Cerpen Raudal Tanjung Banua (Jawa Pos, 29 Maret 2025)
SUNGGUH di luar “nurul” kata orang-orang sekarang. Setiap tahun, Jalan Lintas Timur Sumatera (lazim ditulis “Jalintim”) di Km 83 selalu terendam banjir. Artinya, belum ada yang dilakukan pemerintah untuk membebaskannya dari kutukan menahun itu.
Setiap kali orang berkata, “Tahun ini paling parah; kendaraan antre sampai dua atau tiga jam.” Tahun berikutnya, “Ini paling parah! Antrenya sampai tiga-lima jam.”
Tahun selanjutnya orang pun akan berkata, “Gila, benar-benar parah tahun ini… Antrean lebih sepuluh kilometer.”
“Ya, tembus sampai batas kecamatan!”
Begitulah dari tahun ke tahun. Tak ada yang berubah. Kecuali jika perubahan itu mengarah pada sesuatu yang makin parah, maka betul ada perubahan, dan itu tak sedikit.
Air, semata air, membentang kiri dan kanan, seolah jalan itu sepotong dermaga yang menjulur ke tengah kuala. Anak-anak sungai yang biasanya berwarna kebiruan karena akar-akar tumbuhan rawa akan berubah kuning keruh kecokelatan. Deras, berpusar.
Sebagian kedalamannya mencapai satu meter. Atau sepinggang orang dewasa, pinggang orang-orang kampung sana yang kian genting dan merana, tapi begitu sigap membantu memandu kendaraan. Mereka menuntun ke bagian yang dangkal. Toh tetap saja ada kendaraan terperosok. Sebuah truk ekspedisi bahkan ada yang terbalik bagaimanakah nasib paket-paket Lebaran yang dibawanya?
Sesekali ada polisi dan petugas entah dari instansi mana menutup-membuka jalan, membuat jalur satu arah secara bergantian. Itulah yang memakan waktu antrean berjam-jam.
Di jalan lintas yang dilewati rupa-rupa kendaraan, kau tahu, satu titik saja bermasalah, macetnya akan memanjang tak ketulungan. Masalah itu bisa muncul dari truk yang mogok atau mobil parkir sembarangan. Bayangkan ketika masalah itu karena banjir, ditambah kendaraan yang terbalik, betapa parahnya keadaan. Tapi itu pun relatif lebih baik. Sebab kendaraan tetap bisa lewat bergantian.
Namun ketika ketinggian air sudah mencapai sepinggang bahkan sedada, tak ada lagi yang bisa diperbuat. Tak ada cara untuk lewat. Semua kendaraan harus diam di tempat. Persis barisan tentara yang mendapat perintah berdiri di tempat, tapi bukan dengan dua kaki, sebab semua kendaraan yang terkepung beroda empat.
***
Tahun lalu, Kudal juga melewati jalan ini, saat musim hujan sudah berakhir dan tak ada luapan air barang sesenti pun. Ia tahu, itu bukan karena badan jalan sudah terbebas dari banjir, hanya saja musim hujan sudah berlalu. Padahal waktu itu baru Januari awal.
Kini sudah bulan ketiga, di pengujung pula, tapi hujan tak kunjung henti. Musim pun benar-benar telah berubah, bisik lelaki itu dalam hati.
Ia turun dari mobil travel tumpangannya yang sudah mematikan mesin. Sopirnya yang paham betul antrean bakal lama langsung berselonjor tidur.
Kudal menarik napas dalam-dalam. Mencium udara basah dan aroma lumpur. Seminggu lalu, ia sudah diingatkan sejawatnya di lembaga advokasi tempatnya bernaung, supaya menunda perjalanan kepedalaman. Ke sebuah kampung suku tuha yang kini berada dalam kepungan kebun kelapa sawit.
Namun Kudal tetap keukeuh berangkat karena jiwanya merasa terus dipanggil untuk turun. Konflik dengan perusahaan sawit makin tajam, dan menjelang Lebaran ia ingin ada jeda untuk saling berefleksi.
