Cerpen Damhuri Muhammad (Koran Tempo, 05 April 2025)
IA tidak bisa langsung membangunkan suaminya, ketika laki-laki renta itu mulai mengeluarkan lenguhan-lenguhan ganjil yang tersimak seperti suara dari tenggorokan tercekik. Sebagaimana pesan Amran bertahun-tahun silam, jika berada dalam situasi genting itu, Nurma seharusnya dapat menahan diri sampai Amran betul-betul sanggup melisankan kalimat yang terang dan dapat dimengerti, seperti “Saya mohon, jangan sakiti saya!” atau “Jangan tembak saya, kasihanilah saya!”
Namun, kadang-kadang Nurma tidak tega melihat suaminya tersiksa oleh serangan mimpi buruk, yang membuat ia hanya dapat melenguh-lenguh seperti orang bisu yang sedang terdorong oleh keinginan untuk berkata-kata—tapi pangkal lidahnya bagai terkunci, pita suaranya bagai terjepit. Lalu, Nurma melepaskan sebuah tendangan cepat yang bersarang di area pinggang suaminya. Cara kasar itu ia tempuh bukan dalam rencana untuk menyakiti, melainkan sebagai taktik jitu guna membebaskan Amran dari mimpi buruk sekaligus untuk menjauhkan dirinya dari bahaya.
Bahaya? Jika tanpa pertimbangan keselamatan, gerak refleks Amran bisa memberikan respons yang agresif, sebagaimana dalam pengalaman mimpi buruk yang dialaminya beberapa bulan lalu. Amran meninju wajah istrinya dengan kecepatan menyerupai gerakan sebuah jurus Kung Fu yang lazim mereka saksikan di layar televisi. Akibatnya, muncul sebuah lebam di bawah mata kiri Nurma.
“Aku sedang berhadapan dengan kawanan bajak laut yang hendak merampas isi kapal kami,” kata Amran beberapa saat setelah terbangun.
“Maafkan aku, telah membuat lebam di wajahmu. Lain kali, kau tidak perlu repot-repot membangunkanku. Aku pasti bisa mengalahkan mereka,” lanjut suaminya sambil mengompres memar pipi Nurma dengan sentuhan yang masih terasa gemetar. Seperti biasa, setelah puluhan tahun mereka menikah, belaian lembut tangan Amran di pipi Nurma hanya dapat berlangsung ketika istrinya cedera, akibat dari usahanya menghentikan mimpi-mimpi buruk Amran.
“Jika tak segera ditolong, pertarungan tak imbang itu akan menguras tenagamu, Amran. Kau akan butuh waktu berhari-hari untuk memulihkannya,” ungkap Nurma, dalam nada cemas.
“Kalau begitu, bangunkan aku dalam jarak aman. Bila perlu, sambung tanganmu dengan tangkai sapu!”
***
DALAM peristiwa mimpi buruk terkini, Amran memang tidak memberikan respons dengan bahasa kekerasan. Tapi, ketika ia tiba-tiba terbangun lantaran tendangan Nurma, ia sangat jengkel. Amran sampai mengingatkan, jika Nurma membangunkannya sebelum ia mampu mengucapkan beberapa kalimat dengan artikulasi yang bisa dimengerti, itu dapat berakibat fatal. Mimpi buruk yang membuat ia melenguh-lenguh kesakitan seperti sapi baru disembelih itu benar-benar dapat merusak pita suaranya.
“Apa kau punya rencana membuat aku jadi orang bisu?” tanya Amran, kesal.
Nurma tidak berusaha membela diri. Alih-alih menyangkal tudingan suaminya, ia malah segera mengakui kesalahannya, lalu membayangkan betapa membosankannya hidup di usia senja mereka jika Amran benar-benar menderita cacat pita suara. Tanpa suara Amran, ia akan kehilangan kisah-kisah heroik dari peristiwa-peristiwa mimpi buruk suaminya. Cerita tentang pertarungan Amran melawan harimau Sumatera yang ia klaim sebagai roh leluhurnya, kisah pertarungan Amran saat melumpuhkan ular raksasa di kedalaman rimba yang hendak memangsa seorang pemburu rusa, kisah pelarian Amran dari penjara bawah tanah yang dijaga ketat oleh gerombolan prajurit berkepala lembu, dan tentu perlawanan habis-habisan Amran saat menumbangkan para pendekar dunia hitam yang mengaku sebagai utusan malaikat maut.
Tapi, untuk berjaga-jaga dari segala kemungkinan terburuk, Nurma telah menukilkan rupa-rupa kisah itu dalam buku hariannya, termasuk strategi-strategi ampuh yang pernah ia gunakan guna meredam kejengkelan Amran kepada dirinya lantaran suaminya terbangun dengan cara tidak normal.
“Daripada terus-menerus membangunkanmu dalam situasi melenguh-lenguh dan sekujur tubuh mandi peluh, dapatkah kau mengundangku ke dalam mimpi-mimpi burukmu itu?” kata Nurma pada kejadian mimpi buruk suaminya yang entah kali ke berapa.
“Setidaknya, saat menghadapi lawan-lawanmu, kau tidak sendirian. Ada aku di sampingmu. Kau berkenan, Amran?”
“Itu sangat mungkin dilakukan, tapi aku tidak yakin kau sanggup memenuhi syaratnya,” balas Amran.
“Katakan, Amran!”
“Kita harus berada di tempat tidur yang terpisah!”
