Baron Yudo Negoro, Cerpen, Koran Tempo

Menjemput Janji di Reruntuhan Mogadishu

Menjemput Janji di Reruntuhan Mogadishu - Cerpen Baron Yudo Negoro

Menjemput Janji di Reruntuhan Mogadishu ilustrasi Alvin Siregar/Koran Tempo

4.5
(2)

Cerpen Baron Yudo Negoro (Koran Tempo, 26 April 2025)

DI sinilah Jabril Warsame terjepit dua janji yang masing-masing memintanya untuk tidak berpaling. Melaju dengan ambulans, ia terkejut saat beton-beton reruntuhan gedung berserakan di persimpangan jalan Warshadaha, menghalanginya menuju Sekolah Qamar Al-Zaman. “Ya Tuhan,” gumamnya.

Ada sebuah keluarga di sekolah itu menunggu dijemput olehnya. Ia membayangkan anak-anak itu waswas dan menangis di bawah rindang pohon, sementara ibu mereka merintih kesakitan, dan mereka ketakutan saat malam turun tanpa ampun.

Ia mencengkeram liontin pemberian ibunya, dan teringat perkataan Najah, relawan dari Sudan Selatan yang ia turunkan bersama dua korban di pos medis pelabuhan. “Bukan saatnya mengumbar janji.”

Jabril Warsame bukan tentara, bukan juga dokter. Usianya 27 tahun, dan sudah dua tahun mengemudikan ambulans di bawah organisasi kemanusiaan yang beroperasi di Mogadishu, Somalia. Ia tak banyak bicara. Orang-orang mengenalnya dari sorot matanya yang tak berubah meski mortir menggelegar di dekatnya. Saat sopir-sopir lain menepi dan tiarap di parit, ia satu-satunya yang melaju stabil melewati Jalan Warshadaha.

Dulu, ia sopir ekspedisi yang mengangkut karung beras, jeriken solar, dan sabun batangan dari pelabuhan menuju pasar. Ia tidak menyukai percakapan politik, apalagi berpura-pura memahami. Siapa penguasa bukanlah urusannya. Selama muatan sampai tujuan, ia menganggap hari itu baik.

Memang, sejak tumbangnya rezim Siad Barre, Somalia mengalami kekosongan kekuasaan. Beberapa klan, petinggi militer, dan kelompok bersenjata berupaya mengisinya, menetaskan milisi-milisi berbahaya, termasuk Islamis radikal seperti Al-Shabaab yang menentang pemerintahan sementara dan campur tangan asing.

Pada 2010, pasukan pemerintah terlampau ringkih melawan Al-Shabaab yang saat itu menguasai sebagian besar Kota Mogadishu. Baku tembak tak terelakkan, warga sipil terjebak dalam dua kekuatan, rumah sakit kekurangan obat, sekolah hancur, dan bantuan tertahan di perbatasan. Mogadishu berubah menjadi ladang pertempuran.

Dan suatu pagi, seorang tetangga mengetuk pintu rumahnya. “Al-Shabaab! Mereka menjarah rumah-rumah!”

Jabril bergegas menghampiri ibunya yang gemetaran, yang menenteng tas kecil berisikan Quran dan foto mendiang suami.

“Kita pergi sekarang,” kata Jabril sambil meraih kunci truk.

Di jalan, orang-orang berlari seperti koloni semut dikejar bara api. Mereka membawa kantong tepung, menyeret koper, tunggang langgang di antara bangunan-bangunan muram. Dengan truk, Jabril menuju lokasi aman, sebuah gudang di dekat KM 4. Dan saat melintasi barikade yang telah lumpuh, dunianya berguncang; roda mobilnya melindas ranjau darat.

Dari puing-puing dan asap, Jabril merangkak keluar dengan badan bagai tercabik-cabik. Pandangannya buram, telinganya mendengung. Ibunya tewas di dalam mobil, bahkan sebelum ia sempat mengeluarkannya. Dan ambulans tak pernah datang.

Baca juga  Ular

Semenjak itu, ia tak pernah kembali ke pelabuhan. Ia memilih mengemudikan ambulans, menyusuri kota dengan lengkingan sirenenya.

***

PAGI sebelumnya, Jabril Warsame memeriksa tekanan ban ambulans di dekat ruang logistik Rumah Sakit Al-Bashir. Udara di sana lembap, menguarkan bau obat dan kertas basah. Dengan ponsel, Dr. Shukriya mondar-mandir di lorong.

“Dari Kenya? Ya, saya sudah diberi tahu.”