Sebagai bagian dari tim advokasi, sebenarnya ia tak menangani langsung soal konflik. Posisinya lebih sebagai tenaga pendamping yang mengajukan pikiran dan jalan alternatif. Karenanya ia mengambil momen Idul Fitri, dan sembari itu, ia sekalian akan pulang ke kampung halamannya di provinsi tetangga.
Dan di sinilah ia sekarang, bersama orang-orang lain yang terkepung. Di titik ia berada terdapat sebuah masjid dan rumah-rumah yang terendam. Pada hakikatnya kampung itu sudah sangat sepi. Ia hanya melihat sedikit orang menerobos air, sebagian lain bersampan. Ketika ia menyapa seseorang di antara mereka, ia dapati keramahannya persis keramahan orang-orang suku tuha di pedalaman—yang barusan ia sambangi. Sapaan itu bahkan berlanjut dengan percakapan. Orang itu menyebut namanya sendiri saat bicara.
“Kami banyak mengungsi, pindah ke rumah famili atau tempat lain, nanti kembali lagi saat musim kemarau. Tapi Giran harus tetap di sini. Kalau Giran juga pergi, tak ada yang jaga kampung,” kata Giran sambil tersenyum, memperlihatkan giginya yang rompal.
Jadi hanya sebagian kecil orang terpaksa bertahan tinggal. Mereka ini mendirikan warung di tepi jalan, bangunan sederhana bertiang kayu yang menjorok ke tengah rawa. Sebagian lagi hidup dengan memburuh di kebun sawit kawasan sebelah, mencari ikan, atau apa saja yang dapat mereka kerjakan.
Dan di musim banjir seperti sekarang, mereka biasa membantu kendaraan dengan sumbangan sukarela pengemudi atau penumpangnya. Meski bukan berarti senang melihat macet mengular, tapi mereka biasa mengistilahkan situasi tahunan ini sebagai “hari raya”.
Ya, hari raya, karena setidaknya selama itu kampung mereka akan ramai. Kendaraan dalam berbagai jenis akan berhenti, bukan sekadar lewat, persis kendaraan pemudik yang memarkir kendaraannya di halaman rumah masing-masing.
“Konjo pulang, Konjo pulang!” seorang anak dengan baju kusam bertulisan “Tak Hilang Melayu di Bumi” berteriak sambil berlari-lari. Ketika Kudal tanya siapa Konjo, sang anak menjawab bahwa itu adalah orang kampung sana yang sukses di rantau.
Giran, sang ayah, menambahkan, meski hanya pulang sekali dua, tapi cerita tentang Konjo dikenal luas di kampung itu. Dialah anak kampung kudisan yang tak menyerah pada nasib, dan begitulah orang-orang tua bercerita demi mendorong anak-anak mereka ikut mengubah nasib pula.
“Wah, banyak nian mobil Konjo… Asyiknye, ia pulang same-same….” sambut anak yang lain. Mereka pun dengan riang bermain air dan sebagian mencoba belajar berhitung dengan menjumlah mobil yang mereka sentuh langsung dengan ujung jari.
“Kau lihat Hafiz ikut bersama Konjo?” si anak berbaju Melayu itu menanyai kawan-kawannya.
“Tidak,” jawab mereka serempak.
“Ah, mungkin belum tiba. Hafiz pasti datang,” terdengar nada kecewa, tapi ada harapan.
“Siapa Hafiz?” lagi-lagi Kudal tertarik bertanya kepada si anak.
Dan lagi-lagi pula, Giran, sang ayah, yang menjawab. “Anak jati sini. Seorang santri. Dialah yang kami percaya menjadi imam khatib di masjid kami.”
Giran memandang masjid yang hampir tenggelam.
“Tapi Hafiz hanyut terseret arus hampir setahun lalu. Jasadnya tak kami temukan,” nada Giran sedih sekali. Selarut hati Kudal yang mendengar.
