Cerpen, Koran Tempo, Safry Dosom

Ratapan dari Hutan Poco Leok

Ratapan dari Hutan Poco Leok - Cerpen Safry Dosom

Ratapan dari Hutan Poco Leok ilustrasi Alvin Siregar/Koran Tempo

4.6
(5)

Cerpen Safry Dosom (Koran Tempo, 19 April 2025)

MASA prapaskah telah dimulai sejak satu minggu yang lalu. Para Imam Tuhan terus mengajak semua umatnya menjaga ketenangan dan berusaha untuk bertobat sebagai bentuk penyucian diri sebelum hari paskah tiba. Tuhan akan bangkit jika umatnya menyerahkan diri kepada-Nya. Tuhan akan selalu hidup di setiap hati yang jujur, kudus, dan taat. Namun, apakah semua umat kristiani sungguh-sungguh mengikuti ret-ret agung sebelum hari paskah tiba? Tentu jawabnya tidak. Sebab, suara ratapan dari semua umat di kampung L masih menggema di dalam hutan Poco Leok. Mereka terus mencari Tuhan di sana. Memintanya untuk berada di pihak mereka.

Sejak penetapan proyek itu, rasa takut dan cemas terus menghantui hati para warga di kampung L. Semua warga tetap tidak mau untuk menjual hutan Poco Leok kepada pihak pemerintah guna membuka proyek itu. Bagi warga di kampung L, hutan Poco Leok adalah warisan yang sangat berharga dari para leluhur. Hutan Poco Leok diakui sebagai tempat yang sakral. Para warga percaya, di tempat itu, Tuhan dan roh dari semua leluhur bersemayam. Sebagai bentuk penghormatan terhadap hutan Poco Leok, setiap tahun warga kampung L selalu melakukan ritual penti dan diikuti dengan perayaan ekaristi di gerbang utama menuju hutan Poco Leok.

***

“MEREKA ingin menggali tubuh ibu kami. Kami menolak! Sebab, sejak ribuan tahun yang lalu, hutan Poco Leok telah memberikan kami kehidupan. Kami harus merawatnya. Menghormatinya sebagai ibu kami.” Begitulah ratapan Mama Maria di hadapan patung Yesus setelah mengikuti perayaan ekaristi pagi itu. Air matanya terus mengalir. Kata-kata yang diucapkan tadi seolah-olah ingin meminta pertanggungjawaban dan bantuan dari Tuhan untuk membatalkan proyek itu.

Melihat hal itu, semua umat yang mengikuti perayaan ekaristi kudus pagi itu diam. Mereka enggan meninggalkan tempat duduk di dalam kapela. Setelah menyanyikan lagu penutup “Hanya Debulah Aku”, anak-anak kecil tidak bermain kejar-kejaran seperti sebelumnya. Mereka diam dan terus menatap Mama Maria yang duduk di hadapan patung Yesus.

Bapa Domi yang mengikuti perayaan ekaristi minggu kedua masa prapaskah itu ikut meneteskan air mata. Ia sadar ratapan Mama Maria, istrinya, tadi mengungkapkan sebuah ketakutan yang besar.

“Tuhan pasti berada di pihak kita,” kata Romo Simon, sambil menepuk bahu Mama Maria. Romo Simon tahu, beban yang ditanggung oleh umatnya sungguh sangat berat. Tahun ini, semua umat sama sekali tidak mengikuti ret-ret agung dengan baik. Mereka sering kali melupakan perintah Tuhan untuk tidak membenci dan menghakimi semua musuh mereka. Entahlah. Sebab amarah dari para umat terhadap pemerintah tidak bisa dikendalikan lagi.

“Tuhan telah meninggalkan kami, Romo!” ujar Mama Maria lagi dengan suara yang keras. Kedua tangannya bergetar mengusap air matanya.

Suasana di dalam kapela sangat hening. Semua umat yang hadir terus membisu. Mereka saling menatap.

“Romo, kita harus berjuang sampai menumpahkan darah,” kata Ema Tadus yang dari tadi duduk diam di bangku paling belakang.

Baca juga  Semalam di Payajaras

“Tuhan tidak mau kita saling membunuh. Tuhan tidak ingin ada pertumpahan darah dan nyawa di antara umatnya. Pasti ada cara lain untuk membatalkan proyek itu,” demikian tanggap Romo Simon.

Suasana masih hening. Semua mata yang hadir terus menatap Romo Simon.

“Romo, bukankah Yesus mati di kayu salib demi menebus dosa para umatnya?” kata Mama Maria lagi.

Romo Simon diam. Ketika waktu telah menunjukkan pukul 12.00, semua umat perlahan meninggalkan kapela. Mereka berjalan dengan tenang tanpa menitipkan salam kepada yang lain seperti kebiasaan sebelumnya.

