Cerpen, Kompas, Risda Nur Widia

Cerita tentang Bunga

Cerita tentang Bunga - Cerpen Risda Nur Widia

Cerita tentang Bunga ilustrasi Thomas Ari Kristianto/Kompas

5
(1)

Cerpen Risda Nur Widia (Kompas, 13 April 2025)

AKU dan Rie mengamati bunga dalam pot yang sudah bertahun-tahun kami rawat. Bunga itu terlihat segar, bahkan ketika kami lupa menyiramnya. Bunga itu seolah tidak membutuhkan air. Kuncup bunga itu tetap mekar dengan indah tanpa terpengaruhi oleh cuaca kota Kyushu yang panas.

“Kenapa bunga ini tak pernah layu?” Tanya istriku dengan pipi merahnya setelah menelan lima sloki arak jenis sheisu yang dibelinya di Kobe. “Itu bunga pemberian temanmu, ’kan?”

“Aku tak tahu, tetapi indah, bukan?”

Istriku mengangguk dengan ekspresi datar dan lugu yang mirip raut burung kecil shima enaga yang pernah kulihat di taman nasional Shiretoko. Selain itu aku juga teringat temanku yang selalu menggunakan topi.

Hisashi menanam bunga hime sayuri di ubun-ubunnya. Bunga yang—dengan kelopak berwarna putih dan tangkai sari ungu yang acap mengingatkan setiap orang dengan musim panas di Hokkaido; khususnya ketika melihat cahaya petang di jembatan Tsuru no Mai dengan Gunung Iwaki di belakangnya—tumbuh dengan baik. Bahkan bunga itu tak harus menunggu musim panas. Bunga itu mekar setiap hari di ubun-ubun Hisashi.

Sejak pertama aku—dan hanya aku satu-satunya—melihat bunga hime di ubun-ubun Hisashi, bunga itu tidak pernah layu. Bunga itu seolah bunga mitologi Tsubaki yang abadi, dan hanya tumbuh secara ajaib di Gunung Fuji. Aroma wanginya tak hilang. Maka, mudah menemukan Hisashi. Setiap kali mencium aroma bunga hime, baik di kantor, onsen, izayaki, dan tempat lainnya; sudah dipastikan kalau Hisashi ada di sekitar situ.

Aku pernah bertanya terkait ajaibnya bunga di ubun-ubunnya itu.

“Mengapa bunga di ubun-ubunmu itu tak pernah layu?” Tanyaku kepada Hisashi.

“Mungkin arwah ibuku yang menjaganya,” jawab Hisashi datar.

Pria itu sejenak termenung setelah mengatakan itu kepadaku. Lalu, ia menjelaskan sejarah mengenai bunga di ubun-ubunnya. Bunga itu tumbuh sejak usianya sepuluh tahun—tepatnya bunga itu mulai ada setelah ibunya meninggal karena kecelakaan. Usai pemakaman ibunya, Hisashi selalu bermimpi bertemu dengan ibunya di taman dengan para hewan dengan wujud kombinasi antara manusia dan kura dan sering disebut sebagai Kappa. Di dalam mimpi itu, ibunya sibuk menyisir rambutnya seraya mengisahkan taman bunga yang ingin dikerjakannya—tapi tak sempat.

“Biarkan aku membuat taman bunga di dalam dirimu, Hisashi,” kata ibunya. “Agar kau tidak kesepian di dunia.”

Mimpi Hisashi memang aneh. Namun Hisashi tetap bermimpi bertemu ibunya dengan para Kappa hampir selama setahun—setiap malam. Dan sama seperti mimpi-mimpinya, ibunya acap mengatakan akan membuat taman bunga di dalam dirinya. Sampai kemudian Hisashi menceritakan mimpi itu kepada neneknya. Wanita tua itu lantas memanggil pendeta untuk mengadakan upacara penyucian diri yang sering disebut sebagai Harae oleh warga lokal. Tetapi Hisashi merasa menjadi monyet yang pernah dilihatnya di kebun binatang Aso-Shi karena para pendeta melemparinya kacang.

