Cerpen Aliurridha (Jawa Pos, 05 April 2025)
BERTAHUN-TAHUN sebelum dirinya dicari banyak orang, Ozy Faturrahman tidak pernah berpikir untuk meninggalkan kampung halamannya. Ia lahir di tanah itu dan berencana mati di tanah itu. Kampung tempatnya dilahirkan terbaring di satu sudut kecil kota Ampenan, kota tua yang telah berdiri jauh sebelum negeri ini berdiri.
Dari simpang lima tempat para veteran kehidupan berkumpul memamerkan sepeda jengki, membicarakan hari-hari paling heroik dalam hidup mereka, atau sekadar memamerkan cincin-cincin bermata batu akik yang katanya bisa mengubah nasib, belok kiri jika kau datang dari timur, sekitar 227 langkah kaki, di sebelah kanan jalan ada gang, dan di sanalah kau temukan gubuk tempat Ozy dilahirkan.
Dua puluh tujuh tahun yang lalu kampung itu belum sepadat ketika Ozy meninggalkannya. Meski namanya diambil dari mayoritas penghuninya, kampung itu tidak hanya terdiri atas orang orang Arab. Di kampung itulah Ozy Faturrahman dikenal sebagai peminjam uang paling berbakat sebelum ia terjerat kasus yang membuatnya terusir dari tanah kelahirannya. Ia kerap meminjam dan berkelit saat tiba giliran mengembalikannya. Orang-orang di kampung itu mafhum bahwa uang yang mereka pinjamkan kepada Ozy tidak akan kembali. Herannya, mereka tetap meminjamkannya. Itu karena Ozy selalu mampu memperdaya mereka. Jika kau punya seribu alasan menolak meminjamkan uangmu, maka Ozy mempunyai seribu satu alasan untuk kau meminjamkan uangmu.
“Allah bersama orang-orang yang tangannya ringan kepada yang membutuhkan,” kata Ozy Faturrahman begitu Ibnu Jamal memberikan seperempat gajinya bekerja di pencucian mobil bulan itu. Jamal sebenarnya sudah tahu, besar kemungkinan uangnya tidak akan kembali, tetapi ia tidak mampu menolak ketika Ozy dengan matanya yang besar dan bulat, berkaca-kaca ditimpa cahaya senja yang berkilau keemasan, melemparkan dirinya pada situasi yang tidak menyenangkan, di mana satu-satunya cara untuk keluar dari situasi itu adalah dengan merelakan seperempat gajinya. Hatinya yang lebih halus dari gula-gula kapas itu tidak tega begitu Ozy berkata, ia mungkin akan kehilangan ibunya jika tidak segera menebus obat yang diresepkan dokter. Ozy memperlihatkan sebuah resep kepada Jamal, yang entah karena tidak bisa membaca tulisan dalam kertas itu, atau karena tidak kuat mendengar penderitaan yang terlontar dari mulut Ozy, menukar seperempat gajinya untuk menebus parasetamol. Sisa uang itu kemudian Ozy pakai untuk membeli nomor. Jamal yang setelah berlalunya hari mengetahui dirinya diakali, tidak bisa berkata apa-apa ketika Ozy membuktikan dirinya tidak berbohong—saat itu ibunya benar-benar sakit, hanya saja Jamal kurang teliti, tidak tahu bahwa perempuan itu sekadar demam karena flu yang memang sedang musim. Ozy berkata ia segera mengganti uang Jamal begitu mendapatkan kerja atau menang lotre. Ozy tidak pernah mendapat kerja karena ia memang tidak pernah melamar. Ia juga tidak pernah menang lotre sejak kali terakhir memenanginya di saat ia mengalami mimpi basah pertamanya. Sejak kejadian itu Jamal bersumpah tidak akan meminjamkan uangnya lagi kepada Ozy, seperti juga janji hampir separo orang-orang di kampungnya. Mereka selalu menghindar jika bertemu Ozy di jalan.
Selain Ozy Faturrahman, Ahmad Jaber adalah orang yang paling tidak ingin ditemui orang-orang di kampung itu. Keduanya, Ozy dan Jaber, merupakan sahabat sedari kecil. Konon Ahmad Jaber adalah pedagang minyak sumbawa paling canggih yang pernah ada di muka bumi. Ia mampu menjual minyak ramuannya kepada siapa saja yang tidak membutuhkan. Ia bahkan mampu menjual minyak itu kepada orang yang muntah karena tidak kuat mencium aromanya, yang mana sebenarnya bukan minyak sumbawa, melainkan hanya minyak goreng yang dicampur rempah khas Arab. Tidak ada yang meragukan kemampuan lelaki ini dalam urusan jual beli, meski yang di jual hanya satu jenis barang.