“Itu wilayah rawan.”

“Saya ragu. Kalau mereka dicegat, saya harus siap di sini.”

“Ya. Saya akan ambil di pelabuhan.”

Percakapan itu sampai di telinga Jabril, sebagaimana semua kabar di rumah sakit itu yang akhirnya menjadi milik bersama.

Begitu panggilan berakhir, Dr. Shukriya menoleh. “Ke pelabuhan, bagaimana?”

“Pagi begini masih bisa ditembus, Dok,” jawab Jabril.

Tanpa banyak bicara, dokter itu menuju meja, menuliskan surat jalan, dan menyerahkannya. “Ambil empat peti.”

Saat Jabril hampir pergi, dokter itu bergumam, “Anggap saja tak ada bantuan dari seberang.”

Jabril tahu bahwa dokter itu masih berharap. Dan pada pagi seperti itu, harapan bukanlah sesuatu yang murah. Ia lalu naik ke bangku ambulans, menyalakan radio. Sesaat kemudian, suara perempuan tersambung di sana.

“Pasar Bakaara. Dua korban terluka. Kau di jalur itu, bukan?”

Jabril memandang ke jalanan kosong yang seolah-olah aman. “Aku ke sana,” katanya, singkat. Ia lalu mulai melaju.

Tak jauh dari pasar yang telah sunyi, ia melihat seorang perempuan berkaus kotor melambai. Ia lalu menepi, menatap dua orang yang tergeletak di bawah kanopi toko yang kosong. Dengan tandu, mereka mengangkat korban-korban itu satu per satu.

“Najah. Dari Sudan.” Perempuan itu melongok dari bangku belakang, memperkenalkan diri. Jabril menjabat tangannya dengan ragu.

Ambulans menembus kepulan debu di jalanan retak yang sepi. Sebentar kemudian Jabril melambat saat melintasi Sekolah Qamar al-Zaman. Sekolah itu seperti luka menganga di tengah reruntuhan kota. Dari balik kaca kemudi, ia menatap bangunan itu dalam diam. Ia tahu anak-anak pernah bermain di halaman yang kini ditumbuhi semak belukar itu. Ia mendengar tawa anak kecil dalam ingatannya, lalu bayangan itu segera terhapus oleh debu.

“Bagaimana kalau masih ada orang di sana?” gumamnya. Sesuatu mengusik dadanya. Perasaan itu belum bisa ia beri nama.

Ia hampir menekan pedal gas saat teriakan dari balik pagar kawat mengejutkannya. Ia menginjak rem, lalu mundur, menikung ke jalur sempit yang mengarah ke sekolah. Di sana, seorang gadis kecil matanya sembap, wajahnya berdebu, menangis terisak.

Baca juga  Operasi Babi Merah dan Dendam Pembunuhan

“Ibuku… tidak bisa jalan,” katanya sambil menunjuk semak-semak di dekat tembok kusam.

“Kau yakin?” tanya Najah saat Jabril membuka pintu.

“Sebentar saja,” kata Jabril.

Najah melihat jam tangan, lalu memandangi langit yang mulai berubah warna dari jendela. “Tempat ini berubah cepat saat malam,” katanya kepada diri sendiri saat Jabril turun dari ambulans.

Dua anak lain berdiri tak jauh darinya, saling menggenggam tangan. Jabril berjalan, menyibak ilalang kering dan puing-puing yang berserakan. Di bawah rindang pohon yang keputihan, seorang perempuan terbaring beralaskan sobekan kardus. Wajahnya pucat. satu kakinya dibalut kain yang memerah akibat rembesan darah. Napasnya pendek-pendek.

Jabril membeku sebentar. “Ambulans saya penuh. Saya harus ke pelabuhan dulu.”

Perempuan itu, yang bermandikan keringat, akhirnya membuka mata. “Bawa… bawa saja mereka.”

“Saya akan kembali. Saya janji. Saya jemput sebelum gelap.” Jabril meyakinkannya.

Tak ada jawaban. Perempuan itu hanya mengangguk lemah.

Seketika itu juga ia merasa seperti akan meninggalkan orang yang tenggelam. Ia ingin memanggul tubuh rapuh itu, menaikkannya ke mobil. Tapi kenyataan getir seakan-akan setia di sampingnya dan tak mungkin bergeser: ia saat itu tak bisa menyelamatkan siapa pun. Dan saat ia kembali dengan wajah muram, Najah menatapnya.

“Bagaimana?”

“Kujemput nanti.” Jabril menyalakan mesin mobil.