“Apakah setelah itu kau tidak lagi bertemu dengan ibumu?” Aku menyela ceritanya.

Hisashi menggeleng dan mengatakan kepadaku kalau perbuatan yang dilakukan oleh neneknya itu hanya merendahkan harga dirinya. Mimpi itu tetap datang, dan Hisashi tidak hanya disisir oleh ibunya, tetapi ia juga diajak untuk menanam bunga. Adegan menanam bunga itu selalu berulang di sisa umurnya yang kesepuluh.

Baca juga  Perempuan Pemanggul Berhala

“Kau pasti bosan,” kata ibunya dalam mimpi. “Tapi ini akan berharga bagimu kelak.”

Hisashi tidak berupaya menceritakan mimpinya kepada neneknya—karena hal yang sama pasti dilakukan lagi kepadanya. Demikianlah Hisashi menjalani segalanya dengan pasrah di dalam mimpi. Sampai suatu hari, menjelang usianya sebelas, Hisashi tidak lagi bermimpi bertemu ibunya. Akan tetapi pada salah satu mimpi terakhirnya, ada satu detail adegan yang berubah.

“Waktu yang diberikan kepadaku habis, Hisashi,” kata ibunya menitik air mata. “Setelah ini aku akan hidup kembali menjadi sesuatu yang tidak aku ketahui apa. Tapi aku berharap dapat menjadi bunga yang tumbuh di halaman rumahmu.”

Hisashi setelah itu tidak pernah bertemu dengan ibunya. Hisashi bahkan tidak pernah lagi bermimpi sejak usianya menginjak sebelas. Tidurnya selalu kosong. Hari begitu saja berganti setiap kali Hisashi memejamkan mata di malam hari. Cuma ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Tunas bunga hime mulai tumbuh di ubun-ubunnya. Setiap hari batang bunga itu semakin menampakkan dirinya. Hisashi pun tidak merasa takut dengan hal ini. Ia merasa bahwa mungkin saja bunga yang tumbuh di ubun-ubunnya adalah reinkarnasi arwah ibunya.

Berbeda dengan nenek Hisashi. Wanita tua itu panik. Ia segera membawa Hisashi ke rumah sakit Kumamoto Shinto.

“Apakan cucuku baik-baik saja, sensei?” Tanya nenek Hisashi. “Apa yang terjadi dengan cucuku?”

“Tidak ada yang salah dengan cucumu, Obachan,” jelas dokter itu. “Tapi kejadian ini di luar nalar. Rasanya tidak mungkin sebuah tanaman dapat tumbuh di atas kepala manusia.”

Hampir selama enam tahun, Hisashi merasa dirinya menjadi tahanan perang Uni Soviet di Tiongkok karena kalah sebagai sekutu perang dunia kedua. Ia hidup dalam tekanan karena harus menjadi obyek observasi para dokter. Selain itu ia juga harus menggunakan topi agar tidak ada yang tahu mengenai bunga hime itu. Cuma semua penderitaan itu tidak menghasilkan apa pun. Maka menginjak usia dua puluh satu tahun, ia memutuskan tidak pernah datang lagi ke rumah sakit.

“Aku berusaha hidup normal setelahnya,” tambah Hisashi. “Toh tidak ada apa pun yang membuatku menderita dari bunga ini.”

“Aku akan tetap menjadi orang kedua setelah nenekmu yang mengetahui mengenai bunga itu,” ucapku dengan tulus. “Aku janji tidak ada orang ketiga.”

Aku tidak sengaja mengetahui bunga di ubun-ubun Hisashi. Peristiwa itu terjadi sekitar akhir tahun lalu, ketika aku berkunjung ke apartemennya. Hisashi yang lupa mengunci pintu rumahnya, sempat membuatku khawatir. Aku pikir rumahnya yang berada di sekitar distrik Jotomachi didatangi perampok. Aku secara perlahan masuk. Tak ada tanda-tanda perampok di apartemen Hisashi. Aku malah melihatnya termangu tanpa kaus dan topi. Pada kepalanya terlihat sekuntum bunga.