Setelah semua umat meninggalkan kapela kecil itu, Romo Simon terus menatap salib Yesus yang digantung di ruang sakristi. Ia terus berdoa dan meminta petunjuk dari Tuhan agar bisa membatalkan proyek itu. Ia menyadari bahwa jika hutan Poco Leok itu dibabat, tentu semua tanah dari para umatnya yang berada di sekitar hutan itu tidak lagi subur. Menurut para umatnya, hutan Poco Leok adalah ibu kehidupan. Sebab dari dalam hutan Poco Leok telah mengalir kehidupan, seperti air, udara yang segar, dan tanah yang subur. Selain itu, para warga percaya bahwa semua roh dari para leluhur masih berdiam di tengah hutan Poco Leok.

Saat malam tiba, hati Romo Simon sama sekali tidak tenang. Dari rumah pastoran, ia terus mendengar suara ratapan perempuan dari arah hutan Poco Leok. Sejak malam itu, ia menyadari bahwa kehidupan para umatnya tidak bisa dilepaskan dari hutan Poco Leok. Akhirnya, malam itu ia berani mengambil keputusan untuk terus membela para umatnya. Ia tidak mau berdiam diri di rumah pastoran. Ia harus ikut merasakan kesedihan dari para umatnya. Meskipun keputusan itu sangat berbahaya, ia tetap berjuang demi salib Kristus.

***

KEESOKAN harinya, Romo Simon mengundang semua umat untuk melakukan pertemuan di kapela St. Fransiskus. Mendengar undangan itu, semua umat di kampung L dengan semangat mendatangi kapela St. Fransiskus yang letaknya dekat dengan hutan Poco Leok. Mereka datang dengan penuh harapan. Semua umat di kampung L percaya bahwa Romo Simon adalah satu-satunya utusan dari Tuhan.

“Kita harus membentuk panitia dalam rangka melakukan aksi penolakan proyek ini,” ujar Romo Simon dengan nada yang sangat tenang. Ia terus menatap wajah para umatnya satu per satu.

“Apakah Romo bersedia berada di pihak kami?” kata Bapa Domi untuk meyakinkan lagi apakah Romo Simon benar-benar ingin berjuang bersama mereka. Sudah sepuluh tahun Bapa Domi sangat percaya imam dari Ordo Fransiskan itu, tetapi ia sering kali ragu karena banyak imam Tuhan akhir-akhir ini ikut menindas para umatnya sendiri demi membuka sebuah proyek. Ia masih ingat salah satu cerita yang datang dari ujung timur Pulau Flores. Di sana, para umat Tuhan terus melawan para imamnya yang ikut merampas hak mereka. Sebab harta duniawi membuat seseorang lupa dengan tugasnya.

Romo Simon diam. Suasana dalam kapela itu juga ikut diam.

“Bapa Domi, saya tahu apa yang Bapa pikirkan,” kata Romo Simon beberapa menit kemudian dengan suara yang tenang. “Percayalah. Saya telah berjanji di hadapan Tuhan dan seluruh umatnya untuk menerima tugas mulia ini. Saya telah diutus oleh Tuhan untuk terus melindungi dan memperjuangkan hak-hak dari para umatnya.”

Baca juga  Perkutut

Semua umat yang hadir serentak bertepuk tangan. Mereka sangat kagum atas jawaban yang disampaikan Romo Simon itu.

“Romo, ampunilah saya orang berdosa ini, sebab saya tidak sadar apa yang telah saya ucapkan,” kata Bapa Domi dengan penuh rasa bersalah.

Romo Simon hanya senyum. Ia tahu apa yang Bapa Domi pikirkan. “Baiklah. Marilah kita bersama-sama berjuang untuk membatalkan proyek di hutan Poco Leok itu. Kita harus bekerja sama tanpa menumpahkan darah dan nyawa,” katanya beberapa menit kemudian.

Mendengar ucapan itu, semua umat merasa dikuatkan. Mereka percaya Tuhan telah hadir dalam diri Romo Simon. Imam yang lahir di Pulau Jawa itu telah membunuh rasa takut yang masih melekat di dalam hati mereka.

Akhirnya, pertemuan hari itu berjalan dengan lancar. Romo Simon dipilih oleh semua umat di Stasi St. Fransiskus sebagai ketua dalam melakukan aksi penolakan pembukaan proyek itu. Mereka sepakat mendatangi kantor DPRD dan kantor Bupati untuk menyampaikan penolakan terhadap proyek itu. Hari itu, Romo Simon dan semua umat yang hadir telah sepakat menetapkan tanggal dan waktu untuk melakukan aksi penolakan. Sebelum mereka mengikuti aksi penolakan itu, di kapela St. Fransiskus, mereka meminta berkat dari Tuhan lewat tumpangan tangan Romo Simon.

***

SEHARI setelah melakukan aksi penolakan proyek itu, dan tepat pada hari Minggu ketiga masa prapaskah, suara lonceng dari kapela St. Fransiskus sama sekali tidak didengar oleh umat di kampung L. Biasanya setiap pukul 06.00, Mama Agata sebagai koster sekaligus pemasak di rumah pastoran membunyikan lonceng.

