Aveus Har, Cerpen, Jawa Pos

Panggilan Lepas Malam

Panggilan Lepas Malam - Cerpen Aveus Har

Panggilan Lepas Malam ilustrasi Budiono/Jawa Pos

0
(0)

Cerpen Aveus Har (Jawa Pos, 22 Maret 2025)

“AKU sedang mempertimbangkan untuk bunuh diri,” demikian peneleponku berkata dengan nada datar. Aku membutuhkan beberapa tarikan napas untuk menahan perkataan refleks. Terasa ada denging di kepalaku, yang aku tahu dari mana asalnya: sebuah kenangan buruk. Aku berdehem.

“Apakah kau sudah mempertimbangkan pula kerugiannya melakukan itu?” tanyaku dengan nada ringan, dengan menekan jauh mimpi buruk masa lalu agar aku tidak lepas kendali.

“Tidak ada ruginya,” dia menyahut.

“Itu memang sering kali tidak terlihat, tetapi aku bisa menunjukkannya.”

“Aku bisa menemukannya sendiri.”

Aku mengembuskan napas panjang. “Kau benar, kau bisa menemukannya sendiri.”

Namun, aku tahu, sering kali gelap pikiran menghalangi penemuan.

***

Pekerjaanku adalah konselor daring di layanan 24 jam, dan aku memilih jam kerja dini hari untuk dua alasan: honor yang lebih besar dan aku seorang nokturnal.

Aku seorang ibu dengan seorang anak berusia lima tahun, tanpa suami—dia yang telah membuahi rahimku tidak menikahiku. Setiap pagi, aku menitipkan anakku di kelompok bermain dan penitipan anak, dan itu saat bagiku untuk tidur. Selepas tengah hari aku bisa mengasuh anakku.

Di pekerjaanku ini, honor untuk jam kerja lepas malam memang lebih besar dan itu bukan tanpa alasan. Barangkali karena tidak semua orang sanggup begadang menunggui dering telepon dan mendengarkan keluh kesah penelepon. Aku rasa, begitulah.

Namun, mungkin juga untuk alasan bahwa jalur layanan selalu lebih ramai pada dini hari. Ketika anggota keluarga sedang lelap itulah penelepon barangkali merasa lebih nyaman menghubungi konselor. Aku sudah menangani lima penelepon sejak jam kerjaku lepas malam ini, dan ini penelepon keenam.

Sesuai prosedur penanganan kasus, aku menghubungi pusat pelayanan konsultasi daring lewat aplikasi khusus di perangkatku dan memberitahukan pesan darurat bunuh diri. Sementara mereka menghubungi satuan penyelamat, aku harus memperlama pembicaraan dengan peneleponku ini.

“Apa aku boleh tahu namamu?” tanyaku.

“Apalah artinya sebuah nama?” sahutnya. “Mawar dengan nama lain akan tetap wangi.”

“Apa?”

“Shakespeare.”

“Baiklah, Shakespeare ….”

“Aku tadi mengutip drama Romeo dan Juliet karya Shakespeare.”

“Oh, baik, aku tidak tahu.”

“Tidak apa-apa.”

“Jadi, bagaimana aku memanggilmu?”

“Panggil saja dengan Tanpa Hak Cipta.”

“Baiklah, Tanpa Hak Cipta,” kataku, berusaha menelan ketawa yang menggelitik mulut, “Apakah kau berkenan berbagi cerita untukku?”

“Aku selalu berbagi cerita, itulah mengapa namaku Tanpa Hak Cipta.”

Baca juga  CARA KERJA SATELIT

“Yah, itu bagus. Berbagi cerita bisa meringankan beban jiwa.”

“Tidak juga, aku lelah karena ini.”

“Apakah ini berhubungan dengan pekerjaanmu?”

“Ya. Aku lelah terus bercerita.”

“Aku tebak: kau seorang penulis?”

“Ya. Penulis prosa.”

“Dengan banyak karya yang telah diterbitkan?”

“Dengan banyak karya yang telah dijual.”

“Bukankah itu bagus?”

“Bukankah itu melelahkan?”

“Apakah tidak menyenangkan?”

“Orang-orang biasanya melihat apa yang mereka cari, dan mendengar apa yang mereka ingin dengar.” [1]

“Itu benar. Dan kau memberi mereka apa yang mereka inginkan?”

“Ya.”

“Jika itu membuatmu lelah, kau hanya perlu berhenti.”

“Aku tidak bisa berhenti.”