Hisashi sempat kaget dengan kemunculanku. Ia segera mengambil topinya.

“Apakah itu gantungan kunci?” Tanyaku segera.

Semula ia diam saja. Tapi kemudian karena tidak ada pilihan, ia menjawab, “Ini bunga sungguhan.”

Baca juga  Boma

Semula aku tidak percaya. Akan tetapi ketika ia menunjukkannya kembali padaku, bunga itu bukan properti semata. Itu bunga asli.

“Semoga kau tidak takut,” katanya kepadaku. “Karena ini hal yang tak masuk akal.”

“Sama sekali tidak,” balasku datar. “Banyak hal di luar sana yang lebih aneh dari ini. Misalnya memotong jarimu sendiri untuk gantungan kunci.”

“Terima kasih banyak, kawan,” Hisashi juga mengatakan secara datar.

Setelah itu kami dapat dikatakan menjadi sahabat baik di kantor maupun di luar pekerjaan. Aku menjadi tahu hal-hal yang dilakukan oleh Hisashi di luar dunianya sebagai editor. Ia ternyata adalah seorang pencinta tanaman. Apartemennya penuh dengan tumbuhan hias. Ia menyirami tanaman itu dengan teratur setiap hari. Begitu pengertiannya dengan tanaman-tanaman hias itu, Hisashi tidak segan meninggalkan kantor untuk memeriksa mereka.

Aku berpikir semua hal konyol itu Hisashi lakukan karena ada kaitannya dengan bunga hime yang tumbuh di ubun-ubunnya. Bunga hime itu barangkali memberikan sensitivitas intuisi yang berbeda pada Hisashi. Ia lebih bisa memahami tumbuhan daripada orang-orang pada umumnya. Jadi terkadang aku merasa tidak aneh kalau tiba-tiba Hisashi menitikkan air mata tanpa sebab setelah melihat sebuah bunga yang mati di dalam pot.

“Apakah kamu tidak lelah untuk mengetahui sesuatu yang tidak orang lain pahami?” Aku sempat bertanya kepadanya. “Setiap hari kau hanya merasakan kesedihan yang rumit.”

“Mulanya aku merasa lelah,” jawab Hisashi. “Tapi tampaknya bersedih pada suatu hal yang rumit tidak membuat dunia ini kiamat lebih cepat.”

Hisashi memang tidak masuk akal, tetapi aku tidak banyak mendebatnya. Aku tahu dunia Hisashi tak semudah memahami bahwa malam selalu datang dengan warna gelap; dan pagi dengan warna yang cerah. Dunia Hisashi ada di antara ketidakpastian dan terombang-ambing tanpa warna yang mudah dipahami.

Secara tiba-tiba hari itu Hisashi mengajakku untuk mencari makan malam di kedai oden. Cuma aku tahu istilah “makan malam” sebenarnya hanya cara untuknya menceritakan sesuatu kepadaku. Ia selalu menggunakan tabiat ini untuk menjelaskan hal-hal rumit kepadaku. Terakhir, ia mengajakku minum sake untuk membicarakan karya-karya Akutagawa dan motif pengarang hebat itu bunuh diri.

Aku tak mencoba menyinggung hal apa yang ingin dikatakannya selama menyantap oden. Kami lebih sibuk dengan lobak, tahu, dan daging dalam balutan bumbu dashi kuah oden. Setelah makan, aku masih tidak melihat gelagat bahwa Hisashi akan mengatakan sesuatu. Akan tetapi setelah meneguk dua sloki kecil sake, Hisashi baru mengeluarkan suara.

“Aku baru saja mengundurkan diri dari pekerjaanku,” terdengar suara serak Hisashi. “Tapi aku tak tahu apakah itu sesuatu yang benar atau tidak.”

“Keluar?” Aku sempat terkejut. “Apa rencanamu?”

Sebenarnya sangat disayangkan pilihan yang diambil oleh Hisashi. Penerbit pasti mengalami kerugian besar. Aku ingat bahwa ada tiga penulis besar di dalam penerbit yang ditemukan oleh Hisashi. Dari tiga penulis itu penerbit telah cukup banyak mendapatkan keuntungan.