***
Sudah hampir 2 x 24 jam menunggu, air bukannya surut, malah bertambah. Guntur merobek langit, memuntahkan lagi hujan ke bumi. Ditambah luberan air dari hulu sungai besar tak jauh dari Km 83, membuat air naik sedada. Jika semua itu tak berhenti, bias-bisa air akan mencapai barisan kendaraan di bagian badan jalan yang lebih tinggi.
Sebuah mobil Pajero mencoba putar balik, namun tak bisa karena terhalang oleh mobil Hilux yang memaksakan diri menyerobot antrean. Sopirnya, lelaki 50-an, keluar dengan berang. Di dalam mobil, anak istrinya tampak putus asa.
“Seharusnya Bapak tidak menyerobot begini,” katanya kepada si sopir Hilux. Si sopir dengan kumis kusut hanya diam. Lelaki bertopi laken di sampingnya yang menjawab.
“Kami bergegas….”
“Semua orang bergegas,” jawab si Bapak ketus. “Tapi jangan mau menang sendiri.”
“Bukan begitu. Mobil operasional ini cukup tangguh mengatasi jalanan buruk, bahkan menyeberangi parit kebun sawit, karena itu kami maju.”
“Silakan Bapak tempuh genangan air ini sekarang….”
“Pakai otak dong! Ini dalamnya sudah sedada. Anda mau kami jadi santapan hantu air bono?”
Kudal menahan senyum getir mendengar “acara berbalas pantun” itu. Tapi itu selesai dengan sendirinya ketika perempuan dari mobil Pajero menarik suaminya ke dalam mobil.
Kini Kudal melangkah ke sebuah warung, bergabung bersama para musafir yang terkepung. Di sana, ia disambut suara seorang sopir truk, nyaris melenguh, “Ini semua gara-gara pengusaha sawit yang tamaknya minta ampun!”
“Kabarnya juga tambang di hulu!” seorang sopir lain tak mau kalah.
“Iya, ya, mereka tak pernah mau berhenti!” seorang lain menyela.
“Memikirkan dirinya sendiri!”
“Bukan. Memikirkan tujuh turunan!”
Suara bersahut-sahutan itu cukup nyaring di telinga Kudal yang resah. Meski mungkin terdengar verbal, tapi rasa geram memberinya nuansa peram. Jika meminjam ungkapan orang kampungnya, itu semacam dendam tak sudah. Ada potensi pantun dan pepatah di baliknya.
Entah karena kesal, putus asa, atau kompensasi dari semuanya, seseorang berpakaian necis serta merta menyahut, “Tahu apa Anda tentang dunia mereka?”
“Aa… tersinggung Bapak rupanya! Apa Bapak orang tambang? Atau investor kebun?”
Belum dijawab, seseorang menyela, “Atau orang pemerintah?”
Tanpa menjawab pun, orang itu segera dikenali dari isi “ceramah”-nya, “Seharusnya kita semua bersyukur ada pengusaha, apa pun latarnya, semua bayar pajak!”
“Kami pun bayar pajak, Pak!”
“Tentu. Semua pajak kami gunakan dengan sebaik-baiknya untuk membangun….”
“Tapi buktinya jalan ini tak pernah dipikirkan….”
“Sudah dan selalu kami pikirkan!”
“Ya, saat banjir. Setelah banjir surut, semua lupa lagi.”
“Dan Km 83 ini adalah potret rusaknya jalan di daerah ini, Pak. Di kabupaten dan desa-desa, jalannya jauh lebih parah,” Kudal tiba-tiba tergerak menambahkan dengan bahasa tak kalah verbal. Tapi rasa geram lumayan membuat kalimat itu punya vibrasi.
“Cukup! Saya bisa saja memanggil petugas ke mari,” orang necis itu nyaris terhuyung.
“Untuk apa?” si sopir truk bertubuh ceking tampak keki. “Buat nangkepin kami?”
