Cerpen, Puspa Seruni, Solopos

Mas Mono Masuk Dapur

Mas Mono Masuk Dapur - Cerpen Puspa Seruni

Mas Mono Masuk Dapur ilustrasi Hengki Irawan/Solopos

4.5
(2)

Cerpen Puspa Seruni (Solopos, 19-20 April 2025)

SEJAK Mas Mono dan kawan-kawannya masuk dapur, para perempuan tergusur. Mereka dipaksa turun dari singgasana dan menyerahkan tahta sebagai penyedia makanan terbaik untuk keluarga ke tangan para lelaki yang selama ini lebih banyak memukul kentongan.

Sekelompok lelaki itu menjelma Chef Juna yang piawai mengolah bahan makanan menjadi masakan yang memanjakan lidah dan memuaskan perut. Akan tetapi, itu hanya perasaan mereka. Nyatanya, urusan perut tidak terjaga, apalagi indra perasa.

Selama ini Mas Mono dikenal sebagai penjaga keamanan desa. Kedudukan tingginya sebagai komandan terlihat dari gambar bunga kecubung di lengan kanan seragamnya.

Setiap hari, dengan diiringi enam anggota, Mas Mono berkeliling desa dengan kepala tegak dan dada membusung—memamerkan seragam hijau, sepatu lars tinggi berwarna hitam, sabuk hitam, topi, dan tongkat selalu dia pegang di tangan kanan ke mana pun dia pergi.

Bertahun-tahun menghuni pos jaga di halaman depan kantor kepala desa seolah tidak cukup. Ketika banjir bandang tiba dan menghanyutkan hampir separuh rumah warga, Mas Mono tiba-tiba menjelma koki bintang lima. Seragam hijau beserta pangkat bunga kecubung di lengannya tentu masih dia kenakan. Namun, tugasnya saat itu bukan lagi sekadar penjaga keamanan melainkan juga memastikan warga tidak lapar.

Kekhawatiran para perempuan akhirnya terjadi. Pembagian makanan pada pekan kedua berujung ricuh. Beberapa orang terlihat saling dorong sebelum akhirnya suara teriakan menggema memanaskan udara.

Terik matahari yang memanggang ubun-ubun membuat warga yang sudah antre sejak pagi sambil menahan lapar mudah terpicu amarah mereka dan bertindak brutal. Suara Mas Mono dan Pak Kades yang berteriak-teriak menenangkan warga tidak digubris.

Petugas yang bertugas mengawal kelancaran kegiatan pembagian nasi bungkus kewalahan. Mereka terlalu letih mengurus semua kegiatan mulai pagi hingga sore setiap hari.

Petugas keamanan berseragam hijau dan bersepatu lars itulah yang setiap dini hari berbelanja ke pasar, memasak, mengemas masakan dengan menggunakan kertas minyak, hingga bertugas mengawal pendistribusian. Semua dilakukan atas komando Mas Mono selaku kepala keamanan Desa Tamaju-maju.

Musibah banjir bandang yang melanda Desa Tamaju-maju telah membuat Pemerintah Desa kejatuhan bulan dan bintang. Pemerintah hingga pihak swasta berbondong-bondong menggelontorkan dana untuk membantu warga terdampak bencana.

Selain perbaikan infrastruktur yang masih tahap perencanaan oleh pemerintah kabupaten, anggaran mendesak yang mesti direalisasikan secepatnya adalah pengadaan bantuan makan untuk warga Desa Tamaju-maju yang rumahnya hanyut terbawa banjir. Sekitar 200 rumah warga tak tersisa bekasnya, 50 rusak berat, dan dua rusak ringan. Sebanyak lima orang tewas, 25 orang belum ditemukan, dan ratusan warga berada di tenda-tenda pengungsian darurat.

Baca juga  Pawiro Bledek

Tanpa berembuk dengan warga dan perangkat desa, Kepala Desa Tamaju-maju menunjuk Mas Mono mengurus pembangunan dapur umum dan penyediaan makanan bagi warga terdampak. Padahal, selama ini, tugas Mas Mono hanya memantau kondisi keamanan kampung dibantu oleh enam anggotanya yang selalu siap berkeliling. Entah apa yang menjadi pertimbangan Pak Kades saat menunjuk satuan keamanan kampung sebagai pelaksana kegiatan dapur umum tersebut.