Tiba-tiba, aku berpikir Hisashi akan pindah ke penerbit yang lebih besar.

“Kau salah bila berpikir ada kantor penerbit lain yang menawariku bergabung!” Kata Hisashi mengetahui pikiranku. “Aku ingin membuat taman dan toko bunga.”

Baca juga  Paman Ali Buta

“Toko bunga?” Aku semakin tidak paham dengan pikiran Hisashi. “Di kota ini?”

“Tentu bukan di kota ini,” jawab Hisashi. “Tapi….”

Hisashi sejenak tercekat. Ia kemudian menceritakan bahwa setelah sembilan tahun tidur tanpa mimpi, semalam ia kembali bertemu ibunya. Ternyata ibunya tidak bereinkarnasi menjadi bunga di ubun-ubunya, tetapi menjadi setangkai bunga yang tidak sengaja ia tanam pada suatu taman di halaman rumahnya pada suatu kota kecil. Karena mimpi itu kemudian ia memilih untuk mengundurkan diri.

“Tapi apakah kau yakin dengan mimpi itu,” tegasku kepada Hisashi.

“Memang terkesan konyol,” jawab Hisashi. “Aku hanya mengikuti intuisiku saja.”

“Tapi kau bisa menanam bunga di kota ini, kan?”

“Memang, tapi aku akan mencoba mengikuti mimpiku.”

Akhirnya malam itu kami berpisah. Cuma sebelum berpisah, Hisashi mematahkan bunga hime di ubun-ubunnya. Bunga itu kemudian diberikannya kepadaku.

“Kau akan selalu mengingatku dengan bunga ini,” kata Hisashi. “Kau adalah sahabatku.”

Sejak itu aku tidak pernah bertemu dengan Hisashi. Aku juga tidak tahu ke mana kawan baikku itu pergi.

Selama bertahun-tahun, aku membawa bunga hime pemberian Hisashi. Aku membawanya ke mana pun aku pindah. Bunga itu tetap baik-baik saja dengan banyaknya perubahan. Bahkan setelah aku menikah dengan istriku dan memiliki dua anak yang kini telah berusia masing-masing dua puluh empat dan dua puluh satu, bunga hime pemberian Hisashi masih kurawat baik.

“Jadi bunga ini memang tidak akan pernah layu?” wajah istriku semakin merah karena mabuk.

“Begitulah,” jawabku datar. “Semoga bunga ini tetap indah!”

Aku dan Rie menatap bunga itu tanpa banyak mengetahui masa depan macam apa yang akan kami hadapi di masa tua seperti ini. Begitu juga mungkin dengan Hisashi yang entah di mana dengan bunga-bunga di hidupnya. ***

.

Catatan:

Onsen: pemandian air panas yang berasal dari sumber air panas alami.

Izayaki: tempat makan atau minum yang menyediakan makanan atau minuman yang berkandungan alkohol.

Sensei: sebutan untuk seorang yang memiliki kemampuan khusus. Sensei tidak selalu merujuk pada guru. Ia bisa seorang dokter, arsitek, ataupun dosen.

Obachan: sebutan dekat untuk memanggil wanita yang lebih tua (nenek).

.

.

Risda Nur Widia. Pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta. Sedang menempuh pendidikan doktor di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (UNY). Buku tunggalnya Berburu Buaya di Hindia Timur (2020). Cerpennya tersiar di berbagai media.

Thomas Ari Kristianto, sekolah S-1 Desain di Institut Teknologi Bandung, selanjutnya S-2 di Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), lalu S-3 Arsitektur di kampus yang sama, tetapi belum lulus. Sekarang mengajar desain di ITS, menjalankan firma arsitektur interior, serta mengoleksi dan menaruh perhatian pada dunia seni rupa.

.
.
Cerita tentang Bunga. Cerita tentang Bunga. Cerita tentang Bunga. Cerita tentang Bunga. Cerita tentang Bunga. Cerita tentang Bunga.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. endang

    Cerpen yang bagus.

Leave a Reply

error: Content is protected !!