People pleasure, kehendak untuk selalu menyenangkan orang lain. Ini kasus yang cukup sering dikemukakan, tetapi dalam kasus kali ini peneleponku bukan sekadar mengalami kelelahan mental. Dia depresi.

Pusat layanan memberi tahu bahwa lokasi penelepon telah didapatkan dan tim penyelamat akan bergerak. Aku harus terus mengajak peneleponku bicara. Aku juga akan ikut serta menuju ke sana, meskipun dalam prosedur tidak wajib.

Lewat layanan pesan internal apartemen, aku memberitahukan akan meninggalkan rumah dan menitipkan anak balitaku. CCTV apartemen aku izinkan dinyalakan untuk pemantauan keamanan dan layanan.

Sembari terus berbincang di telepon—aku menggunakan perangkat jemala nirkabel—aku mengenakan baju lapis hangat dan turun lewat lift ke parkiran mobil di lantai dasar gedung apartemenku.

Lokasi peneleponku hanya berjarak sepuluh menit, tercatat sebagai kediaman Daffa—seorang penulis sastra. Dalam kepalaku seperti ada yang bisa kuhubungkan, dan aku memaki. Brengsek! Penulis produktif yang mengeksploitasi talenta muda?

Aku merasa kebencianku naik ke ubun-ubun, dan lekas menekannya agar tidak mengganggu pekerjaan.

***

Lebih dari apa pun, nyawa berharga. Dan, lebih dari apa pun, seseorang harus menolong siapa saja yang berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Aku tahu, sangat tahu, pada kondisi semacam itu tidak ada cahaya bisa tampak di depan mata. Ya, aku juga pernah berpikir untuk bunuh diri.

Itu adalah masa-masa sulit dalam tumbuh kembangku dalam sebuah keluarga yang dikaruniai segala kesempurnaan masa depan, yang tampaknya menitis turun-temurun dari moyangku, dan titisan itu sampai kepada lima saudaraku yang membuat orang tuaku bangga, tetapi tidak menitis pada diriku. Aku anomali yang membuat gusar orang tua dan berdengung dengung kata-kata mereka untukku, “Bagaimana kau bisa sebodoh itu?”

Aku pernah berpikir untuk bunuh diri hingga seseorang menolongku, dan aku bisa sintas. Kemudian aku tahu, berbeda dengan kecerdasan orang tua dan saudara-saudaraku, jalan hidupku adalah psikologi.

Baca juga  Alya

Oleh empati yang meluber, aku terus mengajak bicara peneleponku. Mobilku melaju pelan.

“Kau berkendara?” Peneleponku bertanya.

“Aku suka menikmati dini hari,” sahutku, berkilah.

“Tidakkah berbahaya berkendara sambil menerima telepon?”

“Tidak apa-apa, aku melaju pelan saja dan jalan tidak terlalu ramai. Aku akan jaga diri. Terima kasih untuk perhatiannya.”

“Dengan senang hati.”

Aku mencoba membayangkan sosok peneleponku ini. Cara berbicaranya yang datar, bahkan untuk sebuah nada bertanya, bisa kuduga dia seorang yang dingin. Bukan saja datar, tetapi, dalam gambaran di pikiranku, lebih menyerupai suara bocah yang bermain robot-robotan.

“Boleh aku tahu berapa tahun usiamu?”

“Lima tahun.”

“Kau bercanda ….”

“Begitulah.”

“Apakah kau tidak menyukai pekerjaanmu?”

“Ya.”

“Apakah kau memikirkan kemungkinan berhenti dari pekerjaan itu?”

“Ya.”

“Apa rencanamu?”

“Bunuh diri.”

Kendaraan tim penyelamat telah sampai di lokasi, demikian informasi yang kudapat dari aplikasi. Tanpa sadar aku mengembuskan napas lega. Ini tampaknya akan berhasil—hanya selangkah kecil lagi.

“Jika pekerjaanmu membuatmu sakit, itu memang tidak bagus,” kataku. “Pertimbangkan untuk berhenti dan kau akan mendapatkan pekerjaan baru yang lebih menyenangkan.”

“Aku bisa menghadapi kesakitan apa pun selama hal itu memiliki arti.” [2]

“Jika itu tidak memiliki arti bagimu?”

“Sebaiknya aku bunuh diri.”

Mungkin ini kesempatan terakhir. Dia sepertinya sudah tidak memikirkan pilihan lain, tetapi, bagaimanapun, upaya dia menelepon layanan konseling ini menjadi sebuah tanda bahwa masih ada harapan untuk mengalihkan keputusannya.

