Cerpen, Koran Tempo, Wendoko

Lot 23

Lot 23 - Cerpen Wendoko

Lot 23 ilustrasi Alvin Siregar/Koran Tempo

1
(1)

Cerpen Wendoko (Koran Tempo, 15 Maret 2025)

BEGITU melewati pintu masuk mal, lelaki itu mencium bau tidak sedap—seperti bau apak, lembap, atau entah apa istilahnya. Bau itu seperti udara dalam kamar yang lama tidak dibuka.

Beberapa meter dari pintu masuk, lelaki itu melihat kotak-kotak kayu dan rak pajangan di area yang disebut hall. Kotak-kotak kayu dan rak-rak itu kosong, sama seperti dua bulan yang lalu—ketika dia datang setelah mal ini tutup hampir sembilan bulan. Beberapa rak bahkan ditutup terpal plastik. Biasanya toserba di lantai satu, atau pasar swalayan di lantai dasar, yang kerap memanfaatkan hall itu.

Lalu lelaki itu melewati kios-kios yang hampir seluruhnya kosong. Hanya kios ponsel di sudut kanan dan kios roti di sisi kiri yang tampak masih buka. Kaca fasad di beberapa kios tertutup lembaran-lembaran kertas, sebagian robek-robek. Di pintu kaca beberapa kios tertempel tulisan “DIJUAL/DISEWAKAN”. Semua kios yang tutup itu gelap. Lampu-lampu di hall hanya sebagian menyala dan pendingin ruangan tampaknya tidak dihidupkan.

Setelah beberapa langkah, lelaki itu tiba di depan eskalator. Seperti dua bulan yang lalu, hanya eskalator naik yang bisa dipakai.

Lelaki itu tiba di lantai satu. Dia mulai merasakan pendingin ruangan. Lantai satu adalah area pujasera, ditambah beberapa kios. Sejauh yang bisa dilihatnya dari eskalator, tak satu pun kios yang tampak buka, sementara hanya empat konter di area pujasera yang lampunya menyala. Di sebelah kiri ada hall yang lebih lapang dan biasa diisi oleh pedagang-pedagang pakaian yang menempati petak-petak. Tetapi siang ini tak satu pun yang menjajakan dagangannya.

Lampu-lampu di lantai satu juga hanya sebagian yang menyala. Beberapa pengunjung berlalu-lalang di lantai itu. Lebih baik, batin lelaki itu, karena—sejak dia masuk ke mal dan sekarang tiba di lantai satu—dia hanya bersua petugas sekuriti di lantai dasar.

Lelaki itu berbelok ke kiri dan melewati deretan rak-rak kosong. Lalu dia melihat salon itu—salon di sudut kiri hall dan tepat di samping akses ke gedung parkir. Salon itu tidak punya nama. Hanya disebut Lot 23, mengikuti nomor kios yang tertempel di kaca fasad.

Begitu dia mendekat, seorang perempuan muda keluar dari balik pintu kaca.

“Hei, Kakak! Mau potong?”

“Ya.” Dia mengamati tubuh perempuan muda itu sekilas.

“Keramas dulu, ya.”

Lelaki itu masuk ke Lot 23. Tidak ada pelanggan atau tamu lain di dalam. Hanya seorang perempuan yang memandangi ponsel di sofa dekat meja kasir dan perempuan lain yang sejak tadi duduk di samping pintu kaca.

Lelaki itu lalu setengah rebah di kursi keramas yang menyatu dengan bak cuci.

“Air dingin atau air hangat, Kakak?”

“Hei, kau yang mengeramas, Ci-E?”

“Ya. Sekarang karyawan kami tinggal dua.”

“…Air dingin.”

Lelaki itu memejamkan mata. Dia diam, meresapi tiap guyuran air dingin di pori-pori kepalanya. Lalu gosokan atau garukan jari-jari tangan perempuan itu. Lot 23 juga berbau apak atau lembap, bercampur aroma pencuci rambut.

Baca juga  Sindikat Peminjam Uang

Beberapa menit kemudian, duduk di depan cermin dan setelah perempuan itu mengancingkan kain kep di lehernya, sekali lagi dia mengamati tubuh perempuan itu.

“Berapa bulan, Ci-E?”

“Hmm…. Mungkin sudah dua bulan sejak Kakak kemari.”

“Bukan, maksudku….”

Dia menggerakkan dagunya. Perempuan itu memandang ke arah cermin. Mata mereka bertemu.

“Ooo…. Tujuh bulan.”

“Tujuh bulan? Berarti waktu aku kemari dua bulan lalu, umur kandunganmu lima bulan?”

“Ya. Tapi tidak kelihatan. Banyak pelanggan juga tidak tahu. Mereka hanya bilang kalau aku lebih gemuk.”

Perempuan itu menyentuh rambut di kedua sisi telinganya.