“Bukanlah,” entah merasa terdesak atau gimana, si Bapak tukang pajak melunakkan suaranya, “Buat nunjukkan bukti bahwa semua yang kami lakukan tercatat dengan rapi….”
Ia lalu melangkah pergi ke arah mobil pelat merahnya, sambil melirik kepada seseorang yang sedang merekam adegan itu dengan HP, seperti orang mengokang senjata.
***
Menjelang petang, langit masih tetap kelabu. Hujan memang telah reda, tapi udara begitu lembap dan arus terus menggerus badan jalan.
“Bagaimana mau Lebaran ini?!” seorang ibu berteriak kesal sambil menggedor pintu mobilnya.
Mendengar itu, Kudal ingin mengatakan, jika terpaksa Lebaran di jalan, kenapa tidak?
Bahkan ia tak keberatan berlebaran di pedalaman, bersama suku tuha yang punya aturan sendiri tentang puasa dan hari raya. Hanya saja Kudal salah perhitungan. Ia memutuskan keluar dari dusun tuha sebab masih ada waktu dua hari lagi untuk sampai ke kampung halamannya di sebalik Bukit Barisan. Apa daya, ia tertahan di sini.
Ia ingin mengatakan itu, tapi tak cukup yakin si Ibu yang marah pada keadaan dapat menerima pendapatnya. Bisa bisa membuatnya tambah meradang.
Sementara itu, para penumpang bus “Halmahera” duduk bergerombol di depan bus. Pas di moncong bus itulah, seorang bapak mulai merutuk, “Ini provinsi kaya raya. Di atas minyak di bawah minyak, katanya. Kenapa mereka tak atasi soal ini?”
Mendengar rutukan itu, Kudal teringat kawasan Tamiang Layang, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Dulu setiap musim hujan kendaraan akan tertahan banjir berhari-hari di sana, entah di pal berapa, ia lupa. (Di Borneo orang menandai ruas jalan dengan sebutan pal, di Lintas Timur Sumatera orang menandainya dengan Km).
Yang jelas, setelah dibangun jembatan layang Tumbang Nusa, persoalan itu tuntas.
“Perlu ada kemauan,” bisik Kudal dalam hati.
“Dua tahun lalu kerabat saye payah maju pilkada. Die hendak mengatasi banjir di seluruh kabupaten, ye, termasuk Km 83 ini. Celake, tak banyak yang milih die,” seorang lelaki lagi, barangkali dari kota terdekat, berkata dalam logat Melayu pekat tapi polos.
“Seharusnya saya sudah berada di rumah bersama keluarga dalam hari-hari terakhir bulan Ramadan. Kami akan berbuka kurma anggur dari Persia, makan bersama, lalu Tarawih di rumah… Kami selalu Tarawih di rumah, tak ke mesjid….” seorang lelaki berkopiah putih, panggil saja Pak Haji, membayangkan rumah yang nyaman dari atas Land Rover-nya yang berhenti dalam posisi menyerong.
Lewat jendelanya yang dibiarkan terbuka, ia bisa berbincang dengan kru sebuah truk sarat beban, seolah bercakap dengan tetangga.
“Salah saya juga. Anak-anak sudah melarang saya untuk tidak dulu mengurus kebun di hulu. Tapi saya harus tetap berangkat untuk memastikan bahwa selama Lebaran kebun harus tetap ditunggui. Harus tetap ada orang,” kata Pak Haji lagi.
Sopir truk nyelutuk, “Kasihan yang menunggui tak bisa Lebaran di rumah, Pak Haji.”
“Tak payahlah, mereka kan digaji….”
“Aku juga digaji, Pak Haji. Tapi aku tetap ingin Lebaran bersama keluarga. Kuatur waktu supaya sampai di pangkalan minimal sehari sebelum Lebaran. Tapi, ah, sudahlah….”
“Masih untung, barang-barang majikanmu tetap berada di bawah pengawasanmu. Kalau kebun sawitku tak ditunggui, para maling akan berpesta….”