Salah satu cerita legenda tentang kemampuan Ahmad Jaber berniaga adalah ketika ia menjual minyak sumbawa kepada sepupu jauhnya yang berprofesi sebagai dosen di sebuah kampus negeri di kota itu. Saat itu Ahmad Jaber mendatangi Salim Segaf di kantornya dan meminta Salim untuk membeli minyak sumbawa miliknya. Salim menolak. Ia merasa tidak butuh karena tubuhnya teramat bugar; ia tidak pernah kurang berolah raga. Ia rajin bermain tenis bersama rekan-rekan kerjanya. Lagi pula ia sangat membenci rasa lengket ketika minyak itu dibaluri untuk memijat bagian tubuhnya yang terkilir atau ketika tubuhnya mengalami pegal-pegal. Akan tetapi, dari semua itu, yang paling dibencinya adalah karena Ahmad Jaber dari dulu sering meminjam uangnya, tanpa sekalipun pernah mengembalikannya. Salim ingin sekali mengusir sepupunya ini, tetapi ia tahu benar Ahmad Jaber orang yang keras kepala. Lelaki itu tidak akan pulang sampai tujuannya terpenuhi, dan karena Salim tak kuat oleh pandangan tidak menyenangkan rekan-rekan kerjanya yang terganggu oleh humor mesum Ahmad Jaber—yang suaranya bagaikan dilengkapi loudspeaker masjid—Salim pun merelakan uangnya. Ia tidak hanya membeli satu botol karena Ahmad Jaber berkata dirinya tidak punya kembalian. Ia meminta Salim membayar satu botol lagi, dan Salim, yang ingin sepupunya segera enyah dari ruang kerjanya, menuruti permintaan Ahmad Jaber, meski ia tahu harga minyak sumbawa yang dijual sepupunya itu telah dinaikkan dua kali lipat dari harga normal.
“Memang tidak salah Habib Muhdar membanggakan dirimu sepupu. Kau tidak hanya pandai, tetapi juga berbudi luhur. Semoga Allah membalas segala kebaikanmu,” ujar Ahmad Jaber memuji-muji Salim. Namun, baru juga hendak keluar dari ruang kerja Salim Segaf, Ahmad Jaber balik badan, “Tadi kamu bilang tidak butuh minyakku karena tubuhmu selalu bugar, bukan?” tanyanya. Salim mengangguk. “Berarti tidak masalah kalau aku bawa pulang minyak itu?” lanjutnya. Salim diam. Tanpa menunggu jawaban Salim, Ahmad Jaber mengambil barang yang sudah dijualnya, meninggalkan sepupunya melongo tidak percaya.
Cerita tentang diperdayanya Salim Segaf oleh Ahmad Jaber masih menjadi cerita yang terus direproduksi orang-orang di kampung itu, bahkan jauh setelah Ozy Faturrahman meninggalkannya. Mereka sekarang meyakini bahwa kecerdasan akademik tidak berguna di hadapan bakat alam. Salim Segaf tidak pernah membantah cerita yang, entah kali pertama keluar dari mulut siapa itu, untuk memperlihatkan dirinya yang terkenal tampak kalah pintar dari sepupunya yang bahkan tidak lulus sekolah dasar itu. Meski kadang-kadang ia merasa cerita itu dilebih-lebihkan seperti kebanyakan cerita yang ada di dunia ini, ia tidak lagi mempermasalahkannya.
Sejak kecil Ahmad Jaber memang dikenal cerdik. Tidak ada yang mengalahkan kecerdikannya, kecuali mungkin sahabatnya Ozy Faturrahman. Namun, sayangnya Ozy adalah orang yang terlalu terburu-buru dalam bertindak. Jika sebelum masalah itu ia mau mendengarkan Ahmad Jaber, musibah itu mungkin tidak pernah mampir ke rumahnya. Sekarang Ahmad Jaber benar-benar menyayangkan kenapa ia tidak lebih keras kepala dari sahabatnya. Jika saat itu ia bersikeras, mungkin sahabatnya tidak perlu sampai meninggalkan kampung halaman mereka.