“Dipotong seperti biasa, Kakak?”

“Ya….”

Lelaki itu kembali memejamkan mata. Mungkin, sepanjang yang dia ingat—sejak dia mulai datang ke Lot 23—baru kali ini dia memejamkan mata ketika perempuan itu sedang mencukur. Dia biasa mengamati tangan perempuan itu bergerak-gerak di rambutnya. Sesekali pandangan mereka bertemu di cermin, dan perempuan itu tersenyum. Siang ini dia mengingat tujuh tahun yang lalu, waktu dia datang pertama kali ke Lot 23. Pada kunjungan pertama, bukan perempuan itu yang mencukur. Dia bertemu perempuan itu, dan perempuan itu memintanya duduk di dekat meja kasir. Mungkin baru pada kunjungan ketiga, dan sejak itu dia selalu meminta perempuan itu yang mencukur rambutnya.

Lelaki itu berpikir, berapa umur perempuan itu? Dia tak pernah tahu, dan tak pernah bertanya. Kurang lebih satu tahun lalu, dia mendengar seorang pelanggan berkata perempuan itu berumur 50 tahun dan si pelanggan 21 tahun. Perempuan itu tertawa. Tentu dia tahu si pelanggan sedang berolok-olok, karena jelas-jelas si pelanggan kelihatan lebih tua. Tetapi, jika si pelanggan berolok-olok dan berkata sebaliknya, berarti setahun lalu perempuan itu berumur 21 tahun. Sekarang 22 tahun, dan tujuh tahun lalu perempuan itu berumur 15 tahun. Rasanya itu juga tak mungkin.

Hari ini, seperti juga hari-hari sebelumnya, dia memilih tetap tak menanyakan umur perempuan itu.

Setelah beberapa saat, lelaki itu membuka mata dan memandang ke cermin. Mata mereka bertemu dan perempuan itu tersenyum, sambil menggunting tipis-tipis rambut atas kepalanya. Seorang perempuan muda bertubuh kecil. Wajahnya kecil. Hidungnya juga kecil dan bibir agak tipis. Perempuan itu bermata agak sipit dan berkulit putih. Dia punya pinggang yang ramping, dada tak menonjol, dan tungkainya jenjang.

Perempuan itu tampak menarik ketika memakai kaus dan celana jins. Tapi siang ini dia mengenakan pakaian yang longgar, dengan perut membuncit.

Lalu lelaki itu sadar, tak ada suara musik di Lot 23. Dia tidak ingat, kapan dia tak mendengar suara musik di Lot 23. Lewat sudut-sudut matanya, dia mengamati seisi Lot 23. Langit-langit berwarna putih itu sudah kusam dan beberapa bagian retak, sejak setahun yang lalu. Kertas pelapis dinding warna cokelat itu sama seperti sekitar dua tahun yang lalu. Cahaya yang menyeruak dari belakang cermin—seperti cermin di depannya—tidak rata. Mungkin beberapa lampu harus diganti. Poster-poster dalam pigura di dinding tak berubah, sama seperti sekian tahun lalu. Televisi yang menggantung di atas meja kasir sejak tadi dimatikan. Semua lampu di Lot 23 menyala, tapi sejak dulu Lot 23 memang tak pernah benar-benar terang.

Baca juga  Operasi Babi Merah dan Dendam Pembunuhan

Dari tempatnya, dia melihat hall yang lebih gelap di luar Lot 23.

“Agak sepi hari ini, Ci-E?”

Enam meja lain, yang menyatu dengan cermin itu, kosong dan sejak tadi tak ada pelanggan yang masuk.

“Ya. Sudah sejak dua bulan lalu. Ketika mal ini dibuka kembali, jadi tiga bulan yang lalu, pengunjung membeludak. Kami sampai kewalahan. Tapi hanya sekitar satu minggu. Setelah itu, dari hari ke hari, pengunjung menyusut. Sudah satu minggu penerangan di lantai ini dimatikan sebagian dan pendingin ruangan hanya sebagian menyala.”

Lelaki itu sudah menduga sejak dia melewati pintu masuk di lantai dasar, saat menaiki eskalator, dan menyusuri deretan rak-rak kosong di hall lantai satu sampai ke Lot 23. Dua bulan yang lalu juga banyak kios yang tidak buka, pengunjung hanya sedikit, tapi kondisinya tidak sama dengan siang ini.

Lalu dia melewatkan ‘ritual’ pangkas rambut siang ini dalam diam. Lelaki itu tidak ingat, kapan terakhir kali dia lebih banyak diam ketika perempuan itu sedang mencukur. Tetapi yang dia ingat, dia memang lebih sering hanya diam. Beberapa kali pandangannya bertemu mata perempuan itu di cermin. Selebihnya mereka tidak bercakap-cakap.

Creambath, Kakak?”