“Bapak, saya belum mendengar lonceng dari menara kapela. Mungkin Mama Agata masih tidur,” kata Mama Maria, istri Bapa Domi, pagi itu.

“Lonceng dari kapela mungkin sudah dibunyikan mama. Suara hujan yang sangat deras ini membuat suara lonceng tidak terdengar jelas,” jawab Bapa Domi sambil melinting tembakau di ruang tamu.

“Tidak mungkin, Bapa!” cegat Mama Maria. Ia merasakan ada hal aneh yang sedang terjadi di pagi itu. Hatinya sangat tidak tenang. Biasanya, bunyi lonceng di kapela st. Fransiskus sangat jelas didengar dari rumah mereka.

Mendengar itu, Bapa Domi tidak mau lagi berdebat panjang. Ia mengambil payung dan kemudian berjalan menuju kapela St. Fransiskus yang jaraknya tidak jauh dari rumah mereka. Tepat di depan kapela, Bapa Domi merasakan ada hal aneh yang sedang terjadi di hari Minggu ketiga masa prapaskah itu. Pintu kapela sama sekali belum dibuka. Semua lampu masih menyala meskipun waktu telah menunjukan pukul 06.40. Suasana di sekitar kapela juga sangat sepi. Saat itu, di dalam hati Bapa Domi sudah mulai muncul perasaan curiga.

Setelah beberapa menit Bapa Domi melotot seperti patung di depan pintu kapela, ia berlari menuju rumah pastoran sambil memanggil nama Mama Agata. Setelah tiba di halaman rumah pastoran, ia sama sekali tidak menemukan Mama Agata. Ia terus mengetuk pintu rumah pastoran, tetapi tidak ada respons sama sekali. Di halaman rumah pastoran, ia hanya menemukan bekas ban mobil Fortuner. Setelah itu, ia berani memanggil nama Romo Simon, tetapi tetap tidak ada jawaban. Bapa Domi sudah mulai takut, kemudian ia berlari membunyikan lonceng di menara kapela.

Baca juga  Si Malas

Mendengar suara lonceng itu, semua warga di kampung L berlari menuju kapela St. Fransiskus. Mereka semua bingung ketika melihat suasana di rumah pastoran sangat sepi. Pagi itu, mereka berani mendobrak pintu rumah pastoran. Mereka harus memastikan apa yang sedang terjadi. Ketika pintu rumah pastoran dibuka, mereka semua kaget saat melihat Mama Agata terbaring lemas di ruang makan. Mulutnya masih ditutup kain. Tangan dan kakinya masih diikat dengan tali nilon.

“Apa yang terjadi, Mama Agata?” kata Bapa Domi.

“Di mana Romo Simon?” kata yang lain lagi.

Mama Agata masih diam. Ia terus berusaha mengendalikan napasnya. Mama Maria berlari mengambil segelas air putih di dapur.

“Tadi malam banyak orang mendatangi rumah pastoran. Mereka membawa Romo Simon dengan kasar,” jawab Mama Agata dengan kaku. Air matanya terus mengalir membelah kedua pipinya.

Mendengar jawaban itu, semua yang hadir sangat panik. Mereka tahu Romo Simon sedang dalam bahaya.

“Orang-orang itu membawa Romo Simon ke arah mana?”

Mama Agata hanya menggelengkan kepala.

Beberapa menit kemudian, dari arah hutan Poco Leok, seorang anak kecil terus berteriak. “Tolong… Tolong…! Romo Simon digantung tepat di gerbang menuju hutan Poco Leok…!”

Semua warga bergegas menuju gerbang hutan Poco Leok. Mereka kaget ketika melihat tubuh Romo Simon telah kaku. Mereka semua tersungkur di depan tubuh itu. Mereka sangat sedih ketika melihat tubuh itu dipenuhi dengan luka. Dari mulutnya terus mengalir darah yang masih segar. Dari lambungnya yang telah ditusuk terus mengalirkan air.

“Tuhan telah mati di hutan Poco Leok. Kita merayakan paskah tahun ini tanpa kemenangan. Tuhan mungkin tidak akan bangkit bagi kita.” Demikian teriak Bapa Domi. Air matanya terus membentuk aliran sungai di wajahnya.

Pada hari itu, suara ratapan dari para warga di kampung L terus menggema di hutan Poco Leok. Sebab, Tuhan telah mati demi memperjuangkan hak dari semua umatnya. ***

.

Maumere, 2025.

.

Catatan:

Penti: sebuah acara syukuran atas hasil panen dalam budaya Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

.

.

Safry Dosom. Nama pena Saverinus Dosom. Lahir di Raca, Manggarai Barat, pada 24 September 2001. Sekarang, ia masih menekuni filsafat di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero-Maumere.

.
.
Ratapan dari Hutan Poco Leok. Ratapan dari Hutan Poco Leok. Ratapan dari Hutan Poco Leok. Ratapan dari Hutan Poco Leok.

Loading

Average rating 4.6 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Anonymous

    Terima Kasih Ruang Sastra

Leave a Reply

error: Content is protected !!