Najah menyandarkan punggung, menatap ke luar jendela. “Bukan saatnya mengumbar janji,” gumamnya.

***

JABRIL mondar-mandir di jalan berlumpur, merasakan betapa kuatnya rasa frustrasi yang meremas kepalanya. Ia lalu menatap jalan lain dan memandangi langit sore. Sesaat kemudian, ia memasuki lagi mobilnya.

Di balik bangku kemudi, peti-peti kayu berisikan obat-obatan terbujur. Setiap sudut peti-peti itu dilapisi logam. Di bagian depan, lambang bulan sabit tampak pudar, sementara bagian atas tertempel stiker “WHO Emergency–Do Not Delay”. Jabril menatapnya.

Terdengar kemudian suara patah-patah di radio, dari perempuan di rumah sakit. “Kau di mana? Hampir gelap. Di sini kehabisan infus. Kami pakai air garam sekarang.”

“Ya. Dalam perjalanan,” balasnya.

Rentetan senapan terdengar dari kejauhan. Apa yang terjadi, ia tak tahu. Yang diketahuinya, ada keluarga duduk di bawah pohon mengharapkan kedatangannya.

Memutar jalan? Terlalu jauh. Apa mereka benar-benar menungguku? Tapi aku sudah janji.

Ia bingung. Pergi ke satu tempat berarti mustahil berada di tempat lain. Pilihan-pilihan itu menyesakkan dadanya, sedangkan sore perlahan-lahan merayap turun. Lalu, dengan pikiran ruwet, ia menginjak pedal gas dan memutuskan pulang.

Baca juga  Setyawati

Sampai rumah sakit, ia menyeret peti-peti obat itu ke ambang pintu ruang logistik. Pria muda muncul dari balik tumpukan kardus, dengan rompi kusut bertulisan “Admin-Log”.

“Ini baru sampai?” tanyanya, seolah-olah peti-peti itu bukan perkara genting.

“Maksudnya?” tanya Jabril dengan muka terheran-heran.

“Di sistem sudah masuk tadi siang. Yang dari Kenya, barangnya sampai siang juga, tapi belum masuk sistem.” Pria itu menunjuk dengan hidungnya ke arah tumpukan peti di seberang mereka.

Jabril seketika membeku dan lemas. Tulang-tulang di sekujur tubuhnya seakan copot semua. “Kenapa tidak ada kabar?”

Pria itu mengangkat bahu, lalu kembali menatap dokumennya sambil berkata, “Tanya bagian distribusi. Saya cuma mencatat.”

“Sial!” serunya sambil menendang peti yang tak jauh darinya. Ia lalu berjalan menuju ambulansnya.

Langit Mogadishu telah menjelma kelam. Dengan ambulans, Jabril kembali menyusuri jalur yang tadi dilaluinya, dan kali ini tanpa lengking sirene, tanpa panggilan darurat, hanya desir angin dan suara radio yang terlampau ramai untuk sebuah kota yang kelelahan. Dadanya berdebar-debar, matanya penuh waspada sering melirik ke kanan-kiri.

Di depan pagar ringsek Sekolah Qamar al-Zaman, ia menepi. Ia lalu menyusuri semak-semak dengan senter, menyorot ke arah pohon tempat keluarga itu berteduh. Kosong. Hanya ada sandal, sehelai kain, dan sobekan kardus yang tak lagi hangat.

Dipungutnya sandal itu. Dalam benaknya, ia melihat lagi mata sembap gadis kecil itu, melihat dua bocah yang saling berpegangan tangan, dan mendengar lagi napas si ibu yang pendek-pendek. Tak ada darah, tak ada tanda kerusuhan, tetapi juga tidak ada orang.

Ia lalu duduk di tanah. Dalam diam, ia memejamkan mata, membiarkan segala yang tak terucap mengendap seperti luka yang begitu perih sekalipun tak berdarah. ***

.

.

Baron Yudo Negoro. Seorang buruh di Semarang, Jawa Tengah. Cerpen dan esainya pernah dimuat di media nasional. Pemenang lomba “Menulis Dongeng Batik Nusantara” yang diselenggarakan Museum Batik Indonesia serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada Oktober 2021.

.
.
Menjemput Janji di Reruntuhan Mogadishu. Menjemput Janji di Reruntuhan Mogadishu. Menjemput Janji di Reruntuhan Mogadishu. Menjemput Janji di Reruntuhan Mogadishu. Menjemput Janji di Reruntuhan Mogadishu.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!