Ibu-ibu yang rumahnya tidak terdampak banjir hanya diminta membantu memasak. Sementara penentuan menu, pemilihan dan pembelian bahan, hingga pendistribusian ditangani langsung oleh Mas Mono dan anak buahnya.

Warga yang sudah dipusingkan penyakit diare di area pengungsian tidak terlalu meributkan menu dan rasa makanan yang disajikan. Mereka lapar dan ingin makan tanpa mau tahu apakah menu yang diberikan sudah sesuai dengan anggaran yang diturunkan pemerintah kabupaten atau tidak.

Beberapa hari sebelum dana darurat itu turun, warga bergotong-royong membangun dapur umum darurat dari batang-batang bambu sebagai tiangnya serta plastik bekas spanduk sebagai dinding dan atapnya. Sementara, bahan makanan diperoleh dari sumbangan warga dan masyarakat dari luar kampung.

Ketika dana darurat cair, Mas Mono—sebagai orang yang bertugas melaksanakan kegiatan pengadaan makan bagi warga di lokasi musibah, merombak dapur itu dan menggantinya dengan dua dapur semipermanen berukuran 6 meter x10 meter yang menelan biaya Rp75 juta per dapur. Biaya tersebut sudah termasuk pembangunan dapur dan pembelian alat-alat memasak.

Bu Olip, salah satu warga yang rumahnya tidak terdampak musibah, sebenarnya sudah menawarkan dapurnya untuk digunakan sebagai dapur umum. Begitu juga Bu Rukayah selaku pengusaha katering juga menawarkan alat-alat masaknya untuk digunakan selama masa darurat. Namun, Mas Mono dengan tegas menolak dan memilih menghabiskan separuh dana darurat untuk membangun dapur dan melengkapi isinya.

Selain itu, untuk menu dan kombinasi masakan, Mas Mono mendatangkan seorang ahli gizi dengan bayaran cukup mahal. Biaya yang digunakan untuk pembangunan dapur, pembelian alat masak, honor ahli gizi dan biaya distribusi mencapai tiga perempat dana darurat yang ada. Sisa anggaran untuk penyediaan makan diperkirakan hanya cukup selama tiga pekan.

Pembagian nasi bungkus pada hari pertama berjalan baik. Warga yang sudah tiga hari hanya makan mi dan telur merasa cukup puas dengan menu makanan yang disajikan. Akan tetapi, kondisi memuaskan itu hanya berlangsung selama tiga hari.

Baca juga  Dua Kepak Sayap

Setelah wartawan dan pengawas dari kabupaten pulang, porsi makan dan menunya tidak lagi seperti semula. Beberapa menu dibuat berulang dengan jenis lauk yang bergilir antara tahu, tempe, dan telur. Porsi nasi dan sayur pun lambat laun menyusut.

Manakala bahan makanan yang disiapkan semakin terbatas dengan kualitas yang menurun, perempuan-perempuan yang membantu menyiapkan masakan mulai bertanya-tanya. Beberapa di antaranya memberanikan diri memberi masukan kepada Mas Mono.

Mendapat banyak komplain dari para perempuan yang membantu memasak, Mas Mono merasa gerah. Diam-diam para perempuan yang dianggap terlalu banyak protes dirumahkan dan diganti dengan orang yang dianggap lebih menurut pada ketentuan yang sudah diatur. Hingga akhirnya meletuslah kericuhan pada pekan kedua yang diakibatkan tidak puasnya warga pada menu makanan yang diberikan.

Selain porsi yang semakin berkurang, rasa yang mulai amburadul, jumlah nasi bungkus yang disediakan pun menurun. Akibatnya, banyak warga tak kebagian jatah. Warga mulai saling berebut hingga menimbulkan kekacauan.

Ketika dimintai pertanggungjawaban, Mas Mono selaku penanggung jawab dengan arogan menjawab bahwa menu yang disajikan sudah sesuai dengan ketentuan ahli gizi dan anggaran yang tersedia.

Mundur jauh ke belakang, sebelum Mas Mono ditunjuk sebagai penanggung jawab kegiatan, Pak Kades sempat memanggil para kepala kampung untuk memaparkan rencana kegiatan yang akan diajukan. Satu per satu kepala kampung bergiliran maju dan menjelaskan ide mereka.