Persahabatan antara Ozy Faturrahman dan Ahmad Jaber telah terjalin sejak mereka masih bocah. Tidak hanya karena keduanya punya kegemaran yang sama—meminjam uang dan hampir tidak pernah mengembalikan, namun juga karena mereka merasa memiliki kesamaan nasib. Keduanya sama-sama ditinggal ayahnya ketika masih kecil. Keduanya sama-sama hidup satu garis di atas kemiskinan; sebuah alasan yang membuat orang-orang mengasihani mereka, bahkan sampai rela meminjami uang, dengan harapan mereka akan berubah. Namun, orang-orang mulai sadar, mengharapkan Ozy dan Jaber berubah sama saja menyuruh anjing mengeong. Orang-orang di kampung itu tidak lagi peduli apa yang Ozy dan Jaber katakan. Mereka sudah bersumpah tidak akan meminjamkan uang kepada keduanya.
Ozy dan Jaber sadar orang-orang itu tidak mau lagi berurusan dengan mereka. Cerita sedih dan kelicikan macam apa pun sudah tidak lagi bekerja karena orang-orang sudah lebih dulu malas melihat wajah mereka. Sepasang sahabat itu lantas merencanakan merekrut seorang yang kata-katanya dapat dipercaya. Bukan karena ia tidak pernah berbohong, melainkan karena ia tidak bisa bicara.
Rizal nama pemuda itu dan orang-orang memanggilnya Rizal Pakok. Tidak ada orang yang punya cerita sedih melebihi Rizal Pakok di kampung itu, tetapi sayangnya Rizal tidak bisa bercerita. Rizal, yang merupakan yatim dan piatu sedari kecil, dipaksa berjualan kue-kue tradisional setiap sore oleh bibinya. Orang-orang sering melihat Rizal diusir setiap tidak berhasil menjual habis kue-kue buruk rasa itu, dan karena itulah kue-kue buruk rasa itu laku. Dua orang yang paling sering melanggan kue buruk rasa itu adalah Ozy Faturrahman dan Ahmad Jaber.
“Jika tukang tipu seperti ente saja bisa kasihan sama Rizal, sudah pasti orang-orang akan ketipu juga,” ujar Ozy kepada sahabatnya.
“Tapi Rizal kan tidak bisa omong,” balas Jaber.
“Justru di situ kelebihannya. Tanpa omong pun Rizal sudah dicintai,” balas Ozy.
Mereka kemudian mulai menyusun rencana menjual cerita sedih Rizal ke orang-orang. Namun, mereka tahu akan susah meyakinkan orang-orang yang pernah mereka tipu, karena itu mereka akan memulai dari seorang yang baru saja pindah ke kampung itu. Lelaki itu adalah seorang tauke yang terkenal murah hati, meski penampilannya terlihat seperti raja preman. Sekujur punggung tauke itu konon dipenuhi tato naga. Kali pertama Ozy melihat tauke ini berleyeh-leyeh di teras rumahnya, mengipasi tubuhnya yang kepanasan siang itu, nyali Ozy sempat ciut. Namun, begitu ia lihat tauke itu rajin membeli kue-kue buruk rasa yang dibawa Rizal, ia menyimpulkan penampilan bisa menipu. Ia yakin tauke ini murah hati seperti yang dikatakan kata orang-orang, dan ia benar-benar membuktikannya sendiri. Ozy terkejut ketika lelaki paro baya yang selalu berwajah klinis itu tidak hanya meminjamkan seratus dua ratus ribu kepadanya, melainkan sepuluh juta, dengan syarat salah satu di antara mereka harus menandatangani sebuah perjanjian pembayaran utang.
Ozy yang tergiur karena tidak pernah melihat uang sejumlah itu langsung saja meminta kertas yang akan ditandatanganinya. Ahmad Jaber meminta Ozy untuk membaca dulu, tetapi Ozy merasa itu buang-buang waktu. Ia tidak sempat membaca perjanjian yang berbunyi: bunga setiap bulan dari pinjaman itu adalah 10 persen, dan jika dalam dua tahun setelah perjanjian itu ditandatangani, pihak pertama tidak bisa melunasinya, maka ia secara sukarela memberikan ginjalnya. ***
.
.
Blencong, Maret 2025
Aliurridha. Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Mataram. Tinggal di Gunungsari dan bergiat di komunitas Akarpohon. Novel terbarunya berjudul Teori Pernikahan Bahagia (Falcon Publishing, 2024).
.
.
Sindikat Peminjam Uang. Sindikat Peminjam Uang. Sindikat Peminjam Uang. Sindikat Peminjam Uang. Sindikat Peminjam Uang. Sindikat Peminjam Uang.
Leave a Reply