“Maksudmu di kamar terpisah, tapi tetap di rumah yang sama, bukan?”
“Tidak, Nurma! Kita harus berpisah. Kau harus rela kita mengakhiri kebersamaan kita. Kita mesti pindah ke kediaman sendiri-sendiri. Jangan dipaksakan, bila kau tak sanggup.”
“Begini, Amran. Bukankah mimpi lebih mudah disalurkan jika dua orang tidur dalam posisi saling bersentuhan di atas dipan yang sama?”
“Kau pikir mimpi buruk dapat dialirkan seperti berbagi air dengan selang?”
Cukup lama perempuan itu menimbang-nimbang syarat yang tak masuk akal itu. Tapi, demi menyelamatkan suaminya dari siksa mimpi buruk, Nurma akhirnya mengikhlaskan perpisahan dengan Amran, tepat di usia mereka yang sama-sama hampir genap 79 tahun. Nurma dan Amran kemudian menghubungi Liana, putri mereka yang sejak menikah belasan tahun lalu tinggal di kota yang jauh. Sebelumnya Nurma juga telah menyurati Andreas, si sulung yang sudah lama berdinas di wilayah tapal batas Indonesia-Timor Leste.
“Jangan berpikiran aneh-aneh, Ma. Bagaimana mungkin kami membiarkan Papa dan Mama tinggal di panti wreda berbeda? Kami masih bisa mendatangkan suster ke rumah untuk mengurus segala keperluan,” kata Liana dalam pembicaraan via telepon.
“Kau tidak akan mengerti, Nak! Ini permintaan kami. Ikuti saja. Abangmu juga sudah setuju.”
***
MAKA, terjadilah perpisahan itu. Liana dan Andreas tidak bisa menolak. Upaya Liana menemukan dua panti wreda dalam waktu bersamaan telah membuahkan hasil. Penghuni baru atas nama Amran Palar ditempatkan di sebuah panti wreda di Malang. Sementara mamanya, penghuni atas nama Nurma Djamal, ditempatkan di Ungaran, Semarang. Persyaratan untuk berbagi mimpi buruk telah terpenuhi.
Setidaknya, tiga kali dalam sepekan, Amran berhasil mengundang Nurma dalam mimpi buruknya. Keduanya bahu-membahu, berjuang mengalahkan makhluk-makhluk beringas yang muncul dalam mimpi-mimpi buruk mereka. Dari gerombolan bajak laut yang menginginkan harta benda dalam pelayaran mereka, sekelompok preman bertato kalajengking yang mengepung mereka dalam perjalanan pulang setelah mengambil uang pensiun di kantor pos, termasuk aparat bersenjata lengkap yang hendak mengeksekusi rumah kediaman masa tua mereka setelah kalah beperkara di pengadilan.
Dalam aksi-aksi heroik itu, Amran seperti memperoleh kekuatan baru dari Nurma, yang setia berdiri kokoh di belakangnya. Tatkala Amran terdesak, Nurma tak segan-segan pasang badan, meladeni musuh dengan jurus-jurus mematikan yang entah ia pelajari dari mana. Jika musuh Amran teramat tangguh, ia sigap menyambar tubuh suaminya untuk dilarikan dengan ajian meringankan tubuh tingkat tujuh, hingga Amran lolos dari maut.
Dalam kesendirian di panti wredanya, Nurma, yang dulu sebagai juru tulis kisah-kisah heroik, kini telah berubah menjadi pelaku adegan dalam mimpi-mimpi buruk suami tersayangnya. Berdasarkan data statistik—sebagai pengganti buku catatan mimpi buruk saat mereka masih tinggal bersama—alih-alih meraih kemenangan, mereka tetap tercatat lebih sering kalah.
Meski Nurma riang dan bersemangat saat berjumpa dengan Amran dalam serial mimpi buruk mereka, perempuan tua itu sering memikirkan, apakah saat tertidur di panti wredanya di sana, Amran masih melenguh-lenguh seperti orang kesakitan? Jika derita itu masih ditanggung suaminya, apakah masih ada yang berkenan membangunkannya?
Nurma tak bisa memastikan jawabannya. Lebih tepatnya, ia tidak tahu kepada siapa mesti bertanya. Yang ia tahu kini hanyalah bahwa undangan untuk hadir dalam mimpi-mimpi buruk Amran masih akan terus datang, dan ia senantiasa menyiapkan tenaga tuanya guna menyelamatkan suaminya. Perlawanan akan terus mereka nyalakan, meski nyawa mereka sebagai taruhannya.
Pada sebuah petang menjelang keberangkatan kakak-beradik Liana dan Andreas menjenguk Papa-Mama mereka ke Jawa, keduanya sama-sama menerima kabar duka, bahwa telah meninggal dengan tenang dan husnul khotimah, penghuni atas nama Amran Palar dan penghuni atas nama Nurma Djamal. Dua kabar yang tiba pada hari yang sama, dari dua panti wreda dengan alamat yang berbeda. ***
.
.
Tanah Baru, 2024
Damhuri Muhammad. Managing Editor Porch Literary Magazine dan mantan Ketua Komite Penjurian Kusala Sastra Khatulistiwa.
.
.
Kolektor Mimpi Buruk. Kolektor Mimpi Buruk. Kolektor Mimpi Buruk. Kolektor Mimpi Buruk. Kolektor Mimpi Buruk. Kolektor Mimpi Buruk.
Leave a Reply