidak perlu menjadi persoalan bagiku!”
Perempuan itu rupanya lantas mematikan teleponnya. Mungkin pula menghapus nomor itu dari simpanan nomor-nomor dalam telepon genggamnya.
Zzzzzziiiiiiiiippppppp!
Aku pun terlontar lepas dari dalam telepon genggam itu, terpecah kembali menjadi bertriliun-triliun titik dengan besaran sepersetriliun titik dibagi sepersetriliun lagi yang terus menyusut dengan keterkecilan tak terhingga dalam kecepatan tak terhingga pula meskipun tak pernah lenyap karena memang ada, hanya ada, dan tiada lain selain ada.
Aku pun semburat menjadi bukan diriku dalam bertriliun-triliun titik yang bukan titik sepanjang semesta lain di tempat yang sama. Terpisah-pisah sejauh-jauhnya dalam kejauhan tiada terhingga selama entah berapa lama, mengembara di antara bertriliun-triliun-triliun titik yang bukan titik yang tiada terhingga banyaknya …
… sampai entah kapan ketika jari seseorang entah di mana menekan sebuah tombol yang menyentuh nomor itu, barangkali nomorku waktu masih bertubuh dulu, pada sebuah telepon genggam ….
Zzzzzzzzzzzzzzzzzzz! ***
.
.
Seno Gumira Ajidarma. Dilahirkan di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Bekerja sebagai Wartawan sejak 1977, kini tergabung dengan panajournal.com. Menulis tentang kebudayaan kontemporer di berbagai media, menerima sejumlah penghargaan sastra, dan mengajar di berbagai perguruan tinggi. Masih menyambung cerita silat Nagabumi. Seno menjadi lebih dikenal setelah menulis trilogi karyanya tentang Timor Timur, yakni Saksi Mata (kumpulan cerpen), Jazz, Parfum, dan Insiden (novel), dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (kumpulan esai). Pada 2014, dia meluncurkan blog bernama Pana Journal—panajournal.com tentang human interest stories bersama sejumlah wartawan dan profesional di bidang komunikasi.
.
.
Leave a Reply