“Tidak sekarang. Aku akan balik beberapa hari lagi.”

“Baik, Kakak.”

Perempuan itu menyeberang ke lemari kosmetik, mengambil cermin bundar dari troli, lalu memegangnya di belakang kepala lelaki itu.

“Cukup, Kakak?”

Lelaki itu mengangguk.

“Dikeramas lagi?”

“Tidak. Disiram saja.”

Selesai dari bak cuci, lelaki itu tak meminta hair tonic tapi rambutnya langsung dikeringkan. Setengah basah. Lalu dia membayar di meja kasir dan menyisipkan tip untuk perempuan itu.

“Terima kasih, Kakak! Sengaja kupotong lebih pendek. Jadi Kakak bisa kemari setelah dua bulan.”

Lelaki itu mengangguk. Dia mengucapkan terima kasih dalam suara rendah. Mungkin suaranya terlalu rendah dan perempuan itu tak mendengar. Dia sendiri hanya menangkap suara berdeham, sementara bibirnya bergerak.

Di depan pintu kaca, dia sadar perempuan yang tadi memandangi ponsel di sofa dan perempuan yang duduk di samping pintu kaca sudah tidak kelihatan.

Lelaki itu keluar dari Lot 23. Dia melewati lagi hall yang tak cukup terang dan deretan rak-rak kosong itu. Sudah tidak ada pengunjung di lantai satu. Di depan eskalator, langkahnya terhenti. Tiba-tiba lelaki itu ingin naik ke lantai dua dan lantai tiga. Dia ingin tahu seperti apa kedua lantai itu. Dua bulan yang lalu, dibandingkan lantai dasar dan lantai satu, lebih sedikit kios yang buka di lantai dua, padahal di lantai itu ada toserba yang selalu memajang barang dagangan sampai ke hall. Lantai tiga lebih parah. Lantai itu adalah pusat komputer dan ponsel. Dua bulan lalu, hanya dua kios komputer dan tiga kios ponsel yang buka. Kios-kios lain kosong, gelap, dan di kaca fasad tertempel tulisan “DIJUAL/DISEWAKAN” atau tertutup lembaran-lembaran kertas.

Baca juga  SANATORIUM

Tetapi lelaki itu memilih menuruni eskalator ke lantai dasar. Sebetulnya jauh sebelum mal ini ditutup—kabarnya karena tersangkut perizinan—mal ini sudah sepi pengunjung. Tepatnya sekitar empat tahun yang lalu. Ketika itu satu per satu kios tutup. Sempat berganti pemilik atau penyewa, tapi dengan berjalannya waktu, makin banyak kios yang tutup. Dulu, lima belas tahun lalu, ada area bermain untuk anak-anak di samping pujasera. Hampir tiap minggu anaknya bermain di sana. Lalu area itu tutup dan diubah untuk memperluas pujasera. Dulu ada toko elektronik besar dan toko buku dengan jaringan luas di lantai dua. Keduanya sudah lama tutup. Setelah itu mal ini seperti turun kelas.

Sebelum mal ini ditutup—jadi sebelas bulan yang lalu—ada bioskop di lantai tiga. Dua bulan lalu, bioskop itu belum aktif. Entah seperti apa kondisinya sekarang.

Lelaki itu sampai di lantai dasar. Dia menengok ke kanan. Deretan kios di sisi itu hampir seluruhnya kosong atau tutup, kecuali apotek di ujung dan sebuah restoran di samping kiri. Dulu ada pasar swalayan besar di sisi itu. Lelaki itu dan istrinya kerap berbelanja di sana. Lalu, beberapa bulan sebelum mal ini ditutup, pasar swalayan itu berhenti beroperasi. Kabarnya, pindah ke lokasi lain.

Lelaki itu teringat, lima belas tahun lalu mal ini sangat ramai—terutama waktu akhir pekan. Tidak ada kios yang kosong, dan petak-petak di area hall tiap lantai seluruhnya terisi. Ada live music di pujasera. Kadang ada rupa-rupa pameran di hall lantai dasar. Gedung parkir selalu penuh, sampai-sampai mobil membeludak ke kompleks ruko yang satu lahan dengan mal ini. Jalan utama di depan mal juga kerap macet.

Sejak tiga tahun yang lalu, mal ini mulai kurang terawat. Dan sejak tiga tahun lalu, lelaki itu mulai enggan datang ke mal ini. Kalau sampai hari ini dia mau singgah, itu karena Lot 23. Tetapi, setelah hari ini, lelaki itu berpikir, apakah dia masih perlu singgah?

Hari ini dia berumur 52 tahun. ***

.

.

Wendoko. Menulis puisi dan cerita. Tulisan-tulisannya tersiar di sejumlah media massa.

.
.
Lot 23. Lot 23. Lot 23. Lot 23. Lot 23.

Loading

Average rating 1 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!