Kernet truk mengembuskan asap rokoknya.
“Meski musafir, tapi baiknya tetap puasa,” Pak Haji setengah gumam.
“Maaf, Pak Haji, saya Kristen….”
Begitulah percakapan terus berlangsung di tengah orang-orang yang bosan dan jenuh. Hari itu mereka masih bisa berbuka dengan stok makanan di kendaraan masing-masing, dan sebagian memesan makanan dan minuman di warung kecil pinggir jalan itu.
Dan itu adalah hari terakhir mereka berpuasa. Apa boleh buat, malam takbiran terpaksa mereka tuntaskan di jalan, di Km 83.
***
Begitulah, Kudal, laki-laki pencinta suku tuha itu pun ikhlas bermalam Lebaran dengan orang-orang Km 83. Baik dengan sesama pejalan yang terkepung maupun dengan orang-orang kampung. Entah kenapa ia merasakan nasib orang-orang kampung di sini tak jauh berbeda dengan orang-orang dusun tuha di pedalaman sana; sama-sama terampas dan kalah.
Ia ingin memanggil nama Giran keras-keras, minta menum pang perahunya berkeliling kampung dan masjid. Meski ia tahu masjid itu tak bisa digunakan karena sudah terendam sepenuhnya. Tapi dengan melewati serambi masjid dari atas sampan rasanya cukup menenangkan hati, jika bukan mengharukan dan dramatis.
Dan rumah-rumah pun telah pejam. Hanya di satu-dua rumah menyala pelita, mungkin karena listrik padam, atau memang mereka tak punya listrik.
Dalam remang cahaya, ia mendengar kecipak sampan dikayuh.
“Pak Giran, kau di situ?” ia berteriak.
Tak ada jawaban. Tapi bersamaan dengan itu terdengar suara takbir bergema sayup dari masjid yang terendam.
“Itu suara Hafiz, itu suara Hafiz!” tak lama kemudian terdengar suara anak-anak menyambut riang.
“Ya, Hafiz datang, Hafiz datang!” suara itu makin riang, disusul kecipak dayung bagai berpacu ke arah masjid yang karam.
“Aku mendengar suara takbir,” kata Pak Haji antara takjub dan gelisah.
“Iya, dari masjid sana,” sopir truk menyorotkan lampu senternya.
Orang-orang keluar dari mobil dan tegak di pinggir jalan menyimak suara takbir.
Meski pada hakikatnya para musafir itu tak melihat ada orang di situ. Tak seorang pun! Hanya suara takbir bergema bagai memancar sayup dari kedalaman air.
“O, mari kita ikuti,” akhirnya Kudal tak bisa lagi menahan diri untuk tidak tampil. Ia mulai menggemakan suara takbir dengan nada bergetar. Dadanya melimpah, bagai arus memanjat jalan dan tebing tebing. Bersamaan dengan itu, Pak Haji menarik tangan Kudal untuk naik ke atas kap Land Rover-nya.
Maka dari kap mobil itulah suara takbir menjalar ke barisan kendaraan yang mengular. Berhadapan dari kedua arah. Panjang, teramat panjang. Bagai suara takbir yang digemakan bersama-sama, berulang-ulang, sepanjang jalan Km 83.
Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar, Walilailhamd! ***
.
.
Pelalawan-Jogja, 21-24 Maret 2025
.
Catatan:
Suku tuha, sebutan untuk suku asli suatu kawasan, dalam cerita ini merujuk Suku Talang Mamak di Indragiri.
Bono, fenomena gelombang besar berlapis akibat pertemuan arus sungai dengan pasang laut di muara Sungai Kampar, Pelalawan, Riau.
.
.
Raudal Tanjung Banua. Sastrawan, tinggal di Jogjakarta.
.
.
Km 83. Km 83. Km 83. Km 83. Km 83. Km 83. Km 83. Km 83.
Leave a Reply