Cerpen Ilham Wahyudi (Koran Tempo, 08 Maret 2025)
1. Sarapan Pertama di Delhi
Tiba di Delhi, aku yang tak memiliki seorang pun kenalan, akhirnya mau tidak mau tidur di Terminal Kendriya. Pagi hari sekitar pukul 7, aku terbangun. Aku rasakan cacing dalam perutku berdemonstrasi. Pantaslah, aku memang hanya makan sesaat sebelum berangkat ke Delhi, dan sejak sampai tengah malam tadi aku sama sekali belum memasukkan apa-apa ke dalam perutku. Dan sialnya, uang yang susah payah aku kumpulkan senyata hanya cukup untuk membeli tiket bus ke Delhi. Namun, cacing dalam perutku mana mau tahu aku ada uang atau tidak. Maka, tak ada jalan lain selain sesegera mungkin menemukan makanan-makanan yang tersisa atau sengaja dibuang orang di terminal ini. Sungguh, tak kuasa lagi aku menahan aksi demonstrasi dalam perutku ini.
Syukurlah, usahaku tidak sia-sia: setelah mengaduk-aduk tong sampah, aku menemukan potongan roti yang lumayan besar. Tanpa pikir panjang aku sedekahkan roti itu pada cacing-cacing dalam perutku. Namun ketika roti nyaris habis, aku julurkan ke tenggorokan, seseorang melintas dan meludah di depanku. Hmm, dilempar batu dan dipukul tanpa tahu apa salahku sudah sering aku alami. Jadi kalau hanya hinaan semacam itu aku tentu sudah kebal. Lagi pula untuk apa juga aku harus marah, yang penting saat ini bagaimana selanjutnya; bagaimana dengan makan siang dan makan malamku kalau sepeser pun uang aku tak punya.
2. Permata yang Berkilauan
Namaku Sukhraj Kumar. Keluargaku berasal dari sebuah desa terpencil dan miskin di negara bagian Uttarakhand, India Utara. Aku juga terlahir dari rahim seorang wanita dengan kasta terendah di negeriku. Saking rendahnya, bayanganku pun tak boleh terkena oleh mereka yang berkasta tinggi. Bila itu terjadi, mereka yang berkasta tinggi mestilah melakukan sebuah ritual pembersihan atau pencucian diri. Oleh sebab itu, aku dan keluargaku acap diperlakukan dengan tidak adil, pun sering pula dipaksa untuk mengerjakan pekerjaan yang bagi kebanyakan orang tidak pantas dikerjakan.
Sebelum aku lahir, ibuku sering bermimpi menggenggam permata yang berkilauan. Tidak sedikit orang yang ingin merampas permata itu dari tangan ibuku. Namun, semua gagal. Mimpi itu pernah diceritakan ibuku, tapi aku dan ibuku sungguh tak tahu apa arti mimpi itu.
Pada usia delapan tahun, aku terpaksa turut serta mengembangkan layar kehidupan keluargaku yang nyaris karam. Aku pun mengikuti jejak ayah dan ibuku sebagai pemulung kotoran. Pemulung kotoran? Ya, dan itu bukanlah kotoran sapi atau anjing, melainkan kotoran manusia. Setiap hari kotoran itu aku kumpulkan secara manual tanpa proteksi apa pun untuk melindungi kesehatanku.
Bekerja sebagai pemulung kotoran serta terlahir dari kasta paling rendah di negeriku (padahal negaraku sudah pesat mengalami kemajuan dalam bidang ekonomi, sosial, dan teknologi), membuatku sering pula mendapatkan perlakuan diskriminatif atau penghinaan. Bahkan tak sekali-dua kali aku dilempari dengan batu. Namun, meski hidup amatlah sulit, aku terus berusaha menjaga api harapan dalam jiwaku—semata agar kelak aku dapat mengubah kemiskinan yang terlampau lekat di badanku.
Ketika Piala Dunia pertama kali diadakan di Benua Afrika, aku yang berusia lima tahun harus menerima takdir menjadi anak yatim. Asma dan malaria adalah biang kerok kematian ayahku. Sejak itu, ibuku yang berjuang membesarkanku: Si Permata Berkilauan. Beruntung ibuku hanya memilikiku. Bayangkan kalau ibuku memiliki 3 atau 4 orang anak serupaku, mungkin ibuku tak perlu berlama-lama menghitung tahun demi menyusul ayahku ke surga.
3. Menjadi Pembuat Sketsa
Sebuah ide begitu saja melintas dalam pikiranku. Ya, apa salahnya kalau buku gambar dan pensil warna itu aku jadikan senjata untuk menyambung hidup. Oleh sebab itu, aku mestilah terlebih dahulu mencari lokasi yang tepat untuk menjalankan ide tersebut.