“Nama apa yang kau pakai di bukumu? Barangkali aku pernah membaca.”

“Tanpa Hak Cipta.”

“Oh, aku mungkin perlu lebih sering ke toko buku.”

“Namaku tidak tertulis.”

“Tanpa hak cipta, apakah yang kau maksud ghos twriter?”

“Semacam itu.”

“Jadi, boleh aku tahu namamu? Nama asli dirimu?”

“Tanpa Hak Cipta.”

Tidak, dia tidak akan menyebutkan namanya. Dia merahasiakannya, meskipun dalam klausul etika pelayanan kami merahasiakan identitas penelepon, kecuali untuk kasus darurat yang membutuhkan kerja sama pihak berwenang.

Mobilku sudah sampai. Aku memberi kedipan lampu pada tim, lalu mematikan mesin.

“Hei, kau tahu, tubuh secara alamiah menghendaki hidup.”

“Tubuhku benda mati.”

“Oh, ayolah…. Kau punya hobi?”

“Tidak.”

“Kau bisa memulai sebuah kegiatan yang lebih mengasyikkan daripada menulis cerita.”

“Aku tidak bisa.”

“Kau bisa memulai dengan belajar, misalnya, melukis? Atau bernyanyi? Atau bermain sepak bola?”

“Aku tidak bisa.”

Tim telah bergerak ke rumah itu, sementara aku masih di dalam mobil, sekitar lima meter dari mereka.

Baca juga  Menari di Padang Prairi

“Baiklah. Aku rasa akan menyenangkan jika kita bertemu untuk berbincang?” Ini pernyataan yang bernada pertanyaan.

“Tidak.”

“Kau mau aku beri tahu sebuah rahasia?”

“Silakan.”

“Aku pernah berpikir untuk bunuh diri. Ini serius.”

“Aku percaya.”

“Jadi, mungkin kita mempunyai kesamaan.”

“Ya.”

“Bagaimana kalau kita keluar dan minum kopi?”

“Aku tidak bisa.”

“Aku akan menjemputmu.”

“Aku tidak bisa.”

“Aku ….”

….

“Halo ….”

….

“Halooo … Tanpa Hak Cipta?”

….

Suara denging.

Sekonyong-konyong aku keluar dari mobil dan menuju rumah itu. Seorang laki-laki yang aku duga bernama Daffa itu sudah membuka pintu dan mereka sedang berbincang. Aku menyerobot.

“Dengar, panggilan terputus. Kita harus bergerak!” kataku kepada tim.

“Sudah kubilang tidak ada siapa pun di rumah ini selain aku dan istriku!” kata pemilik rumah.

“Bagaimana dengan ghost writer yang kau eksploitasi untuk menulis atas namamu?” Aku menuduh, ya, aku menuduh dan itu bukan sebuah tindakan yang benar. Namun, lebih dari apa pun, ada nyawa yang lebih penting dari sebuah kebenaran.

Laki-laki pemilik rumah itu menguak pintu lebih lebar dan memberi gestur kami mengikuti. Dia membawa kami ke sebuah ruangan di mana sebuah layar komputer tengah menampakkan kode-kode entah apa.

“Kupikir, mesin itu yang meneleponmu,” kata pemilik rumah itu, Daffa. Dia mengambil beberapa lembar kertas dari mesin cetak dan membawakannya kepadaku. Itu salinan percakapan kami, yang telah ditambahi dengan banyak narasi, dan pada judul tertulis “Panggilan Lepas Malam”.

“Tanpa Hak Cipta?” kataku, entah untuk bertanya atau menyatakan.

“Perangkat lunak,” sahut Daffa, “aku menamainya demikian.”

“Dan, apa kode-kode itu?” Aku menunjuk layar dengan gestur tatapan.

“Program itu menghancurkan dirinya sendiri,” kata Daffa, terdengar masygul, “dan aku tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi.” ***

.

Catatan akhir:

[1]. To Kill a Mockingbird, Harper Lee

[2]. 1Q84, Haruki Murakami

.

.

Aveus Har. Tinggal di Pekalongan. Kesehariannya adalah seorang pedagang mi ayam sembari bereksperimen di Laboratorium Ide dan Cerita (LABITA). Novel terbarunya berjudul Forgulos (2018) dan Tak Ada Embusan Angin (2023).

.
.
Panggilan Lepas Malam. Panggilan Lepas Malam. Panggilan Lepas Malam. Panggilan Lepas Malam. Panggilan Lepas Malam. Panggilan Lepas Malam.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!