Kepala Kampung Rambutan mengusulkan penggunaan dapur milik warga sehingga anggaran bisa difokuskan untuk pembelian bahan makanan. Tujuannya menjamin menu makanan lebih berkualitas dan jangka waktu pemberian yang lebih lama hingga warga benar-benar pulih dari kondisi bencana.

Usul lainnya dari Kepala Kampung Bejo yang meminta pemberdayaan warung-warung makan milik warga untuk menyediakan makanan secara bergiliran. Hal ini bertujuan menggerakkan ekonomi warga yang dapat mendorong pulihnya perekonomian desa dengan lebih cepat.

Sedangkan Kepala Kampung Sendang mengusulkan gotong royong warga untuk menyumbang hasil kebun dan hasil pertanian warga yang tidak terdampak bencana. Dengan begitu bisa terbangun kebersamaan dan meningkatkan empati kepada sesama. Gotong royong juga dapat menghemat anggaran sehingga dana darurut dapat digunakan untuk membantu membangun rumah-rumah warga yang rusak.

Namun, dari semua ide dan pemaparan para kepala kampung, tidak ada satu pun yang dianggap sesuai dengan keinginan Pak Kades. Pak Kades sempat dibuat gundah gulana hingga akhirnya, tanpa diskusi lebih lanjut, memutuskan menunjuk Mas Mono, seseorang yang sama sekali tidak pernah diundang untuk memaparkan idenya.

Baca juga  Pendaki Bukit Nyanyian

Desas-desus menyebutkan alasan pemilihan Mas Mono sebagai penanggung jawab kegiatan bersifat personal. Mas Mono merupakan suami adik bungsu Pak Kades sekaligus salah satu tim sukses pencalonan Pak Kades.

Meskipun rencana kegiatan yang diajukan Mas Mono tampak mubazir—tiga perempat anggaran digunakan untuk pembangunan dapur dan menyiapkan peralatannya, Pak Kades lebih menyukai rencana yang diajukan kerabat dekatnya itu.

Seolah-olah sudah berpengalaman dalam mengurus proyek, Mas Mono resmi masuk dapur dan menanggalkan sejenak tugas utamanya sebagai satuan pengamanan dan pengawas ketertiban masyarakat. Enam anggota keamanan lain turut menjalankan tugas sebagai pelaksana penyediaan makan warga terdampak musibah.

Lelaki berseragam yang terbiasa memegang pentungan itu tiba-tiba harus sigap menyiapkan menu dan melakukan pendistribusian makanan.  Akibatnya, keamanan kampung terancam.

Beberapa pencuri yang mengintai ternak warga menjadi leluasa karena tidak ada lagi patroli keamanan yang biasanya dilakukan secara berkala. Pintu masuk kampung juga lengang tanpa penjagaan. Para penjaga keamanan sibuk di dapur.

Meski kericuhan pembagian makanan di pekan kedua menelan korban luka-luka, tidak ada seorang pun yang berani buka suara. Beberapa warga yang cukup kritis hanya bisa berbisik-bisik di tengah ladang atau di sungai-sungai sepi yang jauh dari permukiman.

Kaki-kaki warga dipasung selembar kertas bernama KIPAS (Kartu Identitas Penerima Anggaran Sosial) yang dikeluarkan pemerintah provinsi atas usulan Kepala Desa. Tentu saja, Pak Kades tidak akan lagi mau mengajukan nama mereka jika mereka nekat melaporkan kejadian di Desa Tamaju-maju.

Kericuhan demi kericuhan terjadi, Mas Mono dan anggotanya tetap melenggang di dapur. Pak Kades bahkan berniat menunjuk Mas Mono lagi untuk mengerjakan proyek perbaikan jembatan dan jalan yang perencanaan dan penganggarannya sudah digagas pemerintah kabupaten. Sementara, untuk keamanan kampung, Pak Kades meminta warga menggalakkan kembali kegiatan ronda demi terwujudnya partisipasi, gotong royong, dan kebersamaan. ***

.

.

Jembrana, 28 Januari 2025

Puspa Seruni, penulis terpilih sebagai Emerging Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2022 dan saat ini berdomisili di Bali. Buku terbarunya Sukma Sunarmi menjadi finalis Hadiah Sastra Rasa ke-3.

.
.
Mas Mono Masuk Dapur. Mas Mono Masuk Dapur. Mas Mono Masuk Dapur. Mas Mono Masuk Dapur. Mas Mono Masuk Dapur.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!