Di depan sebuah coffee shop yang tak jauh dari Terminal Kendriya, aku berdiri memperhatikan keadaan. Aku lihat banyak orang berpakaian modis keluar-masuk ke sebuah coffee shop. Tanpa banyak pikir, aku putuskan duduk bersila tak jauh dari pintu masuk coffee shop itu, lalu kemudian dengan sedikit berteriak aku tawarkan jasaku. “Berikan aku 50 rupee! Aku akan memberikan kamu sebuah gambar wajah yang bagus!”
Sejak itu, aku pun menjadi pembuat sketsa. Utamanya sketsa wajah orang. Beruntungnya, pemilik coffee shop tidak pernah mengusirku dari tempat itu. Malah suatu hari (sebulan setelah aku membuat sketsa) pemiliknya memberikan aku dua buah kursi kecil—satu untukku dan satu lagi untuk pengguna jasaku, katanya: sejak kamu membuka lapak, pengunjung coffee shop saya makin bertambah-tambah ramainya. Dia tampak semringah ketika menceritakannya kepadaku. Menyaksikan kenyataan itu, aku makin bersemangat membuat sketsa. Aku pikir, dengan membuat sketsa, aku dapat sedikit mengalihkan rasa tak sabarku menunggu orang yang diceritakan nenek Geeta.
4. Keputusan Besar
Memasuki usia 18 tahun, muncrat keinginan dalam diriku untuk membuktikan ramalan nenek Geeta. Aku pun memberanikan diri angkat kaki dari kampung halamanku. Berbekal restu dari ibuku, aku putuskan pergi ke Delhi demi mengubah nasib serta menyaksikan ramalan nenek Geeta bekerja. Lagi pula, bagaimana ramalan itu akan bekerja dengan baik kalau aku tetap tinggal di kampungku yang terpencil, miskin, dan diskriminatif. Apa yang bisa aku lakukan selain mengumpulkan kotoran dan mendapatkan hinaan terus-menerus? Bukankah nasib baik layak diperjuangkan?
Selesai membungkus beberapa pakaian yang layak pakai, aku berangkat menuju Delhi dengan sebuah bus berukuran sedang. Waktu tempuh menuju Delhi—seperti yang pernah aku dengar—adalah 12 jam perjalanan darat.
5. Terkenang Ibu
Tiba-tiba aku teringat kembali ramalan nenek Geeta. Bukan tidak mungkin, kan, aku menemukan orang yang nenek Geeta maksud itu di Terminal Kendriya. Maka, aku pun mulai memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Mana tahu aku dapat langsung bertemu dengannya dan hidupku mendadak berubah.
Aku mulai khusyuk memperhatikan orang-orang di terminal. Tak lama kemudian, aku melihat seorang ibu dan anaknya sedang terburu-buru menaiki sebuah bus. Saking buru-burunya, anak ibu itu tak sengaja melepaskan buku gambar dan alat mewarnai yang dipeluknya. Spontan aku ingin mengembalikannya. Namun, saat buku berhasil aku ambil, bus yang membawa ibu dan anak itu sudah melaju.
Jujur aku sedih membayangkan anak itu sekiranya harus menanggung repet ibunya. Aku ingat betul, dulu ibuku pun pernah marah kepadaku ketika aku menghilangkan buku gambar dan pensil warna pemberiannya. Buku dan pensil warna itu didapatkan ibuku sepulang bekerja membersihkan kotoran.
“Ibu tak punya uang untuk membelikan kamu mainan sebagai hiburan. Sekarang enak saja kamu hilangkan buku dan pensil itu. Pergi sana, cari sampai ketemu!” kata ibuku dengan mata yang tampak mau melompat. Nasib baik, buku dan pensil itu ketemu. Sejak itu, aku jadi benar-benar rajin menggambar. Wajah ibukulah manusia pertama yang berhasil aku gambar.
“Wah, bagus sekali. Belajarlah terus Sukhraj, suatu saat keahlian itu yang akan mengubah nasibmu!”
6. Akhirnya Hari Itu Tiba
Setelah dua tahun membuat sketsa (sambil terus mencari dan menunggu), orang yang diceritakan nenek Geeta dalam ramalan belum juga muncul. Aku pun mulai tak sabar dan berpikir, apakah ramalan itu keliru? Oh, nenek Geeta mengapa kau menipuku? Seharusnya aku tidak begitu saja percaya pada ramalan itu! Tetapi nasi telah menjadi bubur. Aku pikir tak ada gunanya juga menyesal. Lebih baik aku fokus pada jalan hidupku saat ini. Bukankah kalau nenek Geeta dulu tak meramalku, mungkin saat ini aku sedang menerima hinaan dan ketidakadilan di kampung halamanku?
“Aku ingin kau membuat sketsa wajah kekasihku! Ini fotonya!” Seorang lelaki mengagetkanku. “Tapi aku ingin wajahnya dan wajahku bersanding dalam sketsamu. Berapakah biayanya?” katanya. “Sama saja. Hari ini aku sedang berbaik hati,” jawabku.
Tanpa bertele-tele aku buat sketsa wajah wanita dalam foto dan wajah lelaki itu. Ketika hampir selesai, seorang wanita asing tiba-tiba berdiri di depanku dan berkata, “Aku juga ingin dibuatkan sketsa. Setelah ini giliranku, bukan?” kata wanita itu dengan bahasa Inggris yang fasih. Mendadak jantungku berdebar kencang. Sungguh ini debar yang tak biasa—padahal aku belum melihat wajah wanita itu. Ada apa dengan jantungku? Apa mungkin dia wanita yang nenek Geeta katakan? Penasaran, aku letakkan sketsa yang sedang aku kerjakan, lalu menatap wajah wanita itu.
Aku terpana. Sepertinya belum pernah aku seterpana ini melihat seorang wanita. Jantungku pun terasa makin tak karuan bekerja memompa darah. Wanita itu memiliki mata yang sangat biru dan rambutnya panjang berwarna pirang. Tidak mungkin! Nenek Geeta pastilah keliru. Mana mungkin wanita secantik itu akan menjadi istriku, kata batinku. Tidak kuasa menanggung reaksi jantungku; tanganku pula yang ikutan bergetar. Melihat tanganku, wanita itu bertanya, “Kamu oke?” Buru-buru aku mengangguk kalau aku baik-baik saja. Kemudian dengan sekuat tenaga dan fokus yang telah pergi entah ke mana, aku berusaha sesegera mungkin menyelesaikan sketsa pesanan lelaki tadi.
Setelah sketsa selesai dan urusan pembayaran tuntas, aku membuka obrolan dengan wanita asing itu. “Maaf, Nona, sebelum saya membuat sketsa, boleh saya bertanya beberapa hal?” tanyaku dengan bahasa Inggris yang terbata-bata. “Ya, silakan. Tapi boleh saya duduk di kursi itu?” jawab wanita itu seraya tersenyum dan menunjuk kursi pendek di sampingku.
“Tentu saja,” jawabku.
“Tanyalah, apa yang ingin kamu tanyakan!” katanya setelah sempurna duduk di hadapanku.
Mendadak bibirku kelu. Aku bingung harus bagaimana memulainya. Oleh sebab itu, aku pun menjadi terbata-bata bertanya.
“Apakah… Nona… berasal dari tanah… yang jauh?”
“Ya, aku datang dari Swedia.”
“Apakah… Nona bisa memainkan seruling?”
“Ya, aku bisa memainkan seruling. Bahkan aku juga mahir memainkan piano.”
Gila! Sudah dua pertanyaan dan jawabannya sama seperti ramalan nenek Geeta. Tidak! Pasti pertanyaan ketiga jawabannya salah.
“Apakah…mungkin…Nona memiliki sebuah hutan?”
“Ya, aku memiliki sebuah hutan,” jawab wanita itu sambil tertawa. Mungkin dia heran dengan pertanyaan-pertanyaanku.
Baiklah nenek Geeta. Aku coba sekali lagi. Namun, sungguh, sungguh tidak mungkin dia adalah calon istriku, batinku lagi.
“Apa… bintang kelahiran… Nona?”
Wanita itu terkejut dengan pertanyaan terakhirku. Dalam keterkejutan itu aku menyaksikan sebuah kilatan di mata wanita itu. Apakah itu sebuah isyarat? Sedikit gugup, wanita itu menjawab, “Taurus.”
Seketika semua aku lihat gelap dan aku tak ingat apa-apa lagi.
7. Ramalan Nenek Geeta
Suatu hari, ketika pulang bekerja, aku bertemu dengan seorang nenek tua yang sudah lama diketahui pandai meramal. Nenek itu bernama Geeta. Usianya mungkin sudah melewati angka 70 tahun.
“Berikan tanganmu, Sukhraj!”
“Untuk apa, Nek?”
“Ikuti saja, sini!”
Khidmat, nenek Geeta memperhatikan telapak tanganku dan kemudian berkata, “Kelak kau akan menemukan seorang wanita yang akan menjadi istrimu. Dia berasal dari tempat yang jauh. Wanita itu memiliki sebuah hutan. Dia juga pandai memainkan seruling dan dia terlahir di bawah naungan bintang taurus. Bila kau bertemu dengannya, ikutilah jejak langkahnya!” Aku mengangguk saja mendengar ramalan nenek Geeta. ***
.
.
Jatwar, 2025
Ilham Wahyudi adalah penyair kelahiran Medan, Sumatera Utara. Cerita-cerita pendeknya tersebar di berbagai media massa. Dalam cerpennya kali ini Ilham mengisahkan kehidupan Sukhraj Kumar, seorang lelaki miskin di India. Ilham mengisahkannya dalam tujuh cerita yang masing-masing berdiri sendiri tapi bila dibaca secara keseluruhan kita akan menemukan hubungan dari masing-masing cerita.
.
.
Bintang Taurus. Bintang Taurus. Bintang Taurus. Bintang Taurus. Bintang Taurus. Bintang Taurus. Bintang Taurus.